NovelToon NovelToon
Kamu Berhak Terluka

Kamu Berhak Terluka

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen Angst / Teen School/College / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Keluarga / Bullying dan Balas Dendam / Enemy to Lovers
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Bibilena

Gilsa tak percaya ada orang yang tulus menjalin hubungan dengannya, dan Altheo terlalu sederhana untuk mengerti kerunyaman hidup Gilsa. Meski berjalan di takdir yang sama, Gilsa dan Altheo tak bisa mengerti perasaan satu sama lain.

Sebuah benang merah menarik mereka dalam hubungan yang manis. Disaat semuanya terlanjur indah, tiba-tiba takdir bergerak kearah berlawanan, menghancurkan hubungan mereka, menguak suatu fakta di balik penderitaan keduanya.

Seandainya Gilsa tak pernah mengenal Altheo, akankah semuanya menjadi lebih baik?

Sebuah kisah klise cinta remaja SMA yang dipenuhi alur dramatis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bibilena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Soal hubungan, kita terlalu rumit

"Ini pembagian kelompok yang waktu itu?"

Saat datang ke kelas pemandangan baru dari papan tulis yang penuh dengan tulisan nama-nama murid mencuri perhatian. Altheo cukup heran kapan Clarissa menulis itu semua sementara dia saja tak ada di kelas setiap kali Altheo datang. Orang itu benar-benar seperti orang tersibuk di dunia.

Lamia mengangguk saat Altheo menatapnya. Gadis itu seperti melamun. Dua diantara sekawan yang biasanya sibuk mengobrol kini sibuk bermain ponsel. Sementara Tiara sibuk membaca buku pelajaran.

"Kalian serius banget," komentar pemuda itu. Lamia meliriknya lagi sambil berpangku pipi. Wajah gadis itu tampak kusut.

"Tolong lihat kelompokku, siapa yang akan bahagia melihat nama-nama itu?"

Kedua alis Altheo terangkat. Dia melihat kembali papan tulis, mencari nama Lamia diantara nama-nama murid. Gadis itu ada di kelompok pertama, tidak terlalu buruk. Kemudian dia melihat nama-nama di bawahnya. Ah, saat melihat nama itu Altheo harusnya sudah bisa menebak sejak awal.

"Gilsa, ya?"

Lamia mendesah, melirik Altheo dan menggeleng. "Bukan dia."

"Lho, bukan?"

"Gilsa mah masih mending, dia kalo tugas tidak pernah bikin repot." Itu Devina yang menjawab. Gadis itu masih sempat mendengarkan dan mengobrol meski sambil memainkan ponsel.

"Tapi itu juga masalahnya justru." Lamia menegakan tubuh. "Tiga orang lainnya menyusahkan, dan yang bisa diajak kompromi hanya Gilsa. Apa yang lebih buruk darinya?"

"Kenapa? Gilsa lumayan kok." Altheo membalas tanpa ragu yang menimbulkan tatapan serentak dari keempat orang.

"Maksudku dia memang menyebalkan tapi kalau diajak bicara tidak pernah tidak mendengarkan. Cukup jangan diacuhkan saja jika dia bicara kasar."

Lamia berdehem. Tiga yang lain kembali sibuk pada kegiatannya masing-masing, dengan Devina yang tertawa. Hal yang lucu adalah gadis itu tertawa sambil bermain ponsel.

"Iya," balas Lamia, tak bisa berpura-pura senang dengan hiburan Altheo.

"Aku paling benci orang yang seperti itu." Devina menjawab lagi sambil bermain ponsel.

"Kalian berdua sedang apa sih sibuk begitu?" Altheo mengintipnya. Mengherankan, dia ingin mengobrol tapi tak bisa lepas dari ponsel.

"Lho, sudah buat? Kapan bagi tugasnya?" Ternyata Devina sedang menggunakan aplikasi mengedit, dan dia sudah membuat infografisnya.

Devina tertawa. "Apa perlu? Aku bisa melakukannya sendiri. Mereka hanya perlu menyiapkan presentasi masing-masing."

"Wow, kau individualis sekali."

Tiba-tiba Tiara berdiri.

