Di dunia yang dikendalikan oleh faksi-faksi politik korup, seorang mantan prajurit elit yang dipenjara karena pengkhianatan berusaha balas dendam terhadap kekaisaran yang telah menghancurkan hidupnya. Bersama dengan para pemberontak yang tersembunyi di bawah tanah kota, ia harus mengungkap konspirasi besar yang melibatkan para bangsawan dan militer. Keadilan tidak lagi menjadi hak istimewa para penguasa, tetapi sesuatu yang harus diperjuangkan dengan darah dan api.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khairatin Khair, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31
Malam yang mencekam menyelimuti Valyria. Angin dingin membawa aroma tanah basah dan daun-daun yang berjatuhan di jalanan kota. Namun, ketenangan itu terasa palsu, seperti jeda sementara sebelum badai besar melanda. Liora berdiri di balkon bentengnya, menatap ke arah cakrawala di timur, tempat di mana ancaman besar yang baru mulai bergerak mendekat.
Laporan tentang kegagalan misi rahasia Varren dan Seira telah sampai di telinganya beberapa jam yang lalu. Mereka ditemukan, dan sekarang pasukan Kalros serta Kekaisaran Timur sedang bersiap untuk menyerang. Aliansi itu telah terbentuk, dan Valyria tidak punya waktu banyak sebelum perang besar meletus.
Di tangannya, artefak perak itu terasa lebih berat dari sebelumnya. Seakan-akan, benda itu tahu bahwa saatnya semakin dekat. Kekuatan yang terkandung di dalamnya terus menggoda Liora, memanggil-manggil untuk digunakan. Setiap kali ia mencoba mengabaikan dorongan itu, suara itu semakin kuat.
"Bagaimana jika aku bisa menghentikan mereka sebelum mereka menyerang?" pikir Liora. "Apa aku bisa menyelamatkan semua orang jika aku menggunakan kekuatan ini?"
Di belakangnya, suara langkah kaki pelan terdengar. Liora menoleh dan melihat Varren, wajahnya lelah namun tetap bersemangat. Dia baru saja kembali dari perbatasan Timur dengan laporan terakhir tentang persiapan musuh.
"Mereka akan bergerak cepat," kata Varren, tanpa basa-basi. "Kekaisaran Timur membawa kekuatan yang jauh lebih besar dari yang kita duga. Ini bukan lagi soal bertahan—mereka datang untuk menghancurkan Valyria sepenuhnya."
Liora menarik napas panjang. "Aku tahu. Kalros tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang diinginkannya. Valyria adalah benteng terakhir yang menghalangi ekspansinya. Dan Kekaisaran Timur melihat ini sebagai kesempatan untuk menegaskan dominasi mereka di seluruh daratan."
"Apa rencanamu?" tanya Varren. Di balik pertanyaan itu, Liora bisa merasakan kekhawatiran yang mendalam. Varren tahu bahwa Liora sedang menghadapi dilema yang tak terucapkan—apakah dia akan menggunakan artefak itu atau tidak.
Liora menatap ke arah horizon, pikirannya berkecamuk. "Jika aku menggunakan kekuatan ini, aku bisa menghancurkan pasukan mereka sebelum mereka sempat menyerang kita. Tapi ada harga yang harus dibayar."
"Apa maksudmu?" Varren bertanya, suaranya penuh rasa ingin tahu.
"Kekuatan dalam artefak ini... bukan kekuatan biasa," jawab Liora pelan. "Ini adalah kekuatan yang bisa menghancurkan sekaligus membangun. Jika aku melepaskannya, aku mungkin bisa memenangkan perang ini, tapi aku tidak yakin apakah Valyria akan tetap utuh setelahnya."
Keheningan menyelimuti mereka berdua. Varren menatap Liora dengan serius, mencoba memahami beban yang dipikulnya. "Liora," katanya akhirnya, "kau sudah membawa Valyria sejauh ini tanpa menggunakan kekuatan itu. Aku percaya bahwa kau bisa menemukan jalan tanpa harus mengorbankan semuanya."
Liora tersenyum tipis, meskipun di dalam hatinya dia tidak sepenuhnya yakin. "Aku berharap kau benar, Varren. Tapi kita tidak punya banyak waktu."
---
Keesokan harinya, Dewan Valyria berkumpul kembali. Ketegangan di ruangan itu terasa jelas, seiring kabar tentang pergerakan cepat pasukan Timur yang semakin dekat. Setiap orang di ruangan itu tahu bahwa mereka di ambang perang besar, tetapi tidak ada yang tahu pasti bagaimana mereka bisa bertahan.
