Kara sangat terkejut saat Ibunya tiba-tiba saja memintanya pulang dan berkata bahwa ada laki-laki yang telah melamarnya. Terhitung dari sekarang pernikahannya 2 minggu lagi.
Karna marah dan kecewa, Kara memutuskan untuk tidak pulang, walaupun di hari pernikahannya berlangsung. Tapi, ada atau tidaknya Kara, pernikahan tetap berlanjut dan ia tetap sah menjadi istri dari seorang CEO bernama Sagara Dewanagari. Akan kah pernikahan mereka bahagia atau tidak? Apakah Kara bisa menjalaninya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ririn Yulandari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mas Saga
Aku langsung mengadu pada Ibuku dengan manja saat tadi Adnan menggoda ku terus-terusan, yang tentu saja Adikku itu langsung kena omel. "Kaya bocah tukang ngadu," cibir Adnan padaku.
"Biarin, biar lu kena marah sama Ibu," ujarku songong duduk di kursi yang di samping kanan ku ada Saga lalu di samping kiri ku ada Disha. Ternyata baru aku sadari semuanya sudah hadir disini, kedua mertuaku, orang tua ku sendiri, dan tentu saja Adnan si bocah menyebalkan. Aku tak tau apa mertuaku akan menginap atau langsung pulang.
"Diambilin dong itu Ra, makanan buat Mas mu." Aku langsung menoleh pada Ibu, Mas? Siapa Masku, Saga? Aku seketika menoleh pada Saga yang ada di sampingku yang kini juga menatap balik padaku.
Aku pun mengambil piring Saga yang masih kosong kemudian ku isikan nasi. "Lagi ga?"
"Udah cukup segitu aja," sahutnya kemudian aku beralih pada lauk pauk yang bermacam-macam disini. "Mau apa?" tanyaku pada Saga karna aku bingung akan mengisikan apalagi di piringnya.
"Ayam aja sama capcai dikit," akupun mengangguk menuruti kemauannya dan mengambil ayam juga capcai. "Udah segitu aja," ucap Saga dan ku berikan piringnya. Lalu gantian aku yang mengisi piringku.
"Aduh, kalian ini di jodohin atau nikah karna saling cinta sih? Cocok banget," kata Disha yang ada di sampingku.
"Diam, Sha," lirikku padanya agar tak terus melanjutkan coletehannya.
"Jangan di godain terus Kak, nanti merah pipinya kaya kepiting rebus," kini Adnan yang membuka suara mengundang gelak tawa dari semua orang. Memang betul kini pipiku sudah panas, bukan hanya karna malu tapi kesal pada si Adnan.
Aku melayangkan tatapan tajam pada Adnan. "Awas aja lu, nanti gue balas kalau udah makan," batinku seakan bocah itu tahu apa yang aku bilang dia pun memelet kearahku. Dasar bocah menyebalkan.
"Ayo duduk, ga usah di tanggepin adik kamu," sentuhan di tangan kananku membuat aku sedikit tersentak kaget. Aku pun buru-buru duduk kembali dan menarik tanganku yang baru saja di genggam oleh Saga. Tak menyahuti perkataannya aku pun mulai makan dengan tenang, walaupun beberapa kali Disha menggodaku dengan berbisik-bisik.
Ku dengar Ayah juga mempersilahkan besannya itu untuk makan, dan meminta maaf karna lauk pauknya tidak terlalu lengkap.
...Ω...
Saat selesai makan aku duduk menonton tv di temani Disha dan Adnan yang sedang bermain game disampingku. Saga sepertinya ada di ruang depan bersama orang tua ku dan juga orang tuanya. Tak lama Ibu datang menghampiri ku, menyuruhku ke depan karna mertuaku akan segera pulang ke rumahnya yang aku tahu sekitar 30 menitan dari sini.
"Ra, sini dulu. Mertuamu mau pamit pulang," panggil Ibuku.
Akupun berdiri dan mengikuti langkah Ibuku yang berjalan keluar. Aku melihat sepasang paruh baya itu sudah bersiap dengan mobil Alphard yang menjemputnya. Saga sudah bersalaman dan memeluk kedua orang tuanya, kini gantian aku yang maju. "Aku kira Mama sama Papa bakalan nginep," ucapku setelah memeluk Mamanya Saga.
"Gapapa nanti kami kesini lagi nak, nanti sebelum pulang ke Jakarta kamu main sama Saga dulu ya kerumah?" bukan Mama Saga yang berucap seperti itu, melainkan Papanya.
