Di usianya yang baru menginjak 17 tahun Laila sudah harus menjadi janda dengan dua orang anak perempuan. Salah satu dari anak perempuan itu memiliki kekurangan (Kalau kata orang kampung mah kurang se-ons).
Bagaimana hidup berat yang harus dijalani Laila dengan status janda dan anak perempuan yang kurang se-ons itu?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Sambil menikmati dinginnya udara sore hari karena guyuran deras air hujan. Sebuah cemilan telah berhasil dibuat oleh Ibu Laila untuk menyenangkan kedua anak perempuannya. Cemilan itu sangat disukai anak-anaknya semasa almarhumah Teh Nini hidup. Kue kacamata dan Nagasari.
Memang tidak banyak yang dibuat Ibu Laila, tapi cukup mengobati rasa kangen mereka terhadap cemilan yang satu itu.
"Buatan Ibu lebih enak." Puji Halwa yang diangguki langsung Salwa. Karena memang mereka sangat hafal dengan rasa cemilan yang suka dibuat sang Mama sewaktu hidup.
"Buatan kami sama-sama enak."
"Benar, Bu." Salwa menegaskan.
Ibu Laila hanya tersenyum.
Mereka melanjutkan menikmati hidangan tersebut sampai waktu magrib.
Malam sebelum tidur, Salwa mendekati Ibu Laila yang baru selesai melipat sajadahnya. Meninggalkan sang Adik yang sudah terlelap.
"Aku mau bantu Ibu kerja, kerja apa saja bisa."
"Kak Salwa masih kecil, belum saatnya bekerja. Nanti juga akan ada waktunya, Kak."
"Sekarang biar Ibu saja yang bekerja untuk kalian."
"Kalau jualan bagaimana, Bu?."
"Mau jualan apa?. Ibu tidak bisa memasak."
Ibu Laila dan Salwa keluar kamar, duduk di bale-bale tempat Ibu Laila melepas penat. Karena kasur di dalam kamar hanya muat untuk berdua saja.
"Jualan yang tadi kita makan saja, Bu."
"Apa iya itu enak?."
"Enak banget, Bu. Aku sama Halwa saja suka."
"Alhamdulillah kalau nantinya banyak yang suka dan habis, kalau tidak laku ya bisa kita makan." Salwa menyampaikan ide sekaligus keinginannya karena Salwa tidak ingin melihat Ibunya kerja keras seorang diri.
Ibu Laila tampak berpikir, mengakumulasi pengeluaran untuk bahan-bahan bakunya. Memang tidak terlalu mahal tapi tidak murah juga. Sepertinya akan lebih baik jika uang yang dimilikinya dipakai berjualan walau masih belum tahu pasti akan hasilnya.
"Tidak usah bikin banyak, Bu. Seadanya modal saja."
"Kalau mau jualan di mana? Kalau keliling Ibu tidak setuju."
Salwa pun tampak berpikir.
"Di dekat Sekolah Dasar saja, Bu. Ibu pernah lihat ada bebarapa orang yang jualan di sana 'kan?. Karena jalan itu biasa juga dilewati orang-orang yang akan ke ladang, pabrik sama ke sawah."
"Ada tapi beberapa orang."
"Ya sudah, aku mau jualan di sana saja. Aku sudah besar juga bisa menjaga diri dan Adik Halwa."
Laila tersenyum.
Selama ini memang Ibu Laila tidak pernah menganggap Salwa sebagai anak yang memiliki kekurangan. Justru Ibu Laila selalu memperlakukannya sama dengan anak-anak lain yang seusianya. Walau tidak dipungkiri kalau Ibu Laila selalu meminta bantuan pada Halwa untuk menjaga Kakaknya.
"Besok kita coba ya, Kak. Bahan-bahan yang tadi Ibu beli masih ada."
"Iya, Bu."
Keesokan paginya.
Hari ini pertama kalinya Salwa dan Halwa berjualan. Sedangkan Laila sendiri harus ke sawah lagi, alhamdulillah rezekinya ada di sana. Masih saja ada yang usil kepada Laila, tapi lagi-lagi Laila tidak bisa marah karena tidak ingin membuang energinya untuk itu. Laila hanya berpasrah diri pada pemilik hidupnya.
"Tumben anak se-ons itu tidak ikut."
"Tidak." Laila masih bisa tersenyum.
"Baguslah, mata saya sakit kalau ada anak se-ons itu."
Sementara itu Salwa dan Halwa masih menunggu orang yang datang membelinya.
"Belum ada yang beli, Kak" sejak tadi Halwa menghitung kue yang buat sang Ibu yang belum berkurang jumlahnya.
"Sabar, Dik. Semoga saja sebelum sekolah tutup ada yang membeli kuenya." Optimis Salwa.
Si kecil Halwa mengangguk.