"Pasukan mereka akan tiba dalam tiga hari," kata Keldar, suaranya berat oleh keseriusan situasi. "Kita tidak punya cukup waktu untuk memperkuat pertahanan. Satu-satunya pilihan kita adalah bertahan dengan apa yang kita miliki dan berharap bahwa bantuan datang sebelum kita dihancurkan."
Alara, yang biasanya lebih optimis, terlihat khawatir. "Kita harus mencari cara lain. Bertahan tidak akan cukup kali ini. Kalros tidak akan memberi kita kesempatan kedua."
Semua mata tertuju pada Liora. Mereka menunggu pemimpin mereka mengambil keputusan. Liora bisa merasakan tekanan yang tak terucapkan di sekelilingnya. Rakyatnya mengandalkan dia untuk menyelamatkan Valyria, tapi keputusan yang harus dia buat terlalu berat untuk diambil begitu saja.
"Kalros dan Kekaisaran Timur datang dengan kekuatan penuh," kata Liora akhirnya, suaranya tenang namun tegas. "Tapi aku yakin masih ada jalan lain. Kita harus tetap fokus pada keseimbangan yang kita perjuangkan selama ini. Kita tidak bisa membiarkan ketakutan memaksa kita membuat keputusan yang salah."
"Tapi kita tidak punya cukup kekuatan, Liora," balas Keldar. "Tanpa bantuan dari luar, kita akan hancur."
Liora tahu bahwa kata-kata Keldar benar, tapi dia juga tahu bahwa menggunakan kekuatan artefak itu bukanlah solusi. Ia telah melihat apa yang bisa dilakukan kekuatan gelap pada Ragnar dan kekaisaran sebelumnya. Jika ia tidak hati-hati, Valyria bisa berakhir sama buruknya.
---
Malam harinya, Liora kembali berada di ruang pribadinya, dikelilingi oleh keheningan. Di atas meja, artefak perak berkilauan lembut, seolah-olah menunggu keputusannya.
Saat dia duduk di kursi, menghadap artefak itu, suara-suara dari masa lalu kembali bergema dalam pikirannya. Ares, dengan suaranya yang bijak, seakan berbicara kepadanya lagi: "Kau selalu punya pilihan, Liora. Kekuatan bukanlah jawaban untuk segalanya. Percayalah pada keseimbangan yang kau jaga."
Tapi ancaman dari Timur semakin nyata. Tiga hari lagi, Valyria mungkin tidak akan ada lagi jika dia tidak melakukan sesuatu.
Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka, dan Seira masuk dengan langkah cepat. "Liora, kita punya kabar baik," katanya dengan nada mendesak.
Liora berdiri, berharap mendengar sesuatu yang bisa mengubah situasi. "Apa yang terjadi?"
Seira tersenyum kecil, meski wajahnya menunjukkan kelelahan. "Sekutu kita dari Barat telah tiba lebih cepat dari yang kita duga. Pasukan mereka bergerak menuju perbatasan sekarang. Kita punya lebih banyak waktu untuk mempersiapkan diri."
Kabar itu seperti angin segar yang datang di tengah badai. Liora merasa lega, meskipun hanya sementara. Bantuan dari Barat memberi mereka peluang untuk bertahan lebih lama, tetapi itu tidak berarti ancaman dari Timur sudah hilang.
"Kita harus tetap waspada," kata Liora akhirnya. "Ini memberi kita lebih banyak waktu, tapi kita masih harus menghadapi kekuatan besar. Kita tidak bisa mengabaikan ancaman ini."
Seira mengangguk setuju. "Aku setuju. Tapi setidaknya, kita tidak sendirian dalam pertempuran ini."
Liora menghela napas panjang. Bantuan dari Barat mungkin bisa mengubah jalannya pertempuran, tapi dia tahu bahwa pada akhirnya, keputusan terakhir tetap ada di tangannya.
---
Di tengah malam, Liora kembali duduk di hadapan artefak perak. Dia menatap benda itu dalam diam, merenungkan semua yang telah terjadi. Bantuan telah datang, tetapi apakah itu cukup untuk menyelamatkan Valyria?
Kali ini, dia tahu bahwa takdir Valyria sepenuhnya berada di tangannya. Jika semuanya gagal, dia harus memutuskan apakah akan menggunakan kekuatan artefak itu atau tidak. Dan kali ini, mungkin dia tidak punya pilihan lain.
Dia meraih artefak itu, merasakan denyutan kekuatan di dalamnya, dan menutup matanya. "Apa pun yang terjadi," pikirnya, "aku akan menjaga keseimbangan ini. Valyria harus tetap berdiri, dengan atau tanpa kekuatan ini."
---
cerita othor keren nih...