Aku pun tersenyum mengangguk. "Iya Pa, kalian hati-hati di jalan. Kalau udah sampai kabari kami," ucap ku sopan kemudian Mama dan Papa mertuaku itu masuk ke dalam mobil saat sudah berpamitan dengan Ayah, Ibu, Adnan, dan Disha yang ikut mengantar. Aku sedikit melambaikan tangan sampai mobil yang mereka kendarai keluar dari halaman rumahku. Kami pun masuk kembali ke dalam rumah. Disha yang pamit untuk tidur duluan lalu, Ayah, Adnan dan Saga duduk di sofa depan TV.
Aku mengikuti langkah Ibu yang memanggil ku. "Kenapa Bu?"
"Ini bantuin Ibu buatin minum, sama siapin cemilan ya. Tanyain dulu ke Mas mu mau minum apa, takutnya nanti di buatin kopi kaya ayah tapi dia ga suka," ujar Ibuku.
"Saga?" tanyaku saat Ibu menyebut kata Mas.
"Heh, jangan panggil kaya gitu. Sekarang Saga itu suami kamu, panggil dia Mas. Nanti ada yang dengar, ga baik," kata Ibu langsung menegurku.
"Malu ah Bu, panggil Mas-Mas gitu."
"Panggil Mas Saga, jangan cuma sebut nama, nanti ada yang dengar dipikirnya Ibu ga ngajarin kamu, dan itu kedengeran kamu ga menghargai suami kamu."
Aku memutar bola mata malas. "Ish, yaudah bentar aku tanyain ke Saga."
"Mas Saga, Kara manggilnya!" ulang Ibuku sekali lagi.
"Iya Bu, ya ampun. Lagian ga ada juga yang dengar," gumamku kesal berjalan menuju ruang TV.
Saat sampai disana aku langsung mendekat kearah Saga yang terlihat sedang mengobrol bersama Ayahku.
"Ada apa, Ra?" tanya Ayah terlebih dahulu padaku.
"Gapapa, cuma mau nanyain kalian mau minum apa," sahutku menunggu jawaban.
Bukannya Saga atau Ayahku yang menyahut Adnan malah duluan membuka suara. "Aku kopi susu ya, Mbak."
"Gue ga nanya lo mau di bikinin apa, kalau mau bikin aja sendiri jangan kaya Bos," jawab ku kesal menatap Adnan yang kini sedang asik bermain game di ponselnya. Sungguh bocah itu dari tadi ku perhatikan tidak ada lelahnya bermain game, apa mungkin dia sudah kecanduan?
"Dibuatin sama Mbak aja, biar lebih istimewa," dih malas sekali aku menanggapinya.
"Ayah, teh aja yaa. Takut ga bisa tidur nanti kalau minum kopi," ucap Ayah padaku.
Akupun mengangguk dan menatap Saga, ku tunggu laki-laki itu membuka suara duluan tapi sepertinya dia juga ingin di tanya. Aku ragu-ragu untuk bertanya padanya, bimbang apa aku harus memanggilnya cuma sebatas nama atau harus aku panggil dengan Mas Saga? Setelah terdiam beberapa detik menunggu jawaban tapi Saga hanya diam menatapku seperti menunggu aku yang kembali bertanya padanya. "Mas, mau di buatin apa?"
Saat kata Mas itu meluncur dari bibirku dengan semangat Adnan bersuara untuk menggodaku. "Cie udah Mas-masan," ucap Adnan menatap jahil padaku.
"Apaan si lu, nyahut aja. Gue ga nanya ke lu, tapi nanya ke Mas Saga," kataku kesal yang membuat Adnan semakin gencar menggodaku.
"Aduh, aku mau juga dong di panggil Mas," kata Adnan lagi. Ku lihat Ayah dan Saga tersenyum melihat tingkah kami berdua.
"Sana nikah, biar ada yang manggil Mas-mas juga atau lu jualan bakso aja sana, yakin tiap hari ada yang manggil Mas Adnan baksonya dong satu mangkuk," ujarku kesal.
"Ga minat dua-duanya, masih mau jadi bujang banyak uang gue."
Dih, apa katanya barusan? "Bujang pengangguran kali," balasku kembali menatap Saga yang masih saja menampilkan senyum di bibirnya.
"Maaf yaa, nak Saga. Dua-duanya emang suka ribut kalau saling ketemu," ucap Ayahku pada Saga.
"Iya, yah. Gapapa, maklum juga adek kakak baru ketemu lagi," balasnya tersenyum.
"Jadinya, Mas mau minum apa?" tanyaku jengah yang sedari tadi belum di jawab-jawab juga.
"Teh aja, sama kaya Ayah," jawabnya tersenyum padaku.
Aku pun hanya bergumam dan dengan langkah malas aku kembali ke dapur untuk membuatkan pesanan mereka, udah kaya warung memang.