Dilema Dalam Diam
...'Tidak semua diam menafsirkan kelemahan dan kebodohan. Orang yang cerdas dan bijak juga butuh diam untuk mengambil keputusan dalam menyikapi masalah yang menepi di hidup mereka. Begitupun sebaliknya.'...
...~ Malini Lestari...
🌿🌿🌿
Gemuruh petir di malam hari lebih menakutkan dari apa pun, menciptakan selipan cahaya yang mengagetkan tubuh setelah mata mendapatinya. Hujan lebat mengiringi angin mengguncang para pohon dan menciptakan suara yang mengusik indra pendengaran. Dalam balutan dress basah, sepasang kaki wanita usia 30 tahun tertatih dalam perasaan sedih dan kecewa. Air matanya telah bersatu dengan air hujan yang membasahi tubuhnya sejak tadi, dari hotel Texas, tempat di mana kedua bola mata kecil yang indah itu membongkar perselingkuhan suami yang menikahinya sepuluh tahun lalu.
Hudda Prasetya, pria bertubuh jangkung, bermata kecil, dan pemilih kulit sawo matang itu menduakannya. Pria itu orang yang paling dipercayai olehnya melebihi dirinya sendiri. Hujan membantunya menemukan kebenaran itu. Setelah berteduh di kafe yang ada di depan hotel Texas, matanya menemukan wujud Hudda merangkul pinggang seorang wanita berpakaian minim, mereka berjalan masuk ke dalam hotel. Memorinya kuat mengingat tingkah Hudda dan wanita itu setelah mengikuti mereka masuk ke dalam hotel. Matanya melihat bibir mereka saling berburu dari celah pintu yang sedikit di buka.
"Tidak aku sangka kamu begitu kejam, Mas," tangisnya isak tersedu-sedu.
Sepasang kaki yang terpasang sepatu hitam pria keluar dari mobil yang berhenti di belakang tubuh wanita itu. Pria itu membuka payung berwarna biru muda dan berjalan menghampiri wanita itu untuk meneduhi tubuhnya dari serangan tetesan air hujan yang jatuh. Sadar akan hal itu, wanita itu berhenti melangkah dan menoleh ke belakang.
"Kenapa hujan-hujanan? Kamu baik-baik saja, Sayang?" Pemilik tubuh yang berdiri di belakangnya itu adalah Hudda.
Pria itu menatapnya bingung.
Pandangan mata wanita itu melewati tubuh Hudda, pandangannya tertuju ke arah mobil suaminya itu yang tidak di sadarinya sudah berhenti di belakangnya. Cahaya lampu mobil menyoroti matanya saat tubuhnya melangkah satu langkah ke samping, menghindar dari lindungan tubuh Hudda. Mesin mobil itu masih dalam keadaan menyalah.
"Sayang ...!" panggil Hudda sambil menyentuh bahu kiri wanita itu.
Pandangan wanita itu mulai buram, wajah Hudda tidak jelas lagi di pelupuk matanya sampai akhirnya kedua mata itu tertutup dan tubuh tumbang.
Hudda membuang payung di tangannya, ia merelakan tubuhnya basah demi membopong tubuh istrinya itu masuk ke dalam mobil.
***
"Malini ... Lini ...." Bibir Hudda berucap memanggil Malini yang terbaring di atas kasur dari sebuah kamar bernuansa modern bercat putih berpadu hitam.
Malini Lestari, itu nama lengkap wanita itu yang pernah disebut Hudda bersamaan dengan kalimat suci pernikahan mereka.
Kedua indera pendengaran Malini menangkap suara Huda secara samar, tapi matanya tidak di buka ketika memori di benaknya masih mengingat penglihatan buruk Hudda bersama wanita itu semalam. Untuk sesaat, melihat wajah Hudda membuat perasaannya akan tertekan dan dadanya sesak untuk bernapas.
"Tinggalkan aku sendiri. Tolong jaga Jenaka dan Jian untuk sementara." Bibir Malini berkata dengan mata masih dipejam.
Jenaka dan Jian adalah sepasang anak kembar mereka yang sudah berusia lima tahun. Lima tahun lamanya menikah, berpuluh kali konsultasi kepada dokter, sudah pernah mencoba bayi tabung dan gagal, akhirnya mereka mendapatkan anak. Pada percobaan bayi tabung ketiga, Tuhan memberikan izin bagi mereka untuk menjaga kedua anak itu.
"Kenapa? Jika ada yang mengusik mu, katakan saja," ujar Hudda, bingung memperhatikan Malini sambil mengelus lembut bahu istrinya itu.
