Nadira Ghautiah hanyalah seorang gadis berhijab yang kesehariannya bekerja sebagai akuntan. Ia tak menyangka hidupnya akan berubah 180 derajat saat bertemu seorang pria yang dikejar-kejar pembunuh.
Situasi itu membawanya pada posisi rumit nan mencekam. Kejadian demi kejadian yang berbahaya terus mengikutinya. Demi keselamatan hidupnya, ia terjebak dalam pernikahan paksa dengan Arsenio Harrington, Sang Pewaris tunggal kerajaan bisnis Harrington.
Mampukah Nadira menerima kenyataan pernikahan yang jauh dari bayangannya dan menerima fakta bahwa suaminya adalah seorang pewaris yang dingin dengan masa lalu kelam.
Bagaimana kisah selanjutnya? Nantikan hanya di novel Cinta Sejati Sang Pewaris.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hernn Khrnsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CSSP Ep. 09
Nadira merapikan mejanya, berkali-kali ia menguap menahan kantuk yang mendera. Seandainya saja Arsen tidak memintanya untuk mengulang laporan. Ia harusnya sudah istirahat dan terlelap dalam mimpi.
Ia menyerahkan laporan itu pada Arsen yang masih sibuk menatap layarnya fokus. "Pak, ini laporan terakhir." Arsen membaca laporan itu lalu kembali meletakkannya di meja.
Tak ingin berlama-lama, Nadira langsung berpamitan untuk pulang. Baru saja ia hendak mencapai daun pintu, tiba-tiba Arsen memanggilnya, membuat Nadira menghela napas berat. "Iya, Pak?"
"Kamu pulang dengan siapa?"
"Sendiri," jawab Nadira singkat. Arsen hanya mengangguk singkat lalu kembali fokus ke layar komputernya. "Tidak jelas," gumam Nadira lalu kembali melangkahkan kakinya.
Dalam diamnya, Arsen tetap memperhatikan Nadira melalui rekaman cctv di layar komputernya. Ya, sejak tadi yang ia lakukan adalah memerhatikan Nadira bekerja dari balik mejanya.
Ia meraih ponselnya dan menelepon Galen. Lalu berjalan ke tepi jendela di ruangannya. Dari atas sini, ia dapat melihat dengan jelas raga Nadira yang tengah berdiri, menunggu taksi. "Panggil security, cepat!" ujar Arsen tergopoh-gopoh berlari dari ruangannya.
Bagaimana tidak? Sekumpulan pria menghampiri Nadira. Sudah pasti hal buruk akan terjadi.
Sedangkan di tepi jalan, 4 orang pria menghampiri Nadira. Salah seorang dari mereka bersiul nakal, menggoda Nadira. Mata Nadira menyipit, memerhatikan satu persatu pria yang berada di sekelilingnya.
Hatinya merasa takut, namun ia mencoba terlihat kuat. Sekeliling sangat sepi, hanya ada beberapa mobil yang berlalu lalang. Gerbang kantornya telah terkunci, jadi tak mungkin ia kembali ke sana. Berteriak juga tak mungkin, alih-alih ada yang menolong, ia pasti langsung dibungkam.
Dengan susah payah Nadira mengatur napasnya, mencoba untuk tak gentar. Salah seorang dari pria itu meraih pergelangan tangan Nadira, namun langsung ia tepis kasar, membuat pria itu berdesis. "Sok jual mahal!" sentaknya.
"Siapa kalian? Sebaiknya kalian pergi dari sini atau, atau saya akan panggil polisi!" ancam Nadira yang dijawab kekehan keempat pria itu. Seorang dari mereka mendesak maju.
Tangan kotornya terulur hendak meraih hijab Nadira, namun sebuah pukulan telak menhantam pipinya keras. Lelaki itu pun tersungkur ke bawah, ia meringis.
Melihat temannya yang tersungkur, ketiga lelaki yang lainnya pun marah. "Sialan! Berani-beraninya Lo ganggu kita! Hajar!" seru seorang pria, dua lelaki di belakangnya melesak maju, hendak meninju Arsen.
Arsen menarik Nadira ke belakang punggungnya, melindungi gadis itu. Arsen sudah mengepalkan tangannya kuat, bersiap memberi pelajaran bagi semua berandalan tersebut. Namun...
"Angkat tangan!" dari arah belakang mereka, security berdatangan. Keempat pria itu pun langsung ketakutan. "Maaf, Tuan Muda, kami terlambat."
Arsen merapikan jas mahalnya. "Bawa mereka ke kantor polisi," ujarnya yang lalu diangguki oleh lelaki berbadan kekar itu.
Setelah semua berandalan itu dibawa pergi, Arsen beralih pada Nadira yang menutup matanya kuat. "Mereka sudah dibawa pergi."
Nadira membuka matanya perlahan dan mengabsen sekelilingnya, benar sudah tidak ada. Nadira pun bernapas lega. Tuhan masih melindunginya. "Alhamdulillah, terima kasih, Pak. Terima kasih sudah menolong saya," ucap Nadira tulus.
Arsen mengangguk. "Ehem, ya. By the way, kenapa kamu berdiri di sini?"
"Menunggu taksi, Pak"
"Tidak ada taksi di tengah malam seperti ini, Nadira," jawab Arsen cepat. Nadira membeku. Ya, itu benar. Tapi jika saja Arsen tak menahannya, ia mana mungkin mengalami hal semacam itu, ya kan?
Tak lama, sebuah mobil berhenti tepat di samping mereka. "Pak, ini mobil Anda," ujar sang sopir sambil menyerahkan kunci mobilnya kepada Arsen. "Terima kasih, kau boleh pulang lebih dulu."
"Ayo, saya antar kamu pulang," Arsen melangkah masuk ke dalam mobilnya. Namun, Nadira tetap bergeming, haruskah ia masuk dan pulang bersama Bos-nya itu? Sikap Nadira membuat Arsen kembali memanggilnya.
"Cepat, atau kamu mau diganggu lagi oleh berandalan-berandalan yang lain." Tak ada pilihan, dibanding mengalami hal yang sama dua kali, lebih baik ikut bersama Arsen. Nadira pun duduk di kursi penumpang.
Lalu, mobil itu melaju, membelah jalanan yang lenggang. "Saya tinggal di-"
"Saya tahu, pakai safety belt dengan baik. Saya akan mengebut."
Tak butuh waktu lama bagi Arsen untuk mengemudi. Akhirnya mereka sampai di apartemen Nadira. "Terima kasih, Pak."
"For what?" tanya Arsen masih setia dengan kemudinya.
"Untuk bantuan Presdir dan tumpangannya," ujar Nadira tulus. Mungkin Arsen tak seburuk yang ia pikirkan. Ia hanya mengangguk lalu meminta Nadira untuk turun.
Sekali lagi, Nadira hendak mengucapkan terima kasih. Namun mobil Arsen langsung melaju dengan cepat, membuat Nadira bersungut dalam hati. "Apanya yang baik? Dia tetap saja menyebalkan!" gerutunya sambil masuk ke dalam apartemennya.
salam kenal untuk author nya