Banyak faktor yang membuat pasangan mencari kesenangan dengan mendua. Malini Lestari, wanita itu menjadi korban yang diduakan. Karena perselingkuhan itu, kepercayaan yang selama ini ditanamkan untuk sang suami, Hudda Prasetya, pudar seketika, meskipun sebelumnya tahu suaminya itu memiliki sifat yang baik, bertanggung jawab, dan menjadi satu-satunya pria yang paling diagungkan kesetiaannya.
Bukan karena cinta, Hudda berselingkuh karena terikat oleh sebuah insiden kecelakaan beberapa bulan lalu yang membuatnya terjalin hubungan bersama Yuna, sang istri temannya karena terpaksa. Interaksi itu membuatnya ingin coba-coba menjalin hubungan.
Bagaimana Malini menyikapi masalah perselingkuhan mereka?
***
Baca juga novel kedua saya yang berjudul Noda Dibalik Rupa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Windersone, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebohongan Kerja Luar Kota
🌿🌿🌿
Sonia mengajak Malini bersama kedua anaknya ke salah satu gedung pernikahan di tengah kota. Mereka masuk sambil menggandeng kedua anak kembar itu, Jian memegang tangan Malini, sedangkan Jenaka memegang tangan Sonia.
Setelah masuk ke gedung itu, mereka melihat banyak tamu undangan yang sudah hadir. Mata Malini berkeliling melihat banyaknya orang yang hadir dan dekorasi gedung yang indah dan mewah.
"Ma! Mau itu!" Jenaka menunjuk kue yang ada di atas meja, yang berada di sudut aula yang begitu luas.
"Ayo! Jangan menyusahkan Mama kalian. Ikut bersama Tante saja," kata Sonia dan mengajak mereka berdua meninggalkan Malini sendiri.
Malini mengikuti mereka dari belakang, Tapi, kakinya yang baru melangkah tiba-tiba berhenti karena merasa ingin buang air kecil. Malini mengarahkan pandangan jauh ke pintu yang berada di samping pelaminan, pintu itu mengarah ke belakang, di mana toilet berada. Banyak orang yang keluar masuk dari toilet di sana. Malini melangkahkan kakinya ke arah pintu itu yang jaraknya sekitar 30 meter dari posisinya. Di tengah kakinya melangkah, matanya ikut memperhatikan sekitaran, melihat senyuman di bibir semua orang yang hadir. Kakinya berhenti kembali dengan raut wajah kaget setelah melihat Hudda berdiri bersama Yuna dan sedang berbicara bersama beberapa orang dengan pakaian rapi. Jarak mereka berdiri sekitar 10 meter dari posisinya.
"Mas Hudda," kata Malini dalam hati dan berhenti melangkah.
Sejenak tubuh Malini diam kaku. Ia mengingat perkataan Hudda pagi ini. Pria itu sudah berbohong padanya.
Malini mengambil ponsel dari dompet dan menghubungi nomor telepon Hudda. Deringan telepon langsung berbunyi di ponsel Hudda. Senyuman pria itu mengurang dan beralih menatap Yuna yang berdiri di sampingnya. Ekspresi Hudda tampak sedikit kaget setelah melihat sambungan telepon itu masuk. Hudda bergegas pergi ke luar dari gedung itu untuk menghindari keramaian.
"Halo?"
"Mas. Kamu sudah sampai? Kamu baik-baik saja, kan?" Malini berpura-pura tidak tahu.
"Iya. Maaf, aku sedikit telat menjawab sambungan teleponmu. Tadi sedang berbicara bersama Pak Damar di luar hotel. Kamu baik-baik saja, kan? Anak-anak mana?" tanya Hudda, basa-basi.
"Baik. Kalau begitu, kamu lanjut saja ngobrolnya. Aku tutup teleponnya," kata Malini dan memutuskan sambungan telepon.
Malini memandangi Hudda yang masih berdiri di luar gedung dan tampak dari pintu gedung yang terbuka lebar. Pria itu berdiri dengan posisi tubuh membelakangi pintu. Tangan Malini menggenggam erat ponselnya dengan kedua bola berkaca-kaca ingin menangis.
"Bu Malini," kata Rangga yang melihatnya dari pelaminan.
Rangga, karyawan baru di perusahaan Hudda juga berada di sana. Ia adalah keluarga dari pengantin pria yang saat ini berdiri di pelaminan sedang mengucap selamat kepada kedua pengantin itu. Rangga mengalihkan pandangan ke arah Hudda berdiri sebelumnya, ia melihat Hudda dan Yuna datang ke acara itu. Mata Rangga mencari-cari wujud Hudda, tapi tidak dilihatnya dan hanya melihat Yuna sedang berbicara bersama beberapa pria. Raut wajah Rangga sedikit lega karena beranggapan Malini tidak sadar kalau Hudda ada di sana bersama Yuna.
Rangga berjalan menuruni tangga pelaminan dan menghampiri Malini yang berdiri membelakanginya.
"Kamu berbohong kepadaku, Mas," kata Malini dalam hati dengan air mata yang akhirnya jatuh.
Malini memutar tubuh ke belakang, berniat melanjutkan langkah ke toilet, sekaligus ingin menenangkan perasaannya. Namun, tubuhnya langsung menemukan tubuh Rangga dan membuat tubuhnya melangkah mundur satu langkah dan hampir terjatuh karena high heels-nya menginjak gaunnya. Rangga bergerak cepat menahan tubuhnya, tangan kanannya melilit pinggang kanan Malini dan tangan kirinya berada di punggung wanita itu. Sejenak mata mereka saling menatap. Rangga tidak bisa memungkiri kalau wanita yang memiliki usia delapan tahun lebih tua darinya itu begitu cantik.
