Geya dipaksa menikahi kakak iparnya sendiri karena sang kakak meninggal karena sakit. Dunia Geya seketika berubah karena perannya tidak hanya berubah menjadi istri melainkan seorang ibu dengan dua anak, yang notabenenya dia adalah keponakannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusan Berat
***
"Kenapa belum tidur?"
Aku langsung menoleh ke asal suara dan menemukan Mas Yaksa yang baru saja pulang dari rumah sakit. Aku kemudian tersenyum samar saat merespon pertanyaannya, yang langsung dibalas dengan Mas Yaksa yang mengerutkan dahi heran.
"Kenapa?" ulang Mas Yaksa tak puas dengan responku barusan.
"Belum ngantuk," balasku kemudian.
Mas Yaksa tidak bertanya lebih lanjut, kakak iparku tersebut mengangguk paham lalu bergegas naik ke lantai atas untuk membersihkan diri. Aku sendiri pun tadi malas untuk sekedar berbasa-basi dan menanyakan penyebabnya pulang terlambat.
Tak berselang lama, Mas Yaksa kembali turun. Dilihat dari rambut basah dan semerbak aroma sabun mint yang menguar, sepertinya pria itu baru selesai mandi. Aku tersenyum samar saat menyapanya lalu kembali melamun.
"Ada yang mengganggu pikiran kamu?"
Pertanyaan macam apa barusan itu? Bukankah Mas Yaksa harusnya paham akan apa yang membebani pikiranku akhir-akhir ini. Lantas kenapa dia berani bertanya demikian?
"Bukankah harusnya jawabannya sudah jelas, Mas?"
"Karena pernikahan kita?"
Aku menghela napas berat. Terlalu malas untuk sekedar membalas.
"Mas minta maaf."
Pandanganku lurus ke depan. "Apa kita benar-benar harus menikah, Mas?"
"Kamu keberatan?"
Aku menatapnya serius. "Memangnya Mas Yaksa enggak keberatan?" aku balik bertanya.
Ekspresiku terlihat harap-harap cemas saat menantikan jawabannya. Kira-kira bakalan jawab apa ya dia?
Di luar dugaanku, Mas Yaksa menggeleng dengan wajah tenangnya saat merespon jawabanku. Jujur, aku jadi bingung sendiri harus bereaksi bagaimana. Maksudnya dia nggak keberatan gimana?
"Boleh Geya tahu alasannya, Mas?"
Kali ini Mas Yaksa menggeleng. "Enggak ada alasan. Menurut Mas, Mas juga nggak punya alasan buat nolak."
"Karena amanah Kak Runa?"
Kali ini Mas Yaksa diam saja. Aku pun ikut diam, namun, tak lama setelahnya aku menghela napas berat.
"Kalau boleh jujur, Geya keberatan, Mas. Tapi meski demikian, insha Allah akan Geya usahakan buat ikhlas karena Geya nggak mau ngecewain Kak Runa."
Mas Yaksa diam selama beberapa saat dan tidak langsung merespon.
"Mas," panggilku ragu-ragu.
Mas Yaksa menatapku sebentar lalu mengangguk. "Maaf dan terima kasih." ia terlihat berpikir sejenak lalu menatapku serius, "mau buat perjanjian pra-nikah?"
"Menurut Mas Yaksa gimana? Aku ikut Mas Yaksa gimana baiknya aja, Mas."
Mas Yaksa mengangguk paham. "Nanti kita coba obrolin lagi soal ini ya kapan-kapan. Sekarang mending kamu langsung tidur, besok shift pagi kan?"
Kali ini giliran aku yang mengangguk dan mengiyakan. Tanpa berniat membantah aku pun langsung berdiri dan bergegas menuju kamar.
"Geya," panggil Mas Yaksa tiba-tiba.
Dipanggil aku reflek menghentikan langkah kakiku dan menoleh. "Ya, gimana, Mas?"
Mas Yaksa tidak langsung membalas. Pria itu diam selam beberapa saat, bukannya segera menjawab, ia malah menggeleng lalu segera menyuruhku untuk beristirahat.
"Enggak jadi, kamu bisa langsung tidur. Selamat malam."
Aku menatap Mas Yaksa ragu, kemudian menghela napas sedikit kesal karena di-php-in secara tidak langsung. Namun, aku memutuskan untuk tidak protes dan segera bergegas menuju lantai atas begitu saja.
***
Setelah pulang bekerja, aku memutuskan untuk memberitahu Mama Mas Yaksa, atas keputusanku yang mau menerima Mas Yaksa sebagai suami aku. Tapi sebelum aku membicarakan hal ini terhadap beliau, aku memutuskan untuk mengobrol dengan Javas lebih dahulu. Menurutku aku perlu mengobrol dengannya sebelum membuat keputusan berat ini.