"Kita sekelompok kan?" Dia memeluk buku pelajaran dan ponsel di tangannya sambil menatap Altheo. Gadis itu terlihat senang sampai membuat Altheo tertawa kecil.

"Ah, iya. Bagaimana, mau berbagi nomor ponsel?" tawar Altheo. Selain dia dan Tiara ada tiga murid lain sehingga lebih bagus juga jika membuat grup di ponsel. Altheo tak terlalu dekat dengan tiga yang lain bahkan dia masih belum hapal sosoknya yang mana. Ada nama Yudha, Gita, dan Arum di sana.

"Wah, ide bagus." Tiara membuka ponselnya. "Kamu sudah masuk grup kelas?"

"Sudah, aku nomor yang baru bergabung."

"Oke, aku buat nanti."

Altheo berdehem. "Aku duduk dulu ya."

"Eh sebentar."

"Apa?" Altheo kembali ke posisi semula. Gadis itu menunjuk buka yang dipeluknya.

"Kita kerja kelompok sekarang."

"Hah?"

Tiara keluar dari mejanya dan menggandeng Altheo ke arah kiri jajaran bangku.

"Pak Akbar tak akan masuk, kau tidak membuka grup?" Mereka berhenti di meja kedua dimana dua orang siswi sedang diam bermain ponsel. Tiara menepuk kedua orang itu.

"Gita, Arum, kita kerja kelompok yuk?"

"Oh, Tia." Sisi kiri Tiara, Arum, bangun dengan melenguh seperti baru bangun tidur.

"Dimana? Kapan?" Gita di sisi kanan juga menimpali. Meski tampak tak serius, Tiara tidak memudarkan senyumnya dan menepuk lagi kedua orang itu.

"Di sini, di meja kalian. Kita satukan mejanya lalu ambil kursi masing-masing untuk duduk. Oke?"

Altheo ingat kemarin dia bilang Tiara dan teman-temannya itu seperti anak nakal yang tidak peduli pada sekolah. Saat gadis itu menyangkalnya, dia sedikit tak percaya. Namun sekarang dia tahu bagaimana bisa pemikiran itu salah. Gadis ini sekarang menunjukan bagaimana usahanya untuk memenuhi tugas dengan tetap saling terhubung pada setiap anggota kelompok.

Dia serius soal nilai.

"Biar aku saja yang mengatur tempat duduk." Altheo menyimpan tasnya di meja Arum sambil menyuruh mereka menjauh.

•••

Gilsa baru kali ini lagi melihat meja di sisi kirinya kosong, apalagi pemandangan yang biasa terjadi sebulan sekali terjadi lagi minggu ini. Semua orang di sekelilingnya berkumpul membentuk kelompok tepat saat bel masuk berbunyi. Luar biasa, hanya dia sendirian di meja belakang.

Jika hal seperti ini terjadi orang-orang yang sekelompok dengannya tak akan membentuk kelompok di sekolah. Mereka akan menghubungi di malam hari lewat ponsel lalu membentuk grup. Kemudian menyelesaikannya di sana lalu melakukan presentasi saat giliran tiba.

Hanya seperti itu.

Sehingga tugas kelompok selalu membosankan.

"Bisakah kita langsung saja?"

Namun secara aneh seseorang mendatangi Gilsa. Meski dengan raut risih dan sikap congkak, Lamia menyimpan buku di mejanya lalu duduk di kursi Adnan.

"Katakan maksudmu dengan jelas," balas Gilsa. Akan luar biasa jika gadis di depannya ini menghampiri untuk mengerjakan tugas bersama.

"Apalagi? Aku sudah membawa buku." Lamia menunjuk buku di meja. Wah, betulan luar biasa.

"Aku tidak suka bicara." Gilsa membuka buku dan langsung mencari materi kelompok mereka. Secara ajaib Lamia tak membantah dan diam menunggu. Sebenarnya ini pertama kali mereka sekelompok, mungkin Gilsa hanya tak tahu Lamia tak terlalu membencinya.

"Aku siapkan materi, kau mengedit," kata Gilsa. Sambil memotret lembar buku.

"Tidak." Lamia menaruh tangannya di atas buku. Mereka bertatapan, pada akhirnya Gilsa menyimpan lagi ponselnya.

