Arumi harus menelan kekecewaan setelah mendapati kabar yang disampaikan oleh Narendra, sepupu jauh calon suaminya, bahwa Vino tidak dapat melangsungkan pernikahan dengannya tanpa alasan yang jelas.
Dimas, sang ayah yang tidak ingin menanggung malu atas batalnya pernikahan putrinya, meminta Narendra, selaku keluarga dari pihak Vino untuk bertanggung jawab dengan menikahi Arumi setelah memastikan pria itu tidak sedang menjalin hubungan dengan siapapun.
Arumi dan Narendra tentu menolak, tetapi Dimas tetap pada pendiriannya untuk menikahkan keduanya hingga pernikahan yang tidak diinginkan pun terjadi.
Akankah kisah rumah tangga tanpa cinta antara Arumi dan Narendra berakhir bahagia atau justru sebaliknya?
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi pada calon suami Arumi hingga membatalkan pernikahan secara sepihak?
Penasaran kisah selanjutnya?
yuk, ikuti terus ceritanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadya Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 9
Malam semakin larut, tetapi baik Narendra maupun Arumi belum bisa memejamkan matanya. Kejadian di dapur tadi membuat keduanya salah tingkah sebab sejak mereka bertemu, baru kali ini keduanya tampak kompak dan tidak saling adu mulut.
Narendra meraih ponselnya yang bergetar. Sang papa mengirimkan sebuah pesan masuk untuknya.
[Papa dapat kabar dari Pak Hasbi, katanya akhir pekan beliau meminta kita untuk berkumpul di rumah kakek]
[sudah hampir tiga tahun kakekmu meninggal dunia, tapi tiba-tiba saja Pak Hasbi meminta kita untuk berkumpul. perasaan Papa tidak enak, Ren]
Narendra tampak mengernyitkan dahinya heran. Pasalnya sudah lama mereka meninggalkan kediaman utama yang kini ditempati oleh Vino dan kedua orang tuanya setelah kepergian sang kakek. Namun, kini tiba-tiba pengacara kakeknya menyuruh mereka untuk kembali berkumpul di rumah mewah peninggalan Pradipta.
“Kenapa, ada masalah?” tanya Arumi yang sedari tadi memerhatikan suaminya.
“Tidak, hanya pesan dari Papa,” beritahu Narendra.
Arumi mengangguk paham, lantas mulai merebahkan tubuhnya yang kekenyangan.
“Kamu tidurlah, aku tidak akan melewati batas lagi.” Arumi menaruh kembali bantal dan guling di tengah-tengah mereka.
“Tumben kamu tidak cerewet lagi?”
Baru saja mereka berhenti beradu mulut, tetapi sepertinya Narendra sudah merindukan omelan dari istri barunya. Arumi mendelik judes ke arah suaminya. Tanpa basa-basi Arumi segera menghadiahkan satu cubitan pada lengan kekar pria tampan itu hingga memekik kesakitan.
“Karena aku males ngomong, nih, ku kasih cubitan manja biar kamu bisa bobok nyenyak!” Arumi berseru kemudian membalikkan tubuhnya memunggungi suaminya.
“Arghh! Dasar psiko*at!”
“Bodo amat, salah sendiri tanya yang aneh-aneh.”
Terjadi keheningan di antara keduanya setelah sedikit adu mulut itu. Narendra turut merebahkan tubuhnya di samping istrinya. Matanya lalu melirik ke arah kopernya yang masih teronggok di samping lemari, ia jadi teringat akan ucapan kedua orang tuanya hingga membuat pria itu lantas kembali mengganggu Arumi.
“Arumi.” Narendra berbisik tepat di belakang telinga Arumi hingga membuatnya meremang.
“Hei, kamu sudah tidur?”
“hm … sudah!” Arumi berseru pelan.
“Kalau sudah tidur, mana mungkin kamu bisa jawab. Sini dulu, aku mau ngomong sama kamu.”
“Ahh … aku udah ngantuk, tau nggak!”
“Ayo, buruan. Penting loh, ini!” Tidak tinggal diam, Narendra turut mengguncang bahu Arumi agar berbalik menghadap ke arahnya.
“Apa, sih, Mas Duda?” tanya Arumi dengan kesal sambil membalikkan tubuhnya.
Sebenarnya Arumi belum tidur. Wanita itu hanya sedang menghindari suaminya karena beberapa menit bersama pria itu, membuat perasaan Arumi menjadi aneh. Ada gelenyar yang tidak bisa Arumi ungkapkan dalam dadanya. namun, wanita itu kembali menepisnya karena tidak mungkin ia bisa tiba-tiba memiliki perasaan pada Narendra hanya karena dibuatkan makan malam.
