Saat sedang menata hati karena pengkhianatan Harsa Mahendra -- kekasihnya dengan Citra -- adik tirinya. Dara Larasati dihadapi dengan kenyataan kalau Bunda akan menikah dengan Papa Harsa, artinya mereka akan menjadi saudara dan mengingat perselingkuhan Harsa dan Citra setiap bertemu dengan mereka. Kini, Dara harus berurusan dengan Pandu Aji, putra kedua keluarga Mahendra.
Perjuangan Dara karena bukan hanya kehidupannya yang direnggut oleh Citra, bahkan cintanya pun harus rela ia lepas. Namun, untuk yang satu ini ia tidak akan menyerah.
“Cinta tak harus kamu.” Dara Larasati
“Pernyataan itu hanya untuk Harsa. Bagiku cinta itu ya … kamu.” Pandu Aji Mahendra.
=====
Follow Ig : dtyas_dtyas
Saran : jangan menempuk bab untuk baca y 😘😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CTHK 9 ~ Kita Saudara
Kalau punya jurus menghilang, Dara sepertinya akan memanfaatkan hal itu sekarang juga. Bagaimana tidak, ia menjadi pusat perhatian karena seperti melihat hantu. Sedangkan Pandu dengan gaya bersedekap masih masih menatap datar ke arahnya.
“Kalian sudah saling kenal?” tanya Surya.
“Belum.”
“Hm.”
Jawaban yang keluar dari mulut Dara dan Pandu serempak, tapi berbeda. Membuat aneh yang mendengar dan Jaya lagi-lagi terkekeh melihat tingkah pasangan itu.
“Kalau melihat respon kalian, sepertinya sudah saling kenal,” ujar Jaya. “Apa sudah siap?” tanya Jaya pada orang yang berdiri tidak jauh darinya. “Oke, kita makan siang dulu sambil ngobrol-ngobrol karena kita sekarang keluarga,” ujar Jaya yang berdiri dibantu oleh pengawalnya menuju meja makan.
Citra yang sejak tadi menyaksikan interaksi itu, mengumpat dalam hati. Seharusnya ia bisa lebih sabar untuk mendapatkan ikan besar dari lautan, bukan ikan dalam kolam seperti Harsa. Selain Pandu tampak lebih muda dan tampan, posisi di keluarga Mahendra adalah putra kedua. Tentu saja hak dan porsinya lebih banyak dibandingkan Harsa, karena hanya mendapat bagian dari hak Surya.
“Ayo dan jangan cemberut begitu. Jangan bikin malu, ada Pak Jaya,” bisik Kemala.
Meja yang ditempati berbentuk bundar, Jaya duduk diantara Pandu dan Surya. Sedangkankan Kemala di sisi Surya lalu Harsa di sebelah Pandu. Dara bingung hendak duduk di mana, kalau boleh ia memilih pamit dan langsung berlari keluar dari ruangan itu untuk menghindar dari … Pandu.
Citra memilih duduk di samping Harsa dengan cepat, bahkan sempat beradu bahu saat melewati Dara. Tanpa mereka tahu kalau interaksi itu disaksikan oleh Jaya. Akhirnya Dara duduk di samping Ibunya. Jaya memulai percakapan semua menyimak, berbeda dengan Dara yang hanya menunduk dan semakin bingung memikirkan nasibnya.
Pantas saja Pandu bertingkah bahkan menjadi member eksekutif di Grand Season. Sempat mengatakan setiap ke Jakarta akan tinggal di sana, seakan kamar hotel yang dimaksud adalah rumah sendiri. Ternyata Pandu bukan sekedar anak Sultan, tapi The Real Sultan.
“Nasib, nasib,” gumam Dara lirih.
“Bukan begitu Dara?” tanya Jaya. Kemala sampai menyenggol lengan Dara dan berbisik menyadarkan lamunan putrinya.
“Opa bertanya,” ujar Kemala lirih.
“Iya, kenapa Opa? Maaf tadi aku tidak fokus,” ujar Dara sambil senyum.
Bukannya marah, Jaya malah terkekeh. “Setiap bertemu dan berkenalan dengan orang baru, baru kali ini ada yang seperti Dara,” ujar Jaya. “Biasanya orang akan serius dan berusaha mencari perhatian Opa, tapi kamu … malah Opa yang harus cari perhatian.”
“Kamu tidak nyaman berada di tengah keluarga ini? Tidak masalah, perlu penyesuaian diri. Jangan seperti bocah ini,” ujar Jaya lagi lalu menepuk bahu Pandu membuat pria itu berdecak. “Keluarga, tapi seperti bukan keluarga. Bahkan kalau datang ke Jakarta malah senang tidur di hotel daripada di rumah.”
“Pih,” ucap Pandu.
“Opa, Dara kerja di hotel loh,” sela Citra, entah apa maksudnya mengatakan hal tersebut.
“Benarkah? Hotel mana?”
“Grand Season, Opa,” jawab Dara.
Jaya terdiam lalu menatap Pandu dan tergelak.
“Pih, inget umur,” ejek Pandu.
