Setelah menikahi Ravendra Alga Dewara demi melaksanakan wasiat terakhir dari seseorang yang sudah merawatnya sejak kecil, Gaitsa akhirnya mengajukan cerai hanya dua bulan sejak pernikahan karena Ravendra memiliki wanita lain, meski surat itu baru akan diantar ke pengadilan setahun kemudian demi menjalankan wasiat yang tertera.
Gaitsa berhasil mendapatkan hak asuh penuh terhadap bayinya, bahkan Ravendra mengatakan jika ia tidak akan pernah menuntut apa pun.
Mereka pun akhirnya hidup bahagia dengan kehidupan masing-masing--seharusnya seperti itu! Tapi, kenapa tiba-tiba perusahaan tempat Gaitsa bekerja diakuisisi oleh Grup Dewara?!
Tidak hanya itu, mantan suaminya mendadak sok perhatian dan mengatakan omong kosong bahwa Gaitsa adalah satu-satunya wanita yang pernah dan bisa Ravendra sentuh.
Bukankah pria itu memiliki wanita yang dicintai?
***
"Kamu satu-satunya wanita yang bisa kusentuh, Gaitsa."
"Berhenti bicara omong kosong, Pak Presdir!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agura Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pastikan Tidak Terjadi Skandal!
Ravendra terdiam, tidak bisa memberi sanggahan atas kebenaran yang diucap mantan istrinya. Ia memang mengatakan itu, dengan bodohnya mengikuti emosi dan mengeluarkan ultimatum yang kini disesali.
Ravasya yang menyadari suasana menjadi lebih canggung dari sebelumnya segera menepuk bahu Gaitsa.
"Ayo, kita harus tidur agar besok tidak kesiangan," ajaknya.
Gaitsa menurut, mengikuti langkah Ravasya menuju kamar tempat anak-anak berada, mengabaikan Ravendra yang masih mematung. Biarkan saja, toh Gaitsa tidak mengatakan hal yang salah. Sejak awal, kalau Ravendra punya sedikit saja kepedulian dan kerendahan hati, semuanya mungkin tidak akan sekacau ini.
Paginya, Gaitsa disambut oleh celoteh Luvia yang terus bertanya ribut, apa saja agenda mereka hari ini. Setelah mendengar tujuan akhir pekan yang tidak sesuai dengan ekspektasi pun, Luvia masih tampak senang dan terus mengoceh, mengomentari apa saja, mengajak Biyu bicara, bernyanyi bahkan berteriak, memamerkan suara melengking yang tentu saja disambut oleh celoteh Biyu.
Gaitsa yang baru selesai mengganti pakaian putranya dan menunggu di ruang tengah, menoleh cepat saat pintu kamar yang ditempati Alan dan Ravendra terbuka.
Merah muda? Gaitsa termenung melihat sweater warna merah muda cerah yang dikenakan Alan. Kemarin ia menggunakan payung kuning, sekarang sweater merah muda?
"Ah, Alan memang suka dengan warna terang sejak kami punya anak. Katanya Luvia harus selalu melihat hal-hal penuh warna." Ravasya yang juga baru selesai mendandani Luvia dan keluar kamar bersamaan dengan Alan, tersenyum melihat penampilan suaminya yang terlihat sangat manis. Wanita itu mendekat pada Gaitsa dan meraih Biyu, meletakkan bayi tujuh bulan itu di pangkuan.
Sebenarnya Alan suka warna terang sejak mereka saling mengenal, sejak saat pria itu datang sebagai teman Ravendra. Pria itu tiba-tiba saja meniru Ravendra yang sangat suka warna netral seperti hitam atau putih, katanya ingin terlihat lebih dewasa. Padahal pilihan warna seseorang tidak menentukan kedewasaannya.
Ravasya baru tahu alasan Alan ingin tampil lebih keren adalah untuk menarik perhatiannya karena kebanyakan perempuan tidak suka pada pria yang menggunakan warna-warna terang.
Tapi syukurlah Alan akhirnya kembali setelah Ravasya meyakinkannya dengan alasan anak mereka harus tumbuh dengan melihat banyak warna cerah.
