Lama mengasingkan diri di Pulau Kesepian membuat Pendekar Tanpa Nyawa tidak tenang. Sebagai legenda tokoh aliran hitam sakti, membuatnya rindu melakukan kejahatan besar di Tanah Jawi.
Karena itulah dia mengangkat budak perempuannya yang bernama Aninda Serunai sebagai murid dan menjadikannya sakti pilih tanding. Racun Mimpi Buruk yang diberikan kepada Aninda membuatnya tidak akan mengenal kematian. Dia pun diberi gelar Ratu Abadi.
Satu-satunya orang yang pernah mengalahkan Pendekar Tanpa Nyawa adalah Prabu Dira Pratakarsa Diwana alias Joko Tenang tanpa melalui pertarungan. Karena itulah, target pertama dari kejahatan yang ingin Pendekar Tanpa Nyawa lakukan melalui tangan Aninda adalah menghancurkan Prabu Dira.
Aninda kemudian membangun kekuatan dengan menaklukkan sejumlah pendekar sakti dan menjadikannya anak buah.
Mampukah Aninda Serunai menghadapi Prabu Dira yang sakti mandraguna? Temukan jawabannya di Sanggana 8 yang berjudul "Dendam Ratu Abadi".
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Hendrik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Raab 9: Kebangkitan Ratu Ani
*Ratu Abadi (Raab)*
Surina terus mencangkul. Gaya cangkulnya mirip seorang lelaki. Dia terus mencangku tanpa bernyanyi “cangkul cangkul yang dalam”. Selama mencangkul, asap biru terus keluar.
Tidak berapa lama, setelah cangkulan itu sudah cukup dalam, Surina berhenti dan menggantinya dengan mengorek tanah, karena kedalamannya hampir mencapai posisi jasad yang dikubur.
Duk!
Akhirnya cangkul mengenai papan penahan tanah. Ketika tatanan papan-papan terbuka celahnya, bias sinar biru seketika keluar seperti cahaya lampu.
“Cepat buka papannya!” perintah Prabu Galang Digdaya cukup tegang. Dia tegang karena merasa belum tenang jika belum melihat mayat putrinya hidup kembali. Permaisuri Titir Priya juga tegang.
Setelah menyingkirkan tanah dan membuat pembatas papan terlihat lebar, Surina mulai membuka bilah-bilah papan yang kotor.
Ketika satu papan dibuka, cahaya biru lebih besar keluar. Karena yang Surina buka adalah papan penutup di sisi kepala, jadi dia sudah bisa langsung melihat kepala mayit.
“Gusti Prabu, mata Gusti Ratu terbuka,” kata Surina tegang.
“Cepat, cepat bongkar semuanya!” perintah Prabu Galang Digdaya.
Surina pun segera membongkar semua papan pembatas itu. Semakin terlihat jasad Ratu Ani Saraswani yang mengeluarkan cahaya dan asap biru. Sepasang matanya terbuka dan bersinar biru, tetapi tidak terang seperti lampu. Tanda bahwa Ratu Ani telah hidup kembali adalah adanya gerakan napas pada dada yang dibungkus kain putih, tapi tidak seperti pocong.
“Ayahanda,” ucap Ratu Ani Saraswani pelan setelah melihat keberadaan ayahnya di atas liang lahat.
Maka mereka segera bekerja sama mengeluarkan tubuh Ratu Ani dari liang lahat. Meski Prabu Dira sudah kehilangan seluruh kesaktiannya, tetapi dia masih sanggup mengangkat tubuh putrinya yang lebih kecil dari tubuhnya.
Seiring itu cahaya dan asap biru yang muncul dari dalam tubuh Ratu Ani meredup dan akhirnya lenyap sama sekali.
Setelah berhasil mengangkat keluar raga Ratu Ani dari liang lahat, mereka segera pergi dari makam itu dengan langkah yang tergesa-gesa. Beberapa pendekar wanita berseragam merah gelap, sama seperti Surina, segera meninggalkan posisinya yang mengamankan area sekitar pemakaman dari kehadiran orang selain kelompok mereka.
Mereka melalui jalan yang bukan jalan setelah meninggalkan area pemakaman. Itu semata-mata untuk menghindari pantauan prajurit Kerajaan Pasir Langit yang sedang berpatroli.
Meski tadi sempat menyebut ayahnya, tapi selama perjalanan meninggalkan pemakaman Ratu Ani tidak berkata-kata lagi. Ratu Ani tidak mati lagi setelah susah payah dihidupkan, tetapi memang sedang tidak punya gairah untuk bicara karena kondisinya sangat lemah setelah melalui masa kematian.
Setelah cukup lama berjalan, akhirnya mereka sampai di sebuah gubuk yang tersembunyi di balik pepohonan. Lokasinya tidak jauh dari Muara Jerit, tapi tidak di pinggir sungai.
“Siapkan kemenyan kayu tumok empat!” perintah Prabu Galang. Entah kepada siapa?
Namun, Permaisuri Titir Priya yang segera ke dapur untuk mengambil kemenyan dan wadahnya yang sudah disiapkan sebelumnya.
Surina membantu Prabu Galang meletakkan tubuh Ratu Ani di dipan papan yang sudah kurang baik kondisinya. Seorang wanita lain mengikuti Permaisuri Titir di dapur.
“Bakar, lalu letakkan di sekitar dipan!” perintah Ratu Titir sembari memberikan wadah tungku mini kepada pendekar wanita yang merupakan pengawal sang permaisuri.
