Raisa memiliki prinsip untuk tidak memiliki anak setelah menikah. Awalnya Edgar, suaminya menerima prinsip Raisa itu. Tapi setelah 6 tahun pernikahan, Edgar mendapatkan tekanan dari keluarganya mengenai keturunan. Edgar pun goyah dan hubungan mereka berakhir dengan perceraian.
Tanpa disadari Raisa, ternyata dia mengandung setelah diceraikan. Segalanya tak lagi sama dengan prinsipnya. Dia menjadi single mother dari dua gadis kembarnya. Dia selalu bersembunyi dari keluarga Gautama karena merasa keluarga itu telah membenci dirinya.
Sampai suatu ketika, mereka dipertemukan lagi tanpa sengaja. Di saat itu, Edgar sadar kalau dirinya telah menjadi seorang ayah ketika ia sedang merencanakan pernikahan dengan kekasihnya yang baru.
Akankah kehadiran dua gadis kecil itu mampu mempersatukan mereka kembali?
Follow Ig : @yoyotaa_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yoyota, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 18
Di hari itu, keluarga Edgar sedang mengadakan makan malam bersama dengan Tamara. Seperti biasa Mama Ola selalu menyambut Tamara dengan riang gembira. Berbeda dengan Oma Deli yang tampak biasa tapi tetap menyukai kehadiran Tamara.
Makan malam itu berjalan dengan lancar dengan pembahasan yang membuat Tamara jadi semakin senang. Bagiamana tidak dalam waktu dua bulan lagi dirinya akan secara resmi menjadi nyonya Gautama. Itu benar-benar hal yang paling ia nanti-nantikan selama ini.
Keduanya kini sedang duduk di ayunan rotan di dekat kolam renang.
"Lakukan apapun yang kamu inginkan. Pernikahan impianmu aku akan setuju."
Tamara tak bisa lagi menyembunyikan rasa bahagianya. Ia mendapatkan laki-laki yang begitu perhatian dan mengerti dirinya. Tidak apa-apa Edgar adalah duda yang pernah menjalin hubungan pernikahan dengan wanita lain sebelumnya. Yang terpenting kini Edgar akan menjadi miliknya seutuhnya. Walaupun sejujurnya ada sedikit rasa kekhawatiran dan keraguan di dalam hatinya, apalagi usia pernikahan Edgar yang 6 tahun bersama mantan istrinya itu. Pasti banyak kenangan yang mereka lalui bersama. Tapi Tamara akan tetap optimis karena ia yakin, Edgar sudah benar-benar melupakan mantan istrinya.
"Apa kamu tidak ingin apapun untuk pernikahan ini? Request makanan atau souvenir misalnya?"
Edgar menggeleng.
"Aku serahkan semuanya ke kamu. Karena kebanyakan pasangan akan jadi sering bertengkar di saat memilih mengurusi acara pernikahan. Daripada itu terjadi di antara kita, lebih baik aku mengalah dan menuruti saja keinginan kamu. Karena aku yakin, pilihan kamu pun tidak akan salah."
"Benar, pilihan aku memang tidak akan salah. Seperti ketika aku melihat kamu."
Tanpa mereka ketahui, Oma Deli memperhatikan keduanya di balik jendela. Sejujurnya dia senang, Edgar akan menikah lagi, tapi entah kenapa hatinya ragu. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ada firasat-firasat tertentu. Bagaimana pun juga, Oma Deli pun menjadi saksi akan cinta yang dimiliki Edgar untuk Raisa. Sangat berbeda sekali dengan cinta yang dimiliki Edgar untuk Tamara saat ini.
"Semoga keputusan kamu benar ya Gar. Oma selalu mendoakan yang terbaik untuk kamu."
*
*
Di hari itu, Roni sedang menjemput keponakannya ke sekolah mereka. Tapi sudah hampir lima belas menit menunggu, dia belum mendapati keponakannya keluar menuju gerbang sekolah. Alhasil, dia pun masuk ke dalam halaman sekolah dan mendapati ponakannya yang sedang bertengkar dengan seorang anak laki-laki. Bahkan anak laki-laki itu terluka di bagian lututnya.
"Astaga! Ya Tuhan!" Roni benar-benar terkejut dibuatnya.
"Dengar ya, kami punya Papi! Siapa bilang kami tidak punya Papi! Papi kami bekerja di luar negeri makanya kami jarang bertemu dengan dia!"
"Dasar tukang bohong!" Anak laki-laki itu tidak percaya.