"Maaf. Dan, terima kasih," ucap Malini sambil berdiri betul.
"Kamu. Kamu yang waktu itu, kan? Terima kasih," ucap Malini, lagi.
"Iya, Buk. Saya Rangga, karyawan baru di perusahaan Pak Hudda. Senang bertemu dengan Anda," kata Rangga dan tersenyum.
"Iya. Oh, saya ingin ke toilet sebentar," pamit Malini dan melanjutkan langkah menuju toilet.
Rangga memperhatikan kepergian Malini sampai wanita itu tidak terlihat lagi. Lalu, ia memutar mata dan tubuhnya mencari wujud Hudda dan melihat pria itu berjalan mendekati Yuna dan yang lainnya. Rangga memikirkan cara agar mereka tidak bertemu, ia takut Malini kecewa dengan perselingkuhan Hudda dan Yuna. Rangga berjalan menghampiri mereka dengan senyuman.
"Pak! Buk!" sapa Rangga dan menjabat tangan mereka, termasuk beberapa orang yang diajak Hudda bicara.
"Kamu karyawan baru itu, kan?" tanya Yuna sambil tersenyum.
"Iya, Bu Yuna," balas Rangga dengan senyuman ramah.
Rangga ikut berbicara bersama mereka dengan mata sesekali mengarah ke pintu yang membawa orang-orang ke toilet berada. Rangga berencana akan mengontrol Hudda dna Malini agar saling tidak bertemu dengan dirinya selalu bersama Hudda.
Setelah keluar dari toilet, Malini kembali ke aula dengan niat akan kembali ke rumah, meninggalkan tempat itu. Matanya langsung mengarah ke posisi di mana Hudda berdiri sebelumnya, ia melihat Hudda ada di sana, begitu juga dengan Rangga.
"Bekerja di perusahaan Pak Hudda memang menjadi sebuah tantangan," kata Rangga, belum sadar Malini sudah keluar dari toilet.
"Terima kasih. Semoga kamu betah dan bisa membantu saya mengembangkan perusahaan," kata Hudda sambil menepuk-nepuk pelan punggungnya.
Rangga menganggukan kepala dan tersenyum. Rangga menoleh ke samping. Senyumannya memudar setelah melihat Malini mengarahkan mata memandangi Hudda. Tapi, Hudda ataupun Yuna tidak sadar dengan keberadaannya. Malini juga tidak sadar kalau Rangga memperhatikannya, melihat wajah sedihnya.
"Hatiku benar-benar terluka parah," kata Malini dan lanjut berjalan menghampiri Sonia yang masih mengajak Jian dan Jenaka memakan kue-kue yang ada di ata meja, yang terletak tidak jauh dari pintu masuk.
"Buk Malini melihatnya? Tapi, kenapa dia diam? Dia sudah tahu? Tidak. Mungkin saja dia beranggapan kalau mereka datang sebagai partner kerja," kata Rangga dalam hati dengan wajah bengong.
"Ada apa?" tanya Yuna setelah menepis bahu Rangga.
"Tidak. Saya pamit pergi, Pak! Bu! Ada urusan lain," pamit Rangga dengan senyuman palsu untuk menyembunyikan kebingungannya.
Rangga berniat menghampiri Malini untuk memastikan kebenaran yang membuatnya bingung. Setelah kakinya akan sampai beberapa langkah lagi menuju pria wanita itu, Malini keluar dari gedung bersama kedua anaknya setelah berbicara bersama Sonia. Malini pamit kepada Sonia untuk kembali ke rumah dengan berbohong akan mengunjungi ibunya yang tiba-tiba sakit. Jadi, Sonia tidak bisa mencegatnya untuk pergi.
"Bu Malini!" panggil Rangga sambil berlari menghampiri Malini yang berdiri menunggu taksi di tepi jalan.
Malini menoleh ke belakang dan menghapus air matanya. Kedua anaknya bingung melihat Ibunya yang ceria menangis di hadapan mereka untuk pertama kalinya. Rangga berhenti berlari setelah berdiri di hadapan wanita itu, ia memandangi tangis yang masih terlihat di mata Malini Meski wanita itu tersenyum. Lalu, Rangga memperhatikan kedua bocah yang berdiri di kiri dan kanan tubuh Malini dengan wajah prihatin melihat kebingungan kedua anak itu.
"Ibuk melihatnya? Ibuk menangis? Ibuk tidak bisa menyembunyikan dariku," kata Rangga.
"Maksud kamu, apa?" Malini menunjukkan raut wajah bingung dalam kepura-puraan.
"Antara Buk Yuna dan Pak Hudda," kata Rangga.
Air mata Malini menetes setelah mengetahui ada orang lain yang tahu mengenai hubungan gelap suaminya dan Yuna. Malini segera membuang muka dari kedua anak-anaknya dan menghapus air mata yang tidak henti jatuh di pipinya.
"Anak-anak, kalian masuk ke mobil Om, ya? Mobil warna hitam itu adalah mobil Om. Di sana banyak makanan. Ayo ke sana?" suruh Rangga dengan mendorong pelan punggung kedua anak itu.
Tangis Malini pecah. Ia tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Rangga merasa iba melihat kesedihan mendalam dari sorot matanya. Rangga tidak tahan hati melihatnya, ia ikut tersakiti melihat wanita itu disakiti. Rangga memberanikan diri memeluknya dan menepis pelan punggung Malini.
"Ibuk harus kuat," kata Rangga dengan suara lembut.
Seorang wanita dalam balutan gaun pesta memotret mereka dari mobil yang berada tidak jauh dari posisi mereka. Wanita itu berambut panjang bergelombang. Bibirnya tersenyum licik dengan sebuah ide jahat sudah berada di benaknya.