"Kamu sendiri suka warna apa, Sha?"
"Tidak ada yang khusus," jawab Gaitsa cepat saat melihat Ravendra keluar dari kamar. Kaos putih yang dilapisi jaket denim biru langit dipadukan dengan jin hitam dan sepatu yang juga berwarna hitam. Kenapa caranya berpakaian seperti ingin pergi ke pantai?
Gaitsa tidak suka agendanya hari ini diikuti oleh pria itu, tapi sejak Ravasya bilang bahwa mereka juga ingin ikut mengunjungi makam ayahnya membuat Gaitsa terdiam. Mana mungkin ia melarang Ravendra dan Ravasya yang merupakan anak kandung Mahendra mengunjungi makamnya.
"Kita akan jalan-jalan setelah dari makam Kakek, kan?" Luvia tampak semangat saat menghampiri Ravasya. Gadis kecil itu juga sangat manis dengan gaun biru tua selutut dan sepatu flat putih.
"Coba tanya Tante Ghea," jawab Ravasya seraya menunjuk Gaitsa dengan dagunya.
Netra coklat jernih itu menatap Gaitsa yang tiba-tiba ditodong. Kenapa ia yang ditanya?
"Luvia mau jalan-jalan?"
"Iya!" seru Luvia antusias, rambutnya yang terikat kuda ikut bergoyang. "Aku mau main ke istana balon sama Biyu, boleh?" tanyanya.
Sebenarnya Gaitsa memang berencana membawa Biyu untuk main setelahnya, menikmati waktu berdua. Rencananya menjadi berantakan sejak bertemu Alan kemarin. Ia bahkan harus membiarkan Ravendra mengetahui tentang Biyu. Tapi, tatapan jernih gadis kecil yang biasa menemani Biyu di tempat penitipan selama Gaitsa bekerja terlalu manis untuk ditolak.
"Oke. Kita pergi ke mana pun Tuan Putri Luvia mau," Gaitsa mengelus surai gelap Luvia yang langsung tersenyum lebar. Wanita itu mengalihkan tatapannya pada Biyu yang sedang menggigiti jarinya sendiri di pangkuan Ravasya.
***
"Biar aku yang gendong," Ravendra menyela saat mantan istrinya akan mengambil Biyu dari Ravasya. "Tidak boleh?" tanyanya saat melihat Gaitsa tampak jengkel.
Gaitsa menghela napas, "Pastikan untuk tidak menimbulkan skandal," ucapnya tegas yang disambut kekehan Alan.
"Karena kalian sekarang adalah atasan dan bawahan? Memangnya kenapa kalau terjadi skandal? Media kan belum tahu kalau Ravendra sudah bercerai dari istrinya yang tidak pernah muncul di publik."
Gaitsa memutar bola mata jengah. Ia tahu Alan sedang mengolok-olok status mereka, tapi demi apa pun, Gaitsa bukan anak kecil yang akan merajuk hanya dengan ejekan seperti itu. Lagipula bagaimana situasinya jadi begini?
Mereka sedang berjalan di sebuah mall, berniat menuruti keinginan Luvia pergi ke tempat bermain di lantai teratas. Sejak mereka ke luar, Biyu memang selalu digendong oleh Ravasya. Gaitsa berniat mengambil Biyu saat mereka memasuki pusat perbelanjaan karena Ravasya harus menuntun Luvia. Tapi sepertinya Ravendra juga tidak bisa pergi jauh-jauh dari Biyu.
"Terima kasih," ucap Ravendra yang entah sejak kapan sudah berjalan di sisi Gaitsa. Biyu tampak riang saat akhirnya melihat sang Ibu dari dekat, celotehnya terdengar ramai. Gaitsa tersenyum dan tanpa sadar mendekat untuk mencium pipi bulat Biyu. Anaknya benar-benar sangat menggemaskan.
"Bukankah ada hal lebih penting yang harus kamu katakan selain terima kasih?" Gaitsa kembali menegakkan tubuh, berjalan di sisi Ravendra dan menatap keluarga kecil yang berjalan riang di depan.
