Tiga sejoli menghabiskan usia bersama, berguru mencari kekebalan tubuh, menjelajahi kuburan kala petang demi tercapainya angan. Sial datang pada malam ketujuh, malam puncak pencarian kesakitan. Diperdengarkan segala bentuk suara makhluk tak kasat mata, mereka tak gentar. Seonggok bayi merah berlumuran darah membuat lutut gemetar nyaris pingsan. Bayi yang merubah alur hidup ketiganya.
Mari ikuti kisah mereka 👻👻
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon diahps94, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Boemi Djiwa
"Gak, enak aja bapak kasih nama Rio. Pokoknya Yanto nggk setuju!" Tolak Yanto misuh, mengambil alih bayi nya dari tangan Rini.
"Ya siapa yang minta persetujuan mu, orang udah di catet di akte namanya Rio Sujarwo, kalau mau protes udah telat." Jarwo memperlihatkan akte di tangan kanannya.
Untung tak mudah di kelabuhi, Yanto melihat dengan seksama. "Pak, kalau mau nipu usaha dikit lah biar percaya. Itu bukan akte, itu sertifikat rumah, dih malu aku kalau jadi bapak."
Bayi makhluk suci pembawa keberuntungan, kala Jarwo kesal dan melempar bantal sofa ke arah Yanto, Rini mencak-mencak. Rini menceramahi Jarwo, bagaimana mungkin suaminya kepikiran melempar barang, sedang Yanto menggendong bayi. Iya kalau Yanto yang kena, kalau bayinya bagaimana. Begitulah sepenggal ceramah ibunya yang sempat ia dengar. Kini Yanto, membawa lari anaknya ke rumah Dayat.
Rumah Dayat hanya berjarak sepuluh rumah dari rumahnya, jadilah Yanto berjalan kaki. Melewati rumah Ujang yang berjarak dua rumah. Ujang tersedak kopi hitam panas, hatinya terluka saat Yanto membalas sapa namun tak mampir. Saat di perhatikan, Yanto membuang muka dan berjalan cepat ke rumah Dayat. Ujang tak perduli dengan noda kopi di kaos dalam, ia berlari menyusul Yanto.
Mendelik, berdiri di hadapan Yanto yang nyaris masuk gerbang rumah Dayat. "Apa-apaan kau?"
"Minggir, bawa bayi ini loh ini, keburu kepanasan kasihan ntar gosong." Dalam hati Yanto tertawa melihat Ujang penuh kesal.
"Mau tipu-tipu? ini jam 9 masih bagus sinar matahari untuk bayi. Aku bodoh, tapi gak belegug banget ah elah." Cerocos Ujang.
"Oh iya ya, yaudah ayo berjemur di teras si Dayat aja." Ajak Yanto, mendahului Ujang.
Mememgang pundak kiri Yanto. "To, kenapa harus ke rumah Dayat, rumah ku lebih dekat loh?"
"Berisik rumah mu." Ujar Yanto.
"Ya tapi minimal mampir semenit lah, aku ternistakan loh ini." Derita Yanto yang punya banyak adik dan saudara di rumah.
"Ah, biasnya kalau maen ke rumah mu kena usir terus malas aku." Gerutu Yanto.
"Sekarang beda, ayo ke rumah ku aja!" Ajak Ujang.
"Hish, mager. Udah yok masuk aja, pegel berdiri terus." Seru Yanto.
Pasrah dengan kenyataan. "Hah, ya sudah lah."
"Assalamualaikum, bude....bude ....bude Yanti?" Ujang dengan ritual memanggil orangtua Dayat keluar rumah.
"Waalaikumsalam...."
Ceklekkk
"Hemm, tau gitu nggak di bukain pintunya. Dayat nggak ada, lagi tempat budenya di desa." Yanti hendak menutup pintu kembali.
Yanto memamerkan bayi tampan, Yanti langsung mengambil alih bayi itu. "E..e...eh, ada ci ganteng, udah mangi yohj. Tium tium dikit ya."
"Eh masuk aja itu Dayat lagi sarapan." Memilih menimang bayi dan memberi asupan vitamin D.
"Kebetulan, ayok sarapan Jang." Seru Yanto.
Ricuh di meja makan Dayat sudah biasa. Rumah Dayat adalah tempat ternyaman untuk berpesta dan kumpul-kumpul. Orangtuanya gaul, mau dengar musik dengan volume tinggi tak masalah. Minimal sampai kena gedor tetangga, baru dikecilkan. Dayat anak bungsu kesayangan keluarga, disayang karena dua kakaknya perempuan dan sudah menikah. Adat Jawa, kalau bukan anak bungsu ya meninggalkan rumah, toh dalam Islam memang perempuan sudah menikah akan ikut suaminya. Dayat pemegang tahta tertinggi di keluarga, meski orangtuanya gaul kadang paling sulit mendapatkan izin saat ada acara adalah izin dari Yanti dan Tanto.