Sementara Narendra melotot dipanggil ‘Mas Duda’ karena sejatinya sekarang statusnya bukan lagi duda, melainkan pria beristri.
“Kamu panggil aku apa tadi? ‘Mas Duda’?” Narendra bahkan sampai beranjak dari tidurnya dan melotot ke arah Arumi.
Mau tidak mau akhirnya Arumi juga ikutan beranjak dan menatap sebal ke arah sang suami.
“Iya! Kan, kamu emang duda? Di mana letak kesalahannya?”
“Kalau aku duda, terus kamu apa, Arumi? Berarti selama dua hari menjadi istri, kamu tidak benar-benar menganggap aku suamimu? Lalu kenapa tadi sore kamu sampai nungguin aku di teras sampai ketiduran?”
“Percaya diri sekali, kamu. Itu aku lakuin karena Ayah. Ayah ngancem nggak ngebolehin aku makan sebelum kamu pulang. Nggak taunya dia sendiri yang nggak inget kalau udah punya istri.” Arumi mendengkus kesal. “Jadi, kamu mau bicara penting apa, MAS SUAMI?”
Bibir yang semula cemberut, kini tampak tersenyum lebar. Narendra sangat suka dipanggil demikian meski ia tahu, kenyataannya Arumi tidak tulus mengatakan hal itu.
“Kapan kamu siap pindah dari sini?”
“Pindah? Pindah ke mana? Ini rumahku, loh,”
“Tentu saja pindah ke rumah kita sendiri. Kamu tidak berpikir untuk terus tinggal bersama ayah dan ibu, 'kan? Meski aku belum mencintai kamu, tapi sebagai seorang suami, aku berkewajiban atas semua yang kamu butuhkan dan kamu inginkan, termasuk rumah untuk tempat tinggal kita berdua,” jelas Narendra.
“Kamu serius? Kita nggak saling kenal, loh? Aku nggak tahu pekerjaan kamu apa, rumahmu di mana, berapa tanggal lahirmu, aku nggak tahu apapun tentang kamu.”
Dua hari bersama tentu saja Arumi masih belum sepenuhnya mengenal Narendra, terlebih seharian ini pria itu bekerja dan pulang sangat malam. Arumi masih ragu jika harus tinggal bersama pria asing meskipun dia adalah suaminya sendiri.
“Sudah dari lama aku menyiapkan rumah itu. Rumah yang akan aku tinggali bersama keluarga kecilku. Ya, aku akui memang kita belum saling kenal, tapi apa salahnya jika kita mencoba untuk saling mengenal satu sama lain. Kamu juga belum tahu, ‘kan, alasanku mau menikahi kamu?”
Deg!
Ya, Arumi memang tidak tahu tentang motif Narendra menerima menjadi pengganti Vino karena ia sendiri sudah cukup frustasi akan masalahnya sendiri. Kini, wanita itu begitu penasaran dengan alasan Narendra menerima permintaan ayahnya untuk menggantikan Vino menjadi suaminya.
“Nah, kan, katanya rumah itu kamu siapkan buat keluarga kecilmu, jadi, kenapa kamu malah ngajakin aku pindah ke rumahmu?”
Dasar bodoh, batin Narendra.
“Untuk menciptakan keluarga kecil, tentu saja aku membutuhkan istri. Sekarang aku sudah mempunyai istri, jadi tidak ada alasan untuk aku tidak membawa istriku pindah ke sana. Lagipula cepat atau lambat, orang tua kita akan segera meminta cucu,” goda Narendra di akhir kalimat. Namun, berhasil membuat Arumi melotot.
“Memangnya siapa yang ingin punya anak sama kamu, hah! Lagipula aku nggak yakin pernikahan ini bisa bertahan lama tanpa ada perasaan satu sama lain.”
Pesimis? Tentu saja. Arumi tidak yakin rumah tangganya akan utuh seperti kedua orang tuanya mengingat yang menikah dengannya bukan pria yang dicintai atau mencintai dirinya. Arumi juga tidak bisa memaksakan Narendra, jika pria itu kembali menemukan wanita sesuai kriterianya dan pada akhirnya mendepaknya dari hidupnya.
“Kamu tidak ingin memiliki anak bersamaku?” tanya Narendra dengan menatap lekat mata cantik sang istri.
Narendra memang belum mencintai Arumi, ia juga tidak bisa memaksakan Arumi untuk menuruti ucapannya. Namun, ia tidak akan mempermainkan pernikahannya, ia akan mencoba untuk dekat dengan Arumi dan menanamkan benih cinta padanya. Narendra akan mencoba menrima pernikahannya meskipun awalnya ia ingin menjadikan Arumi sebagai tameng untuk menghadapi mantan istrinya.
“Aku … “