"Aku tidak bisa," Ravendra mengeratkan pelukan pada bayi tujuh bulan dalam dekapannya. Banyak hal yang ia lewati tentang anaknya karena kesalahpahaman yang diciptakan Mahendra. Tapi ia tidak bisa mengatakan maaf semudah itu hanya karena masalahnya dimulai dari sang ayah.
"Aku ingin tahu apa saja yang Papa sembunyikan sampai membuat dua surat adopsi hanya untuk membuatku marah padamu. Aku akan memulainya dari sana, panti asuhan tempatmu tinggal. Pasti ada catatan asli tentang adopsimu, kan? Kamu ingat di mana tempatnya?"
Gaitsa sedikit terhenyak. Ia tidak ingat dan tidak tahu di mana panti asuhan tempatnya pernah tinggal selama tiga tahun. Semuanya tampak buram. Gaitsa hanya memiliki sedikit sekali kenangan sebelum ia tinggal bersama Mahendra.
"Aku tidak ingat," katanya seraya menghela napas. "Tapi ada sebuah bangku putih di bawah pohon besar, rumput hijau dan ayunan. Aku hanya ingat pernah duduk di bangku itu sambil melihat rumput yang basah. Ayunannya berkarat karena menimbulkan bunyi yang cukup berisik. Lalu ada seorang wanita yang sering datang menjemputku dan tersenyum."
Ravendra melirik wanita yang selama bertahun-tahun dibenci, pandangannya tampak kosong. "Kamu tidak pernah bertanya atau mencoba mengunjungi tempat itu?" tanyanya mengernyit, aneh kalau Gaitsa benar-benar tidak pernah penasaran atau ingin berkunjung ke sana.
"Aku memintanya beberapa kali, tapi Tuan Mahendra selalu bilang tidak punya waktu. Saat aku merasa sudah cukup besar untuk pergi sendiri, aku mulai sibuk dengan urusan perusahaan, sekolah, les, lalu menemani Tuan Mahendra ke berbagai perusahaan di bawah naungan Dewara Grup. Aku selalu bertambah sibuk setiap kali menanyakan panti asuhan tempatku tinggal dulu. Tuan Mahendra selalu meyakinkanku bahwa orang-orang di sana hidup dengan baik karena Dewara Grup juga rutin memberikan sumbangan."
Gaitsa sedikit tidak nyaman saat ia bahkan tidak tahu apa pun tentang donasi rutin yang katanya dikirimkan ke panti asuhan. Tempat yang ia tinggali selama tiga tahun, kenapa Gaitsa tidak pernah memiliki kesempatan pergi ke sana dan mempercayai semua yang Mahendra katakan begitu saja?
"Sudah jelas itu aneh dan patut dicurigai. Kenapa Papa repot sekali membuatmu sibuk hanya untuk mencegahmu menanyakan lebih lanjut tentang panti asuhan?"
"Aku tidak pernah punya cita-cita menjadi seorang detektif, Tuan Ravendra!" ujar Gaitsa saat otaknya menolak menerka-nerka atau curiga terhadap banyak hal. "Apa pun yang disembunyikan Tuan Mahendra, bukankah lebih baik untuk tidak mencari tahu? Aku baik-baik saja selama ini. Tuan Mahendra memperlakukanku dengan sangat sopan dan baik, dia bahkan menyekolahkanku hingga jenjang tertinggi. Aku juga tidak pernah kelaparan atau diperlakukan kasar, meski terkadang aku merasa sesak dan terpenjara."
Ravendra terdiam. Memang sebaiknya tidak mencoba menguak apa pun saat mereka tidak tahu rahasia yang sedang disembunyikan Mahendra. Bagaimana kalau rahasia itu justru menyakiti mereka?
"Lalu apa yang akan kamu lakukan?"
Gaitsa menoleh, "Tentu saja bekerja, makan, tidur, merawat Biyu, jalan-jalan menikmati waktu libur seperti sekarang dan melihat Biyu tumbuh dewasa. Memangnya apa lagi?"
"Bagaimana denganku? Apa aku boleh menemui kalian?"
..rasain akibat bikin wanita sakit hati...bikin dia bucin thor biar ngak arogant