Perasaan takut kalau aku tidak bisa diterima sebagai ibu sambung mereka menghantuiku. Meski hal ini sepertinya agak tidak mungkin mengingat kami cukup akrab. Apalagi kalau dengan Alin. Mungkin juga karena kami sama-sama anak bungsu dari bersaudara jadi membuat kami semakin bertambah akrab.
"Halo, ganteng, lagi ngapain?" tanyaku menyapa Javas yang nampak asik memainkan mainan Lego kesukaannya.
Javas ini sedikit banyak memang lebih mirip sang papa. Dia tipe yang diam, dan tidak terlalu banyak omong, namun, cukup bisa ia andalkan. Dan semoga saja kali ini demikian.
"Main."
"Itu mau bikin apa?"
"Mobil-mobilan."
"Kak, aunty mau ngobrol bentar boleh?"
Kali ini Javas langsung meletakkan mainannya, atensinya kini sepenuhnya memperhatikanku. Jujur, hal ini membuatku sedikit bertambah gugup.
"Boleh."
Astaga, Tuhan, aku sekarang benar-benar bertambah gugup dan tidak tahu harus bilang apa. Masa iya, aku harus bilang, 'kak, bentar lagi kamu bisa panggil aunty pake panggilan mama karena bentar lagi aunty yang bakalan jadi mama kamu' ya kan tidak mungkin juga. Lalu aku harus bagaimana?
"Aunty, kok aunty malah ngelamun?"
Aku meringis salah tingkah.
"Maafin aunty ya sayang," sesalku merasa tidak enak sekaligus sungkan.
Javas langsung menatapku bingung. "Memangnya Aunty bikin salah apa? Kenapa aunty minta maaf?"
Aku menggeleng. "Maaf karena aunty harus bikin keputusan yang mungkin nantinya bakalan bikin kamu kecewa."
"Kakak bingung deh aunty," akunya jujur.
Astagfirullah, dia masih terlalu kecil untuk menghadapi situasi ini semua. Lantas aku harus bagaimana ya Allah?
"Lagi pada ngapain sih kok kayaknya serius banget obrolannya?"
Tak lama setelahnya, Mama Mas Yaksa datang. Ia menatapku dan Javas secara bergantian. Raut wajah penasaran terlihat pada wajah ayunya yang tampak belum memudar meski sudah dimakan usia.
"Aunty tadi katanya ngajak ngobrol tapi yang ada malah bikin pusing Kakak," ucap Javas menceritakan apa yang dialami.
Sedangkan aku meringis malu. Mama Mas Yaksa nampak menatapku penuh rasa penasaran, mungkin pikirannya sedikit bisa menebak apa yang sempat kami obrolin tadi.
"Sayang, boleh Mama ngobrol berdua sebentar?"
Aku mengangguk pelan setelah tadi sempat bertanya pada Javas.
"Kamu sudah membuat keputusan itu?"
Kepalaku kembali mengangguk. "Sudah, Ma. Insha Allah, Geya mau belajar menerima keputusan ini semua."
Sesuai dugaan, Mama nya Mas Yaksa langsung memelukku. "Makasih ya, sayang, makasih banget karena sudah mau menerima. Mama janji bakalan jadi mama mertua yang baik buat kamu. Makasih ya sayang."
Aku tidak tahu dengan isi otakku saat ini, karena responku hanya diam saja saat beliau memelukku. Jujur aku bingung.
"Tapi gimana sama Javas sama Alin, Ma? Aku takut mereka nggak bisa terima Geya sebagai Mama sambungnya nanti."
"Kamu nggak perlu khawatir, sayang, Mama yakin mereka pasti senang karena kamu yang bakalan jadi Mama sambung mereka. Javas sama Alin sayang banget loh sama kamu. Jadi kamu nggak perlu khawatir apalagi cemas."
"Tapi gimana ngomongnya nanti, Ma?"
"Kalau masalah itu biar jadi urusan Yaksa, kamu nggak usah khawatir, bingung, atau cemas. Yang penting kamu fokus ke acara pernikahan kalian. Kamu ada wedding dream yang kayak apa, sayang? Biar nanti Mama bantu ngewujudinnya, semakin cepat acara, semakin baik."
Wedding dream?
Sejujurnya aku memiliki itu, tapi mengingat aku yang harus menikah dengan kakak iparku, rasanya tidak perlu memikirkan hal-hal semacam itu bukan?
To be continue