Kia yang sudah semakin kesal ingin sekali saja memukul anak laki-laki itu. Tapi sudah dicegah oleh Roni.
"Kia, hentikan!"
"Om Ron?" Kia dan Mia jadi terkejut dan menunduk sementara Roni membantu anak laki-laki itu untuk berdiri dan menanyakan keadaannya.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Roni.
"Nggak papa kok, Om. Untung aja Om cepat datang, kalau tidak mungkin aku sudah dipukul oleh Kia. Tadi saja dia sudah mendorongku sampai lututku berdarah."
"Duh, Om minta maaf ya. Mereka tidak berniat seperti itu kok!"
"Om apaan sih! Kenapa minta maaf ke dia? Dia ini sudah menyakiti Mia!"
Si anak laki-laki itu menggeleng. Lalu Roni membawa anak laki-laki itu ke satpam untuk dijaga sambil menunggu orang tuanya menjemput.
Kini fokus Roni beralih ke si kembar yang terlihat begitu kesal adanya. Bahkan mereka sampai memalingkan wajahnya.
"Kimi, coba jelasin apa yang sebenarnya terjadi!"
Keduanya sama-sama bungkam.
"Kalau tidak mau cerita ke Om, Om aduin langsung ke Mami kalian. Nanti Om nggak bisa bantu kalian kalau kalian nggak cerita."
Akhirnya, Kia pun mulai bercerita tentang awal mulanya dia bertengkar. Semua itu karena anak laki-laki itu yang terus mengejek Mia karena tidak memiliki Papi. Bahkan membuat Mia menangis karena terus ditanya-tanya keberadaan papi mereka.
"Kia nggak salah Om. Dia yang salah! Dia membuat Mia menangis. Aku sebagai kakaknya tidak bisa diam saja Om. Bukan hanya pada Mia aja dia begitu, tapi ke teman-teman lain juga. Dia anaknya bandel Om!"
Roni pun mengerti, Kia hanya ingin melindungi adik kembarnya. Hanya saja cara Kia memang salah. Tapi, untuk memarahinya, Roni tak tega apalagi melihat Mia yang sedari tadi masih menangis.
"Ayo kita pulang dulu aja. Nanti Om bantu ceritakan ini ke Mami kalian."
"Apa Mami akan marah?" tanya Mia dengan suara bergetar.
"Tidak, Mami kalian tidak akan marah. Kalaupun nanti dia marah, Om akan melindungi dan membela kalian."
Ketika sudah sampai di mobil, keduanya duduk di tempat masing-masing. Mia duduk di samping kemudi, dan Kia di belakang.
"Om, kenapa Papi tidak mencari kami?"
Di situasi begini, Roni bingung harus menjawab apa. Apa iya dia harus jawab, kalau papi mereka tidak tahu kehadiran mereka. Itu artinya, dia sama saja akan membuat Raisa buruk di mata kedua anaknya.
"Em, mungkin bukan begitu. Papi kalian kan orang sibuk."
"Kalau begitu, apa jika Papi tidak sibuk, dia akan bertemu kami?"
Roni dibuat bingung lagi harus menjawab apa. Dia hanya mengangguk saja agar Mia tak bertanya apapun lagi.
*
*
Malam harinya, Kia dan Mia sedang disidang oleh Raisa. Raisa terlihat marah dan ingin melampiaskan kekesalannya pada anak-anaknya. Tapi ia tidak mau kalau dengan kekerasan. Ia takut, apa yang dialaminya akan terjadi kepada anak-anaknya juga. Jadi, yang bisa dia lakukan adalah bicara dari hati ke hati.
"Mami tahu, kamu sangat menyayangi adik kamu. Tapi kekerasan bukanlah cara untuk melindungi adik kamu. Masih ada cara yang lainnya. Kamu sudah minta maaf sama teman kamu itu?"
Kia menggeleng.
"Besok minta maaf ke dia."
"Tapi Mi ...."
"Kalian punya Papi. Dia hanya tidak bersama dengan kita. Jadi jangan bersedih kalau diejek atau dihina kalian tidak memiliki Papi hanya karena tidak pernah diantar jemput olehnya."
Setelah mengatakan itu, Raisa pergi menuju ke kamarnya sementara Kia dan Mia menatap kepergian Raisa dengan mata yang sendu.
"Mami marah sama kita ya, Om?"
"Nggak sayang, sini Om peluk dulu."
Si kembar pun mendekat ke Roni dan menangis di pelukan Roni. Merasa diabaikan oleh maminya membuat si kembar jadi bersedih, bahkan ketika