"Bukankah lebih baik kau yang mengedit? Kau kan tidak terlalu pintar soal materi."

"Tahu darimana?" Gilsa mendecih. "Clarissa? Prima? Teman sekelasku dulu? Atau gosip dari kelas lain?"

Lamia diam, tapi dia tertawa setelahnya.

"Kau baru saja mengabsen orang-orang yang paling membencimu."

"Aku bisa membuat materinya secara terstruktur. Tak ingat bagaimana performaku dengan Caroline tahun lalu?"

Lamia mendesah. "Aku tak percaya. Itu mungkin kalau kau pura-pura mengerjakannya di rumah."

"Kau pikir semudah itu memakai koneksi?" Gilsa mendecih. Dia kembali bersandar di kepala kursi dan melupakan soal buku yang Lamia tahan.

"Aku tahu kalian berpikir setiap tugas dan pekerjaan yang kukerjakan dibantu guru, tapi tak ada yang lebih bodoh dari orang yang berpikir seperti itu."

"Aku tidak sedang meminta pembelaan diri darimu."

"Aku baru saja mengatakan kau bodoh, Lamia."

Gadis itu memandang dengan marah. "Apa maksudmu?"

"Membuat jawaban siswa bisa tepat 100% tidak semudah memanipulasi nilai, terima saja kalau aku memang pintar."

"Lalu kenapa kau pergi ke ruang guru setiap hari? Kenapa kau bisa bermalas-malas di kelas tapi nilaimu bagus? Akui saja jika kau memakai koneksi untuk terlihat pintar."

Gilsa diam. Dia menghela napas dan seolah pasrah tatapannya tampak lesu.

"Kau sungguh bertanya atau hanya menumpahkan rasa kesal padaku? Ambil saja apa yang kau mau dan pergilah." Gadis itu mendorong buku itu lalu menidurkan diri di meja. Tak peduli Lamia yang menatap jengkel dirinya.

"Jika memang tidak, kau bisa menyangkalnya, tapi kau lebih memilih terlihat seperti itu. Pokoknya aku yang membuat materi, dan kau yang mengedit." Lamia mengoceh sambil membawa buku. Dia berdiri, keluar dari meja kemudian menyatukan meja Altheo dan meja Gilsa.

"Hei, bangun. Kita harus menyelesaikannya sekarang."

"Deadlinenya kan minggu depan?" Gilsa mengintip. Lamia sedang mengambil kursi Adnan untuk di pakai di sampingnya.

"Pengumpulannya hari ini, minggu depan presentasinya."

Gilsa berdehem. "Oke, aku tunggu. Tapi bukannya kau bisa melakukannya di mejamu sendiri?"

Lamia menatap mejanya yang paling depan dengan tatapan kosong. Kemudian gadis itu tertawa.

"Aku hanya berubah pikiran," kata gadis itu.

"Altheo bilang kau tetap mendengarkan orang lain meski menyebalkan. Ini pertama kalinya juga kita sekelompok kan?"

Lamia menatap Gilsa.

"Aku tidak mau menggendong kelompok sendirian."

•••

Gilsa pergi ke lantai atas pada jam istirahat, tidak seperti biasanya dimana dia hanya akan berkeliaran di sekitar ruang guru dan tata usaha. Lantai atas yang di maksud adalah lantai keempat gedung sekolah. Lantai itu adalah area untuk murid-murid kelas 12, sehingga jelas tujuannya ke sana adalah untuk menemui salah satu diantara ratusan murid kelas akhir yang hari ini datang ke sekolah.

Dia sampai di ruang kelas dengan nomor 12-5, dan masuk ke sana. Tak seperti kelas-kelas di lantai kelas 11 yang ruangannya selalu kosong, ruangan di lantai 4 selalu penuh. Itu karena di sinilah mereka pergi. Apalagi pada waktu istirahat seperti ini orang itu juga pasti tak akan ada di kelasnya sendiri. Gilsa tahu mereka selalu berkumpul di satu tempat, kelas 12-5 dimana ada keberadaan terbanyak dari anggota perkumpulan yang mereka miliki.

