"Buang obat penenang itu! Mulai sekarang, aku yang akan menenangkan hatimu."
.
Semua tuntutan kedua orang tua Aira membuatnya hampir depresi. Bahkan Aira sampai kabur dari perjodohan yang diatur orang tuanya dengan seorang pria beristri. Dia justru bertemu anak motor dan menjadikannya pacar pura-pura.
Tak disangka pria yang dia kira bad boy itu adalah CEO di perusahaan yang baru saja menerimanya sebagai sekretaris.
Namun, Aira tetap menyembunyikan status Antares yang seorang CEO pada kedua orang tuanya agar orang tuanya tidak memanfaatkan kekayaan Antares.
Apakah akhirnya mereka saling mencintai dan Antares bisa melepas Aira dari ketergantungan obat penenang itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22
Aira menarik napas panjang lalu membuangnya. Belum juga bertemu Antares dadanya sudah berdebar tak karuan. Dia memakai lipstik di bibirnya dan lagi-lagi teringat dengan ciuman itu.
Aira menggelengkan kepalanya untuk mengusir bayangan semalam. "Tidak! Pak Ares belum tentu serius dengan perkataannya." Kemudian dia mengambil tasnya dan memakai sepatunya.
"Bintang, yang anteng di rumah ya. Makanan sudah aku siapkan banyak." Aira berjongkok sesaat dan mengusap bulu halus itu, lalu dia keluar dari rumah kontrakannya. Baru juga mengunci pintu, dia sudah dikejutkan oleh seseorang yang berdiri di dekat pintu sambil bersandar.
"Pak Ares, mengapa ada di sini?" tanya Aira. Dia memasukkan kunci rumahnya ke dalam tas sambil menghindari tatapan Antares.
Antares mendekatinya dan menarik tangan Aira agar berjalan menuju mobilnya. "Kita searah. Untuk mengurangi kemacetan, kita naik satu mobil saja."
Antares membuka pintu untuk Aira, mau tidak mau Aira masuk ke dalam mobil itu karena Antares terus mendesaknya.
Setelah Antares duduk di kursi pengemudi dan memakai sabuk pengaman, dia melajukan mobilnya menuju perusahaannya.
Aira terus mengalihkan pandangannya dari Antares. Dia menatap jalanan yang lumayan macet yang mereka lalui. Waktu terasa semakin lama sedangkan Aira ingin cepat-cepat sampai di perusahaan.
"Kenapa diam saja?" tanya Antares memecah kebisuan mereka.
Aira hanya menggelengkan kepalanya.
"Sudah sarapan?" tanya Antares lagi.
"Sudah. Makanan dari mama Pak Ares masih ada."
Antares tak bertanya lagi. Sebenarnya dia juga merasa gugup setelah kejadian semalam. Tapi dia sangat penasaran bagaimana tanggapan Aira.
Saat dia akan berbicara, buru-buru Aira keluar dari mobilnya dan berlari kecil masuk ke dalam perusahaan.
Antares tersenyum kecil melihat Aira yang terus menghindarinya. Dia segera keluar dan menyusul langkah Aira.
Aira masih berdiri di depan lift bersama dengan staf lain. Saat Antares datang, staf lain mempersilakan Antares terlebih dahulu.
"Kalian masuk saja," kata Antares setelah masuk ke dalam lift bersama Aira.
Mereka menganggukkan kepalanya lalu masuk ke dalam lift. Antares dan Aira mundur beberapa langkah.
Antares menyentuh sedikit tangan Aira sambil meliriknya.
Aira menjauhkan tangannya. Sedikit bersentuhan saja rasanya dia seperti tersengat listrik.
Para staf keluar di lantai tiga. Kini tinggal Antares dan Aira yang masih berada di dalam lift itu. Antares mendekati Aira meski Aira terus menggeser tubuhnya.
"Apa jawaban kamu?"
"Aku tidak mengerti dengan pertanyaan Pak Ares," kata Aira.
Antares semakin mendekat. "Mengubah status kita menjadi suami-istri."
Aira justru tersenyum. "Jangan bercanda Pak Ares. Tidak ada momen romantis dan keseriusan Pak Ares sama sekali." Kemudian Aira keluar dari lift itu setelah pintu lift terbuka.
Antares mengikuti Aira di belakangnya. Iya, memang tidak ada momen romantis sama sekali. Mungkin sejak kemarin Aira hanya menganggapnya bercanda dan sekarang juga seperti itu. Oke, aku akan segera susun momen romantis.
Antares masuk ke dalam ruangannya dan duduk di kursi kebesarannya sambil berpikir.
"Pak Ares, hari ini tim dari Jepang datang. Kita akan membahas produk kerjasama secara langsung dan saat proses produksi tim dari Jepang juga ikut di tim teknisi untuk memastikan keberhasilan perangkat lunak mereka."