Perut membuncit, Tanto menyeka sisa makanan di mulut, lantas menyalakan rokok di depan tv. Tiga pemuda yang makan terakhir, diperingatkan cuci piring dan membereskan meja makan. Berbagi tugas, tentu saja yang repot tetap tuan rumah. Dayat cuci piring, lap meja makan, dan memasukkan semua sisa lauk. Yanto dan Ujang, ikut mondar-mandir biar terlihat sibuk saja.
"Ah, baru juga sarapan langsung produktif banget cok, bukannya bantuin malah sibuk mondar-mandir, ngapain sih kesini pagi-pagi." Dayat misuh, tak suka akan kehadiran dua sohibnya, dia biasanya santai dengan ayahnya di ruang tv usai sarapan.
"Berhenti mengoceh kau nyaris seperti ibu-ibu berdaster." Yanto mencemooh.
"Tau tuh, cerewet padahal laki, ganti rok dulu sana atuh." Ujang turut mencela.
"Hah, sabar-sabar wong sabar jodohnya cantik." Dayat mengelus dada.
"Haahhahah, Yat kalau dia ya harus mawas diri lah, kau buruk rupa mana mungkin dapat istri cantik." Gurauan Yanto memang selalu begitu.
"Ya Allah, semoga kelak istri ku paling cantik di banding istri mereka, solehah, baik dalam segi apapun hingga Yanto dan Ujang iri tapi tak bisa berbuat apa-apa. Aamiin ya Allah." Doa Yanto meski tak khusyuk tapi serius dari dalam dada.
"Cih mimpi di pagi hari, bangun Yat bangun!" Ujang menoyor dahi Dayat lantas nyelonong pergi ke kamar Dayat.
"Eh bedul, ngapain ke kamar cok?" Dayat lihat tadi kaki Ujang dekil, pasti dia nyeker datang bertamu kemari, jangan sampai rebahan di kasurnya yang baru ganti seprai.
"Rapat paripurna, cus kamar." Yanto mendahului Dayat, menyusul Ujang.
Prasangka buruk kian kuat, Dayat bergegas menyusul keduanya, sampai kamar benar saja Ujang sudah guling-guling di seprainya dengan kaki yang terlihat kumal dan kotor. Kaki Ujang lantas di dupak dengan kuat oleh Dayat. "Cuci kaki dulu sana, benar-benar kaya abis dari sawah."
"Ih kamu mah, lagi pw ini." Tolak Ujang sedikit tak tahu diri.
"Cok, panggilin ibu ku loh ini." Ancam Dayat.
"Iya-iya, hish bawel pisan." Dumal Ujang, berdiri dari ranjang lantas membasuh wajah, kaki dan semuanya.
"Hem, punya teman gilanya nggk ilang-ilang, suruh cuci kaki malah mandi sekalian." Yanto gedeg dengan ulah Ujang.
"Nikmati saja, toh punya kawan rajin mandi enak juga kitanya nggk ke bauan cok." Timpal Dayat, kini sibuk bermain ponsel.
"Lah kayak nggk tau aja, nanti habis mandi pasti langsung obrak-abrik lemari, pinjem kaos, pinjem sandal, parahnya pinjem kancut, hoekk mana bekas nya nggak di cuci dulu langsung pulangin." Celoteh Yanto.
"Woy, denger ya aku tuh. Seger loh bau badan ku, itu itung-itung kenangan dari sahabat." Teriak Ujang sengaja mencuri dengar.
"Nasib-nasib cok, gini amat punya bestot." Dayat mendumal seraya bergerak seolah meninju Ujang yang di kamar mandi.
Pernahkah menanti seorang gadis mandi sampai tuntas. Jika ada pengalaman, pastilah tahu bagaimana jenuhnya menanti itu. Ujang bukan gadis, bukan artis, bukan juga priyayi, seorang bujang kampung yang mandi bagaikan putri solo. Yanto nyaris tertidur, Dayat nyaris menyelesaikan menyembunyikan semua pakaian. Ujang keluar dengan handuk menutupi dada. Dayat tak ingin frustasi seorang diri, kakinya menendang kaki Yanto yang yang menjuntai agar sadar.
Yanto baru saja membuka mulut untuk mengumpat, namun matanya lebih dulu menangkap tampilan Ujang. "Bwhahahahahah, eh neng Ujang...pffttttt kampret."
