Aisha berjalan perlahan mendekati suaminya yang terlihat sedang menelepon di balkon, pakaian syar'i yang sehari-hari menjadi penutup tubuhnya telah dia lepaskan, kini hanya dengan memakai baju tidur yang tipis menerawang Aisha memberanikan diri terus berjalan mendekati sang suami yang kini sudah ada di depannya.
"Aku tidak akan menyentuhnya, tidak akan pernah karena aku hanya mencintaimu.."
Aisha langsung menghentikan langkahnya.
Dia lalu mundur perlahan dengan air mata yang berderai di pipinya, hingga ia kembali masuk ke dalam kamar mandi, Alvin tidak tahu jika Aisha mendengar percakapan antara dirinya dengan seseorang di ujung telepon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almaira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Infeksi.
Alvian memasuki rumah dengan langkah gontai, tidak langsung masuk kamar, dia menghempas tubuhnya pada sofa di tengah rumah.
Alvian bersandar sambil melihat langit-langit rumahnya, dengan tatapan kosong dia lalu melihat lampu gantung yang berkilauan di atasnya.
Diapun mengingat kembali bagaimana begitu marah dan kecewanya Anita pada dirinya tadi, saat dia mengutarakan keputusannya untuk menyudahi dulu hubungan mereka.
Alvian menarik napas panjang, yakin jika keputusan ini adalah tepat bagi keduanya, karena dirinya sadar, atau seakan tersadarkan jika apa yang dilakukannya selama ini adalah salah dan tak dapat memungkiri jika Aisha yang telah menyadarkannya, dengan caranya waktu itu. 'Suami dzalim'.
Kini, dia akan menjadi suami yang 'baik'. Walaupun bukan baik dengan arti yang sesungguhnya. Akan tetapi, jika memang dirinya tidak mencintai istrinya, setidaknya dia tidak akan berselingkuh dan menjalin hubungan dengan wanita lain dan jika memang dirinya tak bisa memberikan kebahagiaan buat Aisha, setidaknya dia tidak akan menyakitinya, akan seperti itu hingga saat perceraian yang mereka sepakati tiba.
Sementara Anita, dia juga yakin kalau akhirnya wanita yang dicintainya itu akan mengerti. Setia menunggunya sampai nanti.
Alvian yang sibuk berpikir tiba-tiba mendengar sayup-sayup suara orang yang mengaji.
Dia lalu melihat pintu kamar Aisha.
Entah mengapa hatinya yang tadinya terasa gundah kini merasa lebih baik ketika kini dengan jelas dia mendengar suara istrinya melantunkan ayat-ayat Allah dengan merdunya. Alvian lalu memejamkan mata terbuai akan alunan yang menyejukkan hati.
Beberapa saat kemudian.
Aisha keluar kamar untuk mengambil minum, kaget mendapati Alvian yang tertidur sambil duduk di sofa. Awalnya dia tak peduli namun kemudian ketika akan memasuki kamar lagi, Aisha menjadi sedikit mengasihani, melihat wajah lelah sang suami.
Aisha tampak ragu apakah harus membangunkan atau malah membiarkan.
Membiarkannya pasti akan membuat suaminya tidur seperti itu sampai pagi, sementara Aisha tahu jika suaminya butuh badan yang fit untuk bekerja esok hari.
"Hmm..bangun, pindah tidurnya ke kamar."
Alvian tak bereaksi.
Dia terus mencoba lagi. Tetap suaminya tidur dengan nyenyak sekali.
Aisha menyerah, kalau harus dibangunkan dengan caranya waktu itu menyentuh dan menggoyangkan tubuhnya, dia tak sudi.
Aisha lalu berjalan kembali menuju kamarnya.
Alvian membuka matanya, melihat Aisha memasuki kamar. Dia tersenyum karena istrinya itu sama sekali tidak mencoba lebih keras lagi untuk membangunkannya. Dia tahu pasti karena Aisha tak ingin menyentuh dirinya. Semua perbuatannya pasti membuat istrinya jijik.
***
Dua minggu kemudian.
Aisha menjalani aktivitas seperti biasanya, menghabiskan waktunya di dalam kamar dengan beribadah, menulis dan membaca.
Begitu juga dengan Alvian yang bekerja seperti biasa di Rumah Sakit walaupun kali ini cukup berbeda karena Anita tak lagi menemani hari-harinya.
Keduanya kini saling menghindar satu sama lain, berusaha untuk tak saling bertatap muka, walaupun sesekali tanpa sengaja mereka berpapasan, akan tetapi kini keduanya tampak seperti orang asing.
Semua itu terus berlanjut hingga tak terasa kini hampir sebulan lamanya.
Harusnya sebulan adalah waktu yang lebih dari cukup bagi seseorang untuk merasakan kerinduan apabila terpisah dari orang yang dicintainya, harusnya itu pula yang dirasakan Alvian pada Anita kini.
Alvian terheran-heran, dia kini ragu akan perasaannya karena Anita sama sekali tak dirindukannya. Sebulan perpisahan mereka tak membuatnya merana. Alvian justru menikmatinya.
Lain halnya dengan Anita yang merasa tersiksa. Dia merasa tak sanggup lagi berpisah dari sang kekasih.
Keduanya berpapasan, Alvian seperti biasa akan menghindar namun kemudian dia kaget karena Anita menyapanya.
"Aku ingin bicara."
"Maaf. Aku sibuk." Alvian akan kembali melangkahkan kakinya.
Anita kini berkaca-kaca. Merasa jika Alvian kini sudah berubah sepenuhnya.
***
Tengah malam.
Alvian yang baru saja memasuki rumah, kaget karena Aisha berdiri menyambutnya.