Hampir penuh kelas ini dengan kelompok-kelompok murid yang saling mengobrol, dari dengan suasana harmonis sampai penuh teriakan. Tatapan Gilsa dan langkahnya tertuju pada orang-orang di bagian pojok kelas, bagian terbelakang dimana mereka duduk melingkari meja yang di satukan. Dengan memakan camilan sambil bermain kartu.

"Kenapa kau rajin sekali mencariku belakangan ini?" Gilsa berdiri di belakang sosok yang tengah merangkul siswi, dia pria bermata sipit dengan potongan rambut undercut yang memakan sebuah permen lolipop di mulutnya.

"Halo, lama tak bertemu." Dia menarik keluar lolipop itu, menggeser kursi gadis di sisinya dan berbalik ke arah Gilsa. Dari situ semua orang yang berkumpul mengitari meja itu melihat serentak Gilsa.

"Apa kau ingin balas dendam?" Gilsa mengernyit marah. "Atau kau tiba-tiba teringat siswa kelas 10 yang dulu kau bodohi? Kenapa kau turun langsung mengangguku lagi setelah 2 tahun lamanya hanya diam?"

Pria itu tersenyum miring.

"Kevin, jangan pikir dengan lepas dari konsekuensi terberat membuatmu akan selalu bisa menghindari hukuman." Gilsa menggebu-gebu saat bicara demikian. Sementara Kevin, kakak kelasnya itu masih tersenyum dengan seringai, menatapnya dari atas ke bawah.

Di antara orang-orang itu juga ada Morgan, tapi dia bukan apa-apa di sini. Tak ada Clarissa untungnya, gadis itu pasti sibuk dengan organisasi. Sementaranya sisanya hanya antek-antek orang ini, mereka tersebar dari kelas 10 sampai 12.

"Kau hanya diam?"

"Lalu?" Sebelah alis Kevin terangkat. Senyumnya senantiasa memekar.

"Kamu lucu datang kemari dan marah-marah begitu, aku senang melihatnya," lanjutnya.

Gilsa tahu tak ada gunanya mendatangi pemuda itu, dia tahu tapi dia tak memiliki cara lain. Apalagi Morgan, terus mengusiknya di media sosial dengan tag postingan yang konyol. Awalnya itu ajakan untuk menongkrong bersama lagi, tapi lama-lama isinya berubah buruk, jika tidak hinaan itu adalah hal tidak senonoh lainnya.

"Apa sesuatu mengusikmu? Katakan, apa aku membuat matamu sakit? Apa aku tampak hidup tenang?" Gilsa menaikan nada bicaranya hingga membuat suasana kelas mendadak hening. Gadis berusia 17 tahun itu, yang masih kelas 11, melakukan protes terang-terangan ke sarang para murid tingkat akhir sekolah ini.

Mengingatkan mereka pada kejadian 2 tahun lalu.

"Kau bilang kau akan mematuhi sekolah selama melihatku hidup dibenci, sekarang apa lagi?!"

Kevin tertawa kencang, dia berdiri tiba-tiba hingga Gilsa mundur selangkah. Pria itu menatap murid-murid yang menatap ke arah mereka dengan sorot penasaran hingga mereka semua kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Kevin kemudian melihat Gilsa. Mendekati gadis itu dan menyampirkan rambut pendek Gilsa ke belakang telinganya. Gilsa secara mendadak hanya bisa mengatur napasnya yang memburu.

"Kenapa kau mencari perhatian di sini?" katanya, masih dengan memainkan rambut Gilsa.

"Kau pikir aku akan puas hanya dengan melihat beberapa kebencian kecil terjadi pada orang yang melaporkanku hingga aku diskorsing sampai lulus?" Kevin berbisik di depan wajah Gilsa. Tatapannya tenang, berbanding terbalik dengan wajah Gilsa yang penuh waspada.

"Tapi aku benar-benar hidup dengan sangat buruk setelah kejadian itu. Aku berkali-kali tak tahan ingin melawan apa yang kau lakukan. Aku masih diusik oleh seluruh murid karena apa yang kau lakukan!" Gilsa memelas. Ini adalah pertama kalinya dia menampakan dirinya yang terguncang setelah 2 tahun lamanya. Dia menahan amarah dan tangis di waktu yang sama.