Tungku mini itu berisikan potongan kayu kecil berwarna merah gelap. Itu adalah kayu tumok, jenis kayu yang memiliki aroma khas dan tajam ketika dibakar. Keharumannya yang khas ketika dibakar membuat kayu tumok menjadi kemenyan alternatif.
Permaisuri Titir kemudian menyiapkan hal yang lain di dapur. Semua apa yang dia kerjakan sebelumnya telah dipersiapkan dalam rangka untuk membangkitkan kembali putrinya.
“Apa yang terjadi, Ayahanda?” tanya Ratu Ani lemah.
“Apakah kau ingat? Kau telah dibunuh, Putriku,” jawab Prabu Galang.
Terdiam Ratu Ani yang wajah cantik jelitanya masih terlihat pucat. Dia sepertinya sedang mencoba mengingat-ingat. Setelah teringat, wajah Ratu Ani mengerenyit.
Terbayang kembali rasa sakit yang tercipta ketika tusukan pedang Permaisuri Kerling Sukma menghujam dada kirinya.
Dengan gerakan lemah, Ratu Ani meraba dada kirinya yang tertutup balutan kain putih. Ia tekan-tekan dada kirinya, bukan maksud apa-apa, tetapi bermaksud merasakan kondisi lukanya. Ternyata tekanan jarinya tidak membuat luka pada dadanya sakit.
Melihat itu, sang ayah pun berkata, “Kematian telah membuatmu tidak akan merasakan sakit lagi, tapi kau masih bisa merasakan rasa yang lain layaknya manusia yang belum pernah mati. Itulah keistimewaan Ajian Bangun Sukma.”
Pengawal wanita muncul dari dapur dengan membawa tungku mini yang sudah berasap. Dia lalu meletakkan tungku-tungku kemenyan tumok itu di keempat kaki dipan.
Aroma kayu tumok segera menyeruak seiring asap halusnya terus mengalir dari empat tungku mini.
Dak dak dak…!
Terdengar pula suara kerja Permaisuri Titir di dalam dapur.
“Permaisuri Sanggana telah membunuhku,” ucap Ratu Ani. Sorot matanya kosong ke arah langit-langit bersawang gubuk kecil tersebut.
“Apa?!” pekik Prabu Galang mendengar itu.
Surina dan beberapa pengawal pendekar wanita lainnya juga terkejut mendengar perkataan Ratu Ani yang umur keratuannya hanya sepekan, boleh lebih tidak boleh kurang.
Prabu Galang, Permaisuri Titir dan para pengawalnya memang hanya tahu bahwa Ratu Ani telah dibunuh. Mereka tidak mendapat informasi sedikit pun tentang siapa pembunuh itu.
“Permaisuri Sanggana yang mana?” tanya Prabu Galang cepat.
“Aku tidak kenal. Aku hanya mengenal dua permaisuri yang pernah datang ke Pasir Langit. Permaisuri itu memiliki mata yang hijau,” jawab Ratu Ani.
“Prabu Dira keparat!” maki Prabu Galang gusar. Wajahnya menyiratkan dendam dan permusuhan yang tinggi kepada Prabu Dira. “Pasti Prabu Dira yang mengatur semua serangan licik ini untuk menyingkirkanmu, agar permaisurinya yang menjadi ratu untuk menggantikanmu.”
Terdiam Ratu Ani mendengar tudingan ayahnya. Dia tidak bisa membantah karena dia pun kini mendendam. Ratu Ani merasa tidak memiliki salah yang bisa dijadikan alasan bagi Permaisuri Sanggana untuk membunuhnya. Jadi, mungkin saja dugaan ayahnya memang benar. Di balik kependekaran, cinta, kemesraan dan kelembutan Prabu Dira ada niatan licik yang tersembunyi.
“Apakah benar aku dikhianati?” tanya Ratu Ani lemah.
“Aku tidak pernah akan mengkhianati putri kesayanganku, karena aku sudah merasakan betapa pedihnya dikhianati,” kata Prabu Galang.
Terhenyak hati Ratu Ani mendengar kata-kata ayahnya. Meski tidak menyebut siapa yang mengkhianati ayahnya, tetapi kata-kata itu sangat jelas bahwa dirinyalah yang dimaksud. Ratu Ani merasa bahwa pengkhianatan yang dialaminya adalah karma atas pengkhianatannya terhadap ayahnya sendiri.
“Maafkan aku, Ayahanda,” ucap Ratu Ani lirih. Dia kini merasa sedih, meski tidak ada air mata yang keluar.
Sementara itu, suara di dapur sudah berhenti terdengar.
“Jika kau sepakat dengan ayahandamu ini, kita harus mengambil kembali kerajaan milik kita. Lupakan pertikaian kita di masa lalu. Pasir Langit adalah kerajaan kita, milik keluarga kita. Kita harus merebutnya kembali, meski ketika kita berhasil memilikinya kerajaan sudah menjadi arang dan debu,” kata Prabu Galang.
“Aku akan menuruti kata-kata Ayahanda, asalkan Permaisuri Sanggana yang membunuhku membayar dosanya dengan kematiannya,” ucap Ratu Ani.
“Bagus. Ayahanda berjanji, Ayahanda tidak rela mati sebelum Kerajaan Pasir Langit dan seluruh wilayahnya kembali tergenggam di tanganmu, Ani,” kata Prabu Galang.
Ratu Ani mengangguk samar dalam keterbaringannya.
Permaisuri Titir Priya datang dengan membawa semangkuk kecil air ramuan. Dia duduk di sisi dipan.
“Aroma kayu tumok dan ramuan ini akan mengembalikan tenagamu. Setelah kau pulih, untuk sementara kita akan meninggalkan wilayah Pasir Langit,” kata Prabu Galang. (RH)