Waktu begitu cepat berlalu, sebagian anak-anak sekolah sudah ada yang pulang. Ada bebarapa anak yang melihatnya. Tapi belum ada yang membelinya. Tak berselang lama, ada seorang Ibu yang melintas. Kemudian berhenti tepat di depan Salwa.
"Ibu Ratna mau beli?" tanya Salwa antusias.
"Berapaan kuenya?." Tanya si Ibu.
"Seribuan."
"Siapa yang buat?."
"Ibu Laila."
"Kalau enak saya beli semua." Kemudian Ibu Ratna mencoba satu persatu kuenya. Sambil tersenyum Ibu Ratna memuji kue buatan sang Ibu.
"Enak, Bu?." Tanya Halwa penuh antusias.
"Iya, sangat enak. Bungkus semua kuenya." Pinta Ibu Ratna yang merupakan tetangga jauh mereka.
"Baik, Bu." Salwa segera memasukkan kue-kue itu lalu menyerahkannya pada Ibu Ratna. Uang sebanyak dua puluh ribu pun sudah di tangannya.
"Terima kasih, Bu."
"Sama-sama."
Keduanya tersenyum bahagia lalu pulang tepat pada saat anak-anak sekolah bubar juga. Ada yang kenal dengan sosok Halwa dan Salwa. Tetapi mereka lebih tertarik meneriaki Salwa.
"Salwa gila."
"Salwa kurang se-ons."
"Salwa sinting."
"Salwa anak yatim piatu."
Tidak ingin melawan, Salwa pun memegangi tangan Halwa lalu berlari kecil menuju rumah. Teriakan anak-anak itu sudah tidak terdengar lagi.
Keduanya sampai di rumah bertepatan dengan Ibu Laila yang baru sampai juga.
"Ibu jualannya habis!" seru Salwa sangat gembira.
"Alhamdulillah" sahut Ibu Laila.
"Aku besok mau jualan lagi ya, Bu."
Ibu Laila mengangguk.
Ibu Laila segera membersihkan diri lalu melaksanakan shalat bersama anak-anaknya. Kemudian setelahnya mereka membuka makanan yang dibawa Ibu Laila dari pemilik sawah. Penuh antusias Salwa memakannya sembari kembali bercerita pada Ibu Laila mengenai Ibu Ratna yang membeli semua dagangannya.
*****
Penuh rasa syukur Laila membuat kue-kue lagi yang akan dijual oleh Salwa. Tidak banyak yang dibuatnya, masih sama dengan jumlah seperti kemarin.
Seperti biasa Salwa bangun lebih dulu dari Adiknya. Anak kecil itu bergegas ke dapur, senyumnya tampak merekah saat melihat kue-kue sudah siap dijual.
Jualan pagi ini tidak seperti beberapa hari kemarin yang selalu habis diborong oleh Ibu Ratna. Sampai anak-anak sekolah bubar kue-kue itu tetap utuh. Dengan langkah gontai keduanya meninggalkan tempat itu.
"Tidak ada yang beli, Kak."
"Iya, Dik."
Tiba-tiba saja ada seorang Bapak yang memanggil Salwa dan anak itu pun berhenti.
"Bawa apa?."
"Kue jualan, Pak Dadang."
"Berapaan?."
"Seribuan, Pak Dadang."
"Saya beli lima ribu."
"Iya, Pak."
"Aku ambil sendiri saja, Salwa." Pak Dadang langsung mengambil kue kacamata lima dan kue Nagasari lima."
Kedua anak itu pun pergi setelah Pak Dadang mengambil kuenya.
"Alhamdulillah ya Kak ada yang beli."
"Alhamdulillah, Dik."
"Semoga saja ada yang beli lagi."
"Iya."
Ucapan Halwa pun terkabul. Ada Teh Linda yang membeli semua kuenya, namun dengan harga lima ribu. Sama persis dengan Pak Dadang. Namun mereka tidak memikirkan apapun kecuali senang saat pulang kue-kuenya habis.
Ibu Laila menyambut kepulangan putri-putrinya. Syukur pun terucap kala mengetahui jualan anaknya habis semua.
"Ibu besok jualan lagi, ya."
"Iya, Kak."
Mereka pun masuk ke dalam rumah. Salwa langsung shalat sementara si kecil Halwa langsung tidur karena kecapekan.
"Bu ini uangnya." Salwa menyerahkan uang sepuluh ribu pada Ibu Laila.
"Hanya ini uangnya, Kak?."
"Iya, Bu. Tadi yang beli cuma dua orang. Pak Dadang dan Teh Linda."
Ibu Laila pun tersenyum karena tahu kalau Pak Dadang dan istrinya memaafkan putrinya.
Bersambung.....
jangan lupa dateng aku di karya ku judul nya istri kecil tuan mafia
jangan lupa mampir di beberapa karyaku ya😉