Alvian heran, tak seperti biasanya yang selalu berusaha untuk menghindarinya, tak bersua dengannya, istrinya itu kali ini tampak memang sedang menunggu dirinya.
"Ada apa?"
"Ada Kak Siti dan Kak Zainab," ucap Aisha ragu-ragu, dengan suaranya yang pelan.
Alvian lalu mengerti, dia tahu jika istrinya ingin memberitahu jika kini saatnya bagi keduanya untuk berlakon sebagai suami istri sebenarnya. Mereka juga akan tidur satu kamar malam ini.
"Aku mengerti." Alvian mengangguk.
"Apa mereka sudah tidur?" tanya Avian sambil berjalan menuju dapur.
"Iya." kata Aisha yang mengikutinya dari belakang.
Alvian membuka kulkas untuk mengambil minum.
"Kak Siti sakit," ucap Aisha tiba-tiba.
Alvian langsung membalikkan tubuhnya, melihat Aisha berdiri di belakangnya.
"Sakit apa?"
"Sepertinya komplikasi pasca keguguran."
Alvian mengerutkan keningnya.
"Dokter disana menyarankan untuk dibawa ke Rumah Sakit besar, karena itu besok aku dan kak Zainab akan membawa Kak Siti ke Rumah Sakit tempat anda bekerja."
"Itu bagus. Kalian bisa pergi bersamaku besok."
"Teman baikku dokter kandungan, mudah-mudahan dia bisa membantu kakakmu, aku akan berbicara padanya."
Aisha tampak senang, dia tersenyum dengan matanya berbinar.
"Terima kasih." Aisha menatap suaminya sejenak, lalu kemudian dia pergi meninggalkan Alvian memasuki kamar.
Alvian tertegun, lantas tersenyum sendiri.
"Matanya indah ketika tersenyum."
"Walaupun ketika marah juga tetap terlihat indah," lanjutnya berbicara sendiri.
***
Alvian membantu proses pendaftaran Kak Siti, sehingga prosesnya bisa lebih cepat, kini mereka hanya menunggu dipanggil untuk diperiksa.
"Kalian tunggu disini saja. Sebentar lagi akan dipanggil. Aku harus pergi untuk memeriksa pasien." Alvian berpamitan pada kedua kakak iparnya yang duduk di bangku.
Kak Siti dan Kak Zainab mengangguk dan tak lupa mengucapkan terima kasih.
Aisha yang berdiri mengikuti Alvian yang berjalan meninggalkannya.
"Tunggu. Sekali lagi terima kasih. Pulang nanti kami akan pulang naik taksi."
Alvian mengangguk.
"Baiklah."
Keduanya bertatapan sejenak lalu saling memalingkan wajah kemudian.
Alvian lalu melanjutkan langkahnya, dia pergi untuk memeriksa beberapa pasiennya, namun kemudian dia kaget melihat Dokter Arif, sahabatnya.
"Kamu tidak di poli pemeriksaan hari ini?" tanya Alvian heran.
"Tidak. Tiba-tiba ada operasi dadakan."
"Lalu siapa di sana?"
"Dokter Anita."
Alvian terhenyak.
***
Aisha dan Anita sama-sama tertegun melihat satu sama lain ketika baru saja Aisha dan kedua kakaknya memasuki ruangan pemeriksaan.
Mereka tersadarkan oleh Kak Zainab yang memanggil Aisha untuk duduk, akan tetapi Aisha lebih memilih untuk berdiri saja.
Anita melihat tiga orang wanita di depannya, berpakaian sama dan bercadar pula, seharusnya sangat sulit membedakan namun entah mengapa dia tahu persis mana Aisha.
Mungkin karena belakang ini dia selalu memikirkannya karena terlalu membencinya. Beranggapan jika Aisha yang menjadi sebab musabab sikap Alvian yang berubah drastis padanya.
Anita menarik napas, berusaha bersikap profesional, bertanya tentang keluhan pasien dan kemudian dilakukan pemeriksaan lanjutan dengan melakukan USG.
"Kenapa baru kesini sekarang? Ibu mengalami infeksi pasca keguguran. Sepsis akibat infeksi dari jaringan yang tertinggal di rahim." Anita melihat Siti.
"Apakah berbahaya dok? Terus kita harus bagaimana?" tanya Zainab dengan khawatir.
"Harus segera di rawat. Akan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut selama masa perawatan, setelah itu baru kita bisa ambil tindakan seperti melakukan kuretase lagi."
Siti mengangguk.
"Tapi ini tidak berbahaya kan dok?" tanya Zainab masih dengan khawatirnya.
Anita melihat Aisha dengan sinis.
"Jika kalian se-khawatir itu, seharusnya kalian membawanya jauh-jauh hari, tidak dalam keadaan sudah parah seperti ini."
Siti dan Zainab semakin terlihat khawatir. Aisha melihat kedua kakaknya.
"Tapi saya tak heran lagi, orang-orang kampung memang seperti ini, ketika sudah parah mereka baru datang ke kota untuk memeriksakannya." Anita tersenyum sinis.
"Pendidikan yang rendah pasti membuat mereka tak memperdulikan kesehatannya."
Siti dan Zainab terlihat kaget mendengar perkataan Anita, begitu juga dengan kedua perawat yang juga ada disana.
"Kalau saya justru heran dengan orang-orang kota, pendidikan saja yang tinggi, tapi akal sehat dan harga dirinya malah semakin rendah. Bahkan saya punya teman baru, dia seorang dokter, pendidikannya sudah pasti tinggi tapi sayang dia mencintai dan mengejar pria beristri. Merendahkan harkat martabat dirinya sendiri. Miris sekali kan?" Aisha melihat Anita sambil tersenyum.
Anita mengepalkan tangannya.
kayaknya Andre yg bakal jadi jodoh kak Siti...