Antares tak menjawab perkataan Riko. Dia melipat tangannya sambil menggerakkan kursi ke kanan dan ke kiri.
Riko mendekat dan mengetuk meja yang ada di depan Antares. "Pak Ares?"
"Kapan kamu masuk?" Antares baru tersadar saat Riko sudah duduk di depannya.
"Pak Ares sedang memikirkan Aira?" tanya Riko sambil mendekatkan wajahnya agar tidak terdengar oleh Aira yang duduk di tempat kerjanya.
Antares terdiam beberapa saat. Dia melihat Aira dari jendela kecil untuk memastikan Aira sedang fokus dengan pekerjaannya. "Aku mau menikahi Aira tapi dia bilang aku hanya bercanda. Ya, memang tidak ada persiapan apa-apa. Aku spontan begitu saja mengatakannya."
Riko tertawa mendengar perkataan bosnya. "Jelas saja pasti Aira mengira Pak Ares hanya bercanda. Pak Ares sudah mengungkapkan perasaan belum?"
Antares menggelengkan kepalanya. "Belum."
"Kenapa di skip hal yang paling penting? Wanita tidak akan terima tanpa pengakuan perasaan."
Antares terdiam dan kembali menyandarkan punggungnya. "Kamu punya referensi restoran romantis?"
"Gampang, nanti saya carikan." Riko masih tersenyum melihat bosnya yang sedang kasmaran dan sepertinya sudah tidak sabar untuk segera menikah.
"Ya sudah. Sekarang fokus pekerjaan dulu." Antares mengambil map yang baru saja diletakkan Riko. "Tim dari Jepang datang jam berapa?"
"Jam 10."
"Ya sudah. Kamu hubungi Tomi untuk bersiap."
Riko menganggukkan kepalanya lalu keluar dari ruangan Antares.
...***...
"Ini dokumen yang Pak Ares minta." Aira berdiri di samping Antares sambil memberikan dokumen itu. "Sebentar lagi ada pertemuan dengan tim dari Jepang. Saya sudah memberikan konsep pada Tomi agar bisa menyampaikan secara mendetail karena saya tahu jelas apa yang diinginkan perusahaan ini."
"Kamu dulu pernah bekerjasama dengan perusahaan ini?" tanya Antares.
Aira mengangguk pelan.
Kemudian Antares mendongak menatap Aira. "Apa nanti malam kamu ada acara?"
"Saya mau belanja dengan Eva sore ini. Mungkin sampai malam."
"Ya sudah, aku tunggu kamu di restoran Eternal Flame. Nanti kamu hubungi aku saja kalau sudah selesai."
Mendengar ajakan itu membuat dada Aira berdebar. Apa yang akan dikatakan Antares padanya? Apa kali ini Antares akan bicara serius tentang perasaannya? "Saya belum tahu sampai jam berapa."
Antares menatapnya semakin serius. "Yakin, tidak mau?"
Aira berpikir beberapa saat. Sebenarnya dia tidak ingin berharap lebih karena dia merasa tidak pantas untuk Antares tapi dia juga tidak ingin menolaknya.
"Ya sudah, lain kali saja," kata Antares dengan tegas sambil mengalihkan pandangannya.
"Iya. Nanti saya hubungi jika sudah selesai," jawab Aira pada akhirnya. Aira mengemasi beberapa berkas yang ada di meja Antares kemudian dia mengikuti langkah kaki Antares keluar dari ruangan itu.
"Riko sedang menyambut mereka di bawah. Kita langsung ke ruang meeting saja," kata Antares setelah masuk ke dalam lift.
Aira hanya menganggukkan kepalanya. Sesekali dia melirik Antares yang sekarang sedang dalam mode serius.
"Menurut kamu, apa proyek ini akan berhasil?" tanya Antares sambil berjalan keluar dari lift.
"Kemungkinan berhasil sangat tinggi. Produk perangkat lunak dari perusahaan ini sangat bagus. Untuk produk laptop kelas atas, pasti bisa menguasai pasar. Pak Ares sekarang lebih tertarik pada produk laptop dan smart tv ya?" Mereka berbicara sambil berjalan menuju ruang meeting.
"Iya, jika produk ini sukses, aku akan menambah cabang perusahaan lagi."
Aira tersenyum kecil mendengar semangat Antares.
"Aira!"
Langkah Aira dan Antares berhenti saat mendengar panggilan itu. Mereka melihat seorang pria yang tersenyum sambil berjalan ke arahnya bersama tiga orang pria lainnya.
"Rizal ...."
akhirnya ngaku juga ya Riko...
😆😆😆😆
u.....