"Tidak ada," balasnya dingin sambil menepis tangan Hudda.
Pria itu berdiri, kakinya berjalan pelan meninggalkan kamar dengan kepala menoleh ke belakang, matanya masih tertuju pada tubuh Malini. Setelah mendengar suara pintu ditutup, barulah Malini membuka matanya dan menemukan kekosongan di kamar. Air matanya berderai, membasahi bantal, mengingat kembali putaran memori di benaknya akan kejadian semalam. Selimut tebal yang menutupi sebagain tubuhnya digigit keras oleh Malini untuk menyembunyikan suara tangis karena tidak ingin Hudda ataupun kedua anaknya mendengarnya.
Lima menit kemudian, suara ketukan pintu membuat tangis itu berhenti.
"Lini, Mama dan Papa ada di sini. Jika kamu tidak bisa menemuinya, aku akan bilang sama mereka kalau kamu sakit!" Hudda berseru dari luar.
"Iya. Bilang saja aku sakit!" Malini membalas seruan Hudda.
Dahi Hudda mengerut semakin bingung dengan sikap istrinya itu. Sesaat ia diam di depan pintu sambil berpikir. Mengapa tidak? Biasanya Malini selalu ceria di rumah bagaimana pun itu masalahnya.
Malini enggan menggerakkan tubuhnya, merasa malas bertemu dengan siapa pun, termasuk kedua buah hatinya.
Hampir satu jam tubuh Malini berbaring di atas kasur. Entah apa yang terjadi di luar, ia tidak tahu lagi. Hanya menyendiri yang dibutuhkannya saat ini untuk berpikir dan mengendalikan emosi dan amarahnya. Kedatangan Hudda yang membuatnya duduk di tepi kasur. Pria itu berdiri di hadapannya dengan tangan kanan menenteng tas kerja.
"Tolong pasangkan dasiku." Hudda menyodorkan sehelai dasi berwarna hitam padanya.
"Aku lelah. Cari orang yang bisa membantumu memasangnya," balas Malini, menolak permintaan Hudda dengan nada judes seperti sebelumnya.
"Pms? Tidak. Baru Minggu kemarin kamu datang bulan. Apa yang membuatmu bersikap dingin padaku?" Pria itu duduk di samping Malini sambil meletakkan tas di samping tubuhnya dan mengarahkan pandangan Malini menghadap ke arahnya.
Raut wajahnya kesal Hudda memudar dan berubah menjadi cemas melihat ada sisa air mata di kedua sudut mata istrinya itu.
"Siapa yang menyakitimu? Aku akan memberikannya pelajaran." Kedua tangan Hudda menghapus sisa air mata yang ada di sudut pipi Malini.
"Jika aku menyebut namanya. Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Malini, ingin mencari tahu reaksi Hudda.
"Aku akan memukulnya sampai menghilang dari dunia ini. Katakan, siapa orang yang sudah mengusik mu?" Gelagat Hudda serius dan menunjukkan kalau ia belum sadar dengan perbuatannya.
"Benarkah?" tanya Malini sambil tersenyum miris.
Kepala Hudda mengangguk dan tersenyum sedikit bercanda.
Senyum miris di bibir Malini menghilang secepat kilat bersambut dengan wajah dingin. Tamparan dilancangkan Malini ke pipi Hudda sampai pria itu bereaksi kaget. Hudda membeku beberapa saat dan mengarahkan kepalanya yang sempat tertoleh oleh tamparan itu. Malini kembali menampar pipi Hudda di bagian yang sama dengan keras sampai memunculkan bekas merah.
"Aku?" tanya Hudda dengan wajah bingung dan kaget.
"Sadar, sebelum aku membuatmu sadar, Mas," ucap Malini dengan penekanan.
Malini berdiri dari kasur, berlanjut jalan keluar kamar, meninggalkan Hudda yang duduk diam merenungi tamparannya. Malini membanting pintu sampai membuat kedua mertuanya yang tengah duduk di ruang tamu kaget mendengarnya. Sepasang suami-istri berusia setengah abad itu mengarahkan pandangan ke atas, menatap Malini yang berdiri di tangga paling atas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 123 Episodes
Comments
Dini Izzati
habis baca di FB q langsung meluncur kesini Thor😍
2023-12-18
3
𝒮🍄⃞⃟Mѕυzу᭄
..
2023-12-01
1
cinta semu
awal cerita ..si istri tegas banget bisa kasih tamparan 2x moga kedepan ny makin bagus n seru ..
lanjut thor
2023-11-29
1