“Hari ini Papi bahagia dan banyak tertawa. Dara, kamu kenal dengan bocah ini di hotel?” Dara meringis lalu mengangguk pelan, tidak berani menjawab apalagi Pandu juga menatapnya.
“Pi, kita makan,” ajak Surya.
Makan siang sambil lanjut berbincang, didominasi oleh Jaya, Surya dan Pandu. Sesekali Harsa ikut bicara, juga Kemala menjawab pertanyaan Jaya. Berbeda dengan Dara yang memilih diam, makanan yang dikunyah seakan sulit untuk ditelan. Bagaimana jika Jaya tahu dia sudah memukul hidung Pandu sampai berdarah bahkan menjambak rambut kesayangan pria itu.
Toilet. Entah mengapa hari ini Dara menyukai tempat itu. Sudah dua kali ia berada di sana untuk … sembunyi. Setelah makan siang beres, Jaya masih berbincang hanya berpindah ke sofa. Melihat ada kesempatan tentu saja Dara memilih menghindar.
“Alasan apa ya, biar bisa cabut dari sana. Mukanya si tandu serem banget, lebih seram dari film horor yang lagi viral. Padahal ganteng, apalagi kalau senyum pasti makin ganteng."
Belum menemukan alasan untuk menghindar, Dara memutuskan mengakhiri persembunyiannya dan keluar dari toilet.
“Astagfirullah.”
Saat membuka pintu dan berbelok sudah ada Pandu bersandar pada dinding, masih dengan gaya cool yaitu bersedekap.
“Udah kayak hantu penunggu toilet aja, bikin kaget orang." Dara bersungut melihat ada Pandu di sana.
“Udah beres semedi di dalam, atau cari wangsit untuk ….”
“Sstt,” ujar Dara menghentikan kalimat Pandu. “Jangan ngomong, nanti malah bikin aku emosi. Nggak mungkin ‘kan aku jambak rambut kamu lagi. Bisa diseret keluar sama Bunda.”
“Loh, ada disini.” Pandu dan Dara menoleh.
“Mas Pandu, Opa tadi sempat kecarian loh. Ayo balik ke dalam,” ajak Citra dengan wajah ramah dan senyum cemerlang gaya iklan pasta gigi.
“Urusan kita belum selesai,” ujar Pandu pada Dara.
Citra langsung menatap Dara dan menghampiri setelah Pandu perlahan menjauh. “Urusan apaan?” tanya Citra.
“Ih, kepo.”
“Eh, jangan aneh-aneh. Kamu mau dekati Pandu ‘kan?” tanya Citra sambil menahan dengan mencengkram bahu Dara.
“Lepasin tangan kamu. Mau aku dekat dengan siapa bukan urusan kamu.”
Citra masih ingin bicara, tapi Dara segera menghentak tangan Citra dan meninggalkan perempuan itu yang masih berteriak memanggil namanya. Sampai di ruangan ternyata Jaya sudah pergi, tentu saja Dara menghela lega dan bisa segera cabut dari tempat itu. ia menghampiri Kemala dan Surya untuk pamit dan mendengar obrolan kerabat dari pihak Surya.
“Pandu dan Surya memang bersaudara, tapi dari ibu berbeda. Kalian lihat saja perbedaan umur mereka agak jauh. Bahkan Harsa saja lebih tua dibandingkan Pandu.”
Satu lagi kenyataan yang baru Dara tahu dan membuat kepalanya pening. Menurutnya, Bunda menikah dengan keluarga yang salah. Salah karena ia harus berurusan dengan keluarga itu.
“Eh.” Dara sempat memekik pelan, kala tangannya ada yang menarik. “Oh, Om Pandu,” ujarnya sambil tersenyum mengejek.
“Kamu bilang apa tadi?”
“Apa? Om Pandu?” tanya Dara kembali mengulang panggilan yang tidak disukai Pandu.
“Ck,mulutmu itu.”
Dara terkekeh. “Bener dong, aku ‘kan sudah jadi putri sambungnya Papa Surya dan kamu adiknya Papa Surya, jadi aku manggilnya Om.”
“HE-he-he.” Pandu mengejek tawa Dara. “Kita lihat saja besok, apa kamu masih bisa tertawa. Kita ketemu lagi di Grand Season,” ancam Pandu lalu berbalik meninggalkan Dara.
“Tunggu, tunggu. Om, masalah kemarin lupakan ajalah. Opa bilang kita keluarga,” pinta Dara mengekor langkah Pandu. “Ya, Om. Ya. Please.”
Pandu mengabaikannya, Dara hanya bisa menghentakan kaki karena tidak dapat mengejar langkah pria itu.
“Dara! Ternyata yang murahan bukan aku saja, tapi kamu juga.”
“Hah.”
bener 2 meresahkanb dara fdan pandu
terbucin bucinlah kamu..
pegalan katacdisetiap kalimatmya teratur dan ini udah penulis profeaional banget , aku suka npvel seperti ini simple yo the point dan tak bertele tele..aku suka🥰🥰💪