"Kunaon kamu teh Yanto, orang baru keluar kamar mandi di ketain, gelo ya?" Sewot Ujang.
"Hahahahhah, ya mana nggk ketawa cok, tampilan mu kaya gadis mana mandi juga lama banget cok." Dayat turut berkomentar.
Memang keusilan adalah sebagain dari hidup Ujang, dengan sengaja melepas handuknya. "Yaudah begini saja kalau gitu."
"Njirr gila ah, si Ujang pake lagi woy, aurottttt!" Yanto teriak heboh, dia menghadap Ujang tanpa penghalang.
"Berewok bener si Ujang, serem lah." Dayat melempar Ujang dengan kaos usang miliknya.
Ujang menerima itu, melihat dengan seksama pemberian sahabatnya. "Kaos maneh banyak Dayat, koret teing ngasih yang buluk, ini mah keset di rumah ku."
"Yeh siapa yang nyuruh make, itu buat ngelap lantai cok, salah siapa air seember di bawa keluar. Basah semua tuh lantai." Dayat heran, apa gunanya handuk jika saat keluar tubuh masih banyak aliran air sehabis mandi.
"Udah buru di pel, terus pake baju. kasihan anak ganteng belum di kasih susu, ayo rapat." Yanto tak punya kesabaran lagi.
Dayat naek ke ranjang, duduk di dekat Yanto, secepat kilat Ujang menyusul. Melingkar di atas kasur milik Dayat, Yanto memulai rapat pembentukan nama untuk putra mereka."Jadi ada saran dari kalian nama apa yang cocok untuk anak kita?"
"Hemmm, gimana kalau gabungan nama kita bertiga aja deh." Usul Ujang.
Dayat berpikir, mencoba mencari susunan kata yang bagus dari nama mereka bertiga. "Dauyan, gimana?"
"Doyan weh sekalian, gak ah jelek." Tolak Ujang.
"Yaudah next." Yanto ikut berpikir.
"Uday aja gimana?" Ujang berujar.
"Udang kali ah, lagian norak banget, ganti." Lagi-lagi Yanto menolak.
"Nah, gimana kalau Suyanda? Huruf s nama dari si bayi uyanda gabungan Ujang, Yanto, Dayat gimana?" Kini Yanto yang memberi usulan.
"Yehh, kirain mah lebih bagus taunya lebih norak." Protes Ujang.
"Kayaknya nama kita gak cocok di satuin, ubah gaya aja lah jangan dari singkatan nama kita, daripada tuh bayi menderita pas gedenya, mending cari aman." Dayat berpikir puluhan kali juga tak ada yang cocok jika menyatukan nama mereka.
"Oke gini aja, si bayi kan lahir dari kuburan, nah nama yang berunsur ada kuburannya apa gitu aja kali ya?" Ujang mengetuk-ngetukan jari telunjuk nya di dagu.
"Ah si Ujang benar-benar ya, mana ada orang kasih nama anak dari unsur kuburan, ntar nama anak batu nisan, Kamboja, melati, patok, mayat, pocong, kuntilanak dong. Yang bener ajalah, dah cari yang bener gitu loh Ujang!" Keluh Yanto sembari misuh.
"Eh, tapi bagus juga loh ada unsur kuburan nya, dia kan seolah dilahirkan di atas tanah, dia lahir benar-benar karena anugerah ilahi, siapapun tak akan menduga kalau dia bisa dilahirkan di atas bumi dengan fenomena begitu." Celoteh Dayat.
"Boemi?" Ketiganya teriak bersama dan mantap akan satu kata.
"Nah, iya bener gimana kalau Boemi nyaman, keren dan mewakili semua proses kelahirannya." Komentar Ujang.
"Boemi Djiwa, ibaratnya sosok jiwa yang dilahirkan oleh bumi, bagaimana?" Yanto mengimbuhi nama belakang.
Mereka bertiga saling melempar pandang, berdiri di atas ranjang bersamaan, seolah sepakat telah di jumpai, ketiganya kegirangan. Melompat-lompat sembari meneriakkan nama Boemi Djiwa, berulang sampai tragedi terjadi.
Brakkkkkk
Jebloss
"DAYAT, apa itu?" Yanti yang di teras segera berlari ke kamar putranya, sumber suara gaduh dari sana.
Yanti melongo, tak percaya ranjang anaknya amblas, papanya patah, sedang tiga manusia pujangga garuk-garuk kepala di atasnya. Yanti naik pitam. "KUTU MONYETTT, YAKK KENAPA SUDAH SEGEDE BAGONG LOMPAT DI KASUR, ARGHHHH BERESKAN SEMUANYA!"
Bersambung