Dihadapkan pada kenyataan bahwa lelaki yang dicintai tidak bertanggung jawab, Alana nekat bunuh diri. Namun, ibu Daffa memohon kepada Gafi, anak tertuanya, untuk menikahi Alana menggantikan adiknya, padahal lelaki itu sudah punya kekasih.
Gafi terpaksa setuju demi menyelamatkan aib keluarga dan anak dalam kandungan Alana. Namun, Gafi membuat persyaratan, yaitu keduanya akan bercerai setelah Alana melahirkan.
Sesuai kesepakatan yang telah dibuat, keduanya pun bercerai. Alana membawa anaknya dan hidup bahagia. Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Daffa dan Gafi kembali untuk menagih cinta yang dibuang dahulu.
Persaingan cinta antara dua bersaudara, siapakah yang menjadi pilihan Alana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Sembilan
Daffa mendorong tubuh Alana sekuat tenaganya hingga wanita itu terhuyung dan hampir jatuh. Beruntung seseorang dengan cepat menangkap dan memeluk tubuh wanita itu.
Alana terkejut bukan saja karena dorongan yang kuat dari Daffa tapi karena pelukan seorang pria yang begitu terasa hangat.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Gafi dengan suara sedikit tinggi.
Daffa terdiam terpaku. Tak menyangka jika abangnya Gafi akan pulang secepat ini. Dia sengaja datang di jam segini karena tahu abang dan mamanya tak di rumah, Setelah mendengar pernikahan Alana dan saudaranya itu. Dia ingin membuat perhitungan.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Gafi lagi dengan suara yang lebih tinggi.
"Aku ingin wanita ini kembali ke asalnya. Aku yang lebih berhak di rumah ini, Bang. Aku adikmu!" ucap Daffa.
"Dia istriku! Dia juga berhak di rumah ini," balas Gafi.
Alana makin terkejut mendengar ucapan pria itu. Padahal selama menikah sikapnya masih sama saja. Masih dingin walau tak pernah kasar. Namun, pengakuannya itu membuat Alana bahagia.
"Apa Abang yakin telah menganggapnya sebagai istri? Apa Abang pernah berhubungan badan dengannya sebagai kewajiban seorang suami?" tanya Daffa.
Gafi tak menjawab pertanyaan Daffa. Karena memang dirinya tak pernah menunaikan kewajibannya. Selain karena dia yang sudah berjanji pada Naura, juga karena dia tak mau berhubungan dengan wanita hamil bukan anaknya.
"Abang tak bisa jawabkan? Aku tau kalau Abang tak mau berhubungan dengannya karena merasa jijik. Abang jijik karena dia bekasku. Selain itu Abang tak mau berhubungan intim untuk menjaga hati seorang wanita. Abang tak mau mengkhianati Naura, bukan begitu?" tanya Daffa lagi.
Ucapan Daffa membuat hati Alana sakit. Dadanya terasa sesak. Apa benar selama ini Gafi jijik dengannya karena dia yang mau berhubungan badan tanpa ikatan dengan pria. Apa dalam pikiran Gafi dia wanita murahan, pikir Alana.
"Jangan sok tau kamu, Daffa!"
"Aku bukan sok tau. Aku bisa menebaknya dari sikapmu. Abang menikahi Alana hanya karena kasihan. Jika hanya karena kasihan, tak perlu menikahi dan membawanya tinggal di rumah ini. Abang tinggal beri uang tiap bulannya, dia pasti sudah sangat senang. Karena dalam pikirannya juga cuma uang. Dia mendekatiku hanya untuk merubah nasib. Dan setelah aku tak mau bertanggung jawab dia sengaja mendekati Abang. Semua dia lakukan hanya untuk memeras uangmu!" ucap Daffa dengan nada mengejek.
Alana melepaskan pelukan Gafi. Dia mendekati Daffa dan tanpa di duga dia memberikan tamparan yang cukup keras.
"Dengarkan pecundang, kau bisa tanya dengan abangmu. Selama dua bulan menjadi istrinya berapa uangnya yang sudah aku pakai. Selain buat beli susu ibu hamil, tak pernah aku gunakan uangnya walau aku telah diberikan kebebasan menggunakan kartu debit atau kreditnya. Jika aku matre, telah aku habiskan untuk foya-foya!" ucap Alana dengan emosi.
"Jangan banyak omong!" ucap Daffa.
Daffa mendekati Alana. Dia sepertinya ingin membalas tamparan Alana. Tangannya terangkat, tapi sebelum sampai ke pipi, tangan itu ditahan Gafi.
Dia mencengkeram erat pergelangan tangan Daffa. Lalu menghempaskannya.
"Jangan jadi pengecut! Apa mama pernah mengajari kita melawan apa lagi berbuat kasar pada wanita?" tanya Gafi.
"Wanita mana dulu? Dia yang mulai kasar denganku. Apa aku tak boleh membalas?" tanya Daffa tak mau kalah.