"Lalu apa sekarang kau sudah mencapai batas dan meminta keadilan dariku?"

Gilsa diam. Dia akhirnya memiliki kekuatan untuk menepis tangan Kevin hingga menjauhkan jarak mereka berdua. Gilsa mengacak-acak rambutnya yang disentuh Kevin.

"Pasti ada alasan kau menyuruh Morgan kembali menggangguku." Gilsa menunjuk pria itu.

"Kau menyuruh langsung temanmu, seluruh lokerku dipenuhi kalimat yang sama dengan yang kau kirimkan dua tahun lalu, dan hari ini Prima diganggu. Kau satu-satunya yang akan melakukan itu, Kevin!"

Pria itu kini diam, wajahnya nampak serius. Dia kemudian menatap ke belakang, ke arah Morgan yang ditunjuk Gilsa. Mendecih, menatap gadis itu lagi, lalu tanpa melihat wajah Morgan tangannya terangkat memanggil pemuda itu.

"Kemari kau."

Morgan mengumpat lewat tatapan pada Gilsa, dia berdiri, bunyi deret kursi yang digeser kasar.

"Apa aku menyuruhmu melakukannya?" tanyanya. Tepat ketika Morgan sudah berada di dekat mereka.

"Aku inisiatif sendiri." Jawaban Morgan membuat Gilsa menatap kesal ke arah samping kanan. Dia kembali melihat Kevin yang menatapnya dengan remeh.

"Apa aku melanggar perjanjian kita?" tanya Gilsa. "Katakan dengan jelas apa yang membuatmu tersulut amarah lagi. Aku akan menerima itu asal kau tidak menganggu kami."

Kevin tampak menimang karena pertanyaan itu.

Benar, yang Gilsa inginkan adalah alasan kenapa orang-orang ini mengusiknya, mengusik Prima lagi. Hanya dengan itu dia bisa lakukan untuk merubah keadaan seperti sedia kala. Mereka memperingatinya, dan Gilsa menganggap itu perjanjian. Ketika semua orang melayangkan berbagai bentuk kebencian padanya karena sebuah insiden besar, Kevin datang dan mengatakan bahwa hanya jika Gilsa tetap hidup seperti itu dia akan menepati hukuman yang sekolah berikan.

Gilsa telah menahannya selama hampir dua tahun, tapi tiba-tiba Kevin mengatakan secara tersirat jika dia sudah berbuat salah.

"Aku mendengar dari seseorang bahwa kau mulai hidup normal belakangan ini."

Gilsa mengernyit. Dia kemudian teringat kejadian baik yang terus terjadi padanya belakangan ini. Gadis itu mengepalkan tangan, dia merasa Kevin sudah melupakannya sehingga tak berpikir kejadian sekecil itu akan langsung diketahui kakak kelasnya itu. Satu-satunya alasan yang menimbulkan ini semua adalah kedatangan murid baru itu.

"Aku tak senang kau akhirnya dapat teman lagi setelah sekian lama."

1
Rasmi
🥲
Rasmi
😭😭😭😭
Rasmi
gilsa gk naik kelas????? 🧐 kok isoo
Rasmi
kencan??? 😌
Rasmi
Critanya mnarik bngt.. ada kisah pertemanan, masalah kluarga jga prcintaan ...ditnggu smpe end thorr 😌☺
Rasmi
nooooo 😭
Rasmi
altheo??
Rasmi
😲
Rasmi
susss😌
Rasmi
typo y yang trakhir thor mau ikutan kaget jdi gk jadi 😭🤣
Bibilena: Ah iya maaf aku baru tahu 😭😭
total 1 replies
Rasmi
jahat bngt bjingan😭
Rasmi
pengalaman bangettt 😵‍💫
Rasmi
bner banget knpa y orng kaya tuh suka caper 😕
Rasmi
wah, seru juga,kyaknya cweknya badass dehh
Gió mùa hạ
Tak terduga.
Bibilena: 😮 terima kasih (?)
total 1 replies
BX_blue
Jalan cerita seru banget!
Bibilena: Terimakasih atas dukungannya^^
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!