"Dia membela dirinya. Sebagai pria kau terlalu banyak omong!" jawab Gafi.
"Jadi menurut Abang, aku yang salah? Hanya karena aku tak mau bertanggung jawab dengan kehamilannya, semua yang aku lakukan salah? Bagaimana denganmu? Abang masih berhubungan dengan Naura padahal telah menikah, apa itu tak menyakiti wanita namanya?" tanya Gafi dengan suara tinggi.
Sepertinya dia masih tak terima di salahkan. Mungkin Daffa masih merasa wajar dengan semua sikapnya.
"Pergilah! Sudah aku katakan, kau terlalu banyak omong!"
"Abang mengusirku? Ingat, Bang. Aku ini saudaramu, dan dia hanya wanita pendatang!"
"Pergi ... sebelum aku gelap mata!" ucap Gafi.
Dengan langkah terpaksa Daffa berjalan meninggalkan teras rumah. Ketika berada di samping Alana, dia menyenggol dengan bahunya. Dia sepertinya sangat membenci wanita itu.
Setelah Daffa pergi, Gafi juga ikutan melangkah masuk. Dia menghempas tubuhnya di sofa. Kepalanya bersandar di kepala kursi, dengan tangan memijat kepalanya. Seperti pusing sekali.
Alana berjalan menuju dapur dan membuatkan segelas jus jeruk kesukaan suaminya itu. Dua bulan tinggal bersama, dia mulai hafal apa yang di suka dan tak di suka Gafi.
"Mas, minumlah dulu," ucap Alana. Dia berpikir mungkin dengan minum air sejuk, pikiran ikutan sejuk.
Gafi seperti biasanya tak pernah menolak apa pun yang diberikan Alana. Dia meneguknya hingga tersisa separuh. Baru Alana sadari wajah sang suami memerah, sepertinya kurang sehat.
Alana mendekati Gafi dan memegang dahinya. Terasa panas.
"Mas kamu sakit? Sebaiknya kita ke kamar. Biar kamu istirahat," ajak Lana.
Gafi mengangguk dan tanpa bicara dia berjalan menaiki tangga. Entah karena tak konsentrasi atau karena pusing, hampir saja dia jatuh. Untung Lana cepat meraih lengannya dan memegang kuat.
Alana memapah menuju kamar. Dia juga membantu membaringkan tubuh pria itu. Setelah itu Alana membukakan sepatu Gafi.
"Mas berbaring dulu. Aku ambil air hangat buat kompres ya," ucap Alana.
"Minta saja bibi yang bawa. Nanti kamu capek naik turun tangga," balas Gafi.
"Iya, Mas," jawab Alana dengan suara lembut.
Alana lalu menghubungi bibi dan minta tolong bawakan baskom berisi air hangat. Setelah itu dia mencari handuk kecil.
Bibi mengantar baskom dan Lana langsung mengompres dahi Gafi.
"Mas, aku izin buka kemeja kamu ya. Aku mau lap biar suhu badan kamu sedikit dingin," ucap Alana.
Gafi hanya mengangguk sebagai jawaban. Alana lalu membuka baju pria itu. Sebenarnya jantungnya berdetak lebih cepat karena harus sedekat dan seintim ini.
Alana tak mengira jika Gafi sebenarnya sangat penurut. Walau dia irit bicara, tapi selalu mau jika diperintah. Pantas dia mau saja saat mamanya meminta dia menikahi Alana.
Setelah mengelap badan Gafi, Alana lalu membuka celana pria itu. Ingin mengganti dengan piyama, biar lebih lega.
"Kamu mau apa?" tanya Gafi saat Alana membuka pengait celana panjangnya.
"Mas, aku mau menggantinya dengan piyama agar lebih lega," jawab Alana. Dia juga sebenarnya gugup juga. Gafi akhirnya mengangguk. Setelah memakaikan piyama Gafi, Alana bermaksud ingin turun. Tapi tangannya ditahan.
"Temani aku tidur," pinta Gafi. Alana mengangguk sambil tersenyum. Dia naik ke ranjang dan berbaring di samping suaminya. Tanpa Alana duga, Gafi memiringkan tubuh menghadapnya dan memeluk tubuh wanita itu. Jantung Alana berdetak lebih cepat. Dia sangat gugup.
Mama Dewi pulang karena mendengar dari bibi kalau Gafi kurang enak badan. Dia langsung menuju kamar setelah bertanya di mana putranya.
Pintu kamar yang tak tertutup rapat, membuat mama Dewi dapat melihat semua yang terjadi di kamar. Dia mengurungkan niatnya masuk setelah melihat Gafi dan Alana sedang tidur dengan posisi berpelukan. Mama Dewi menutup pintu itu dengan pelan, takut membangunkan anak menantunya. Dengan tersenyum dia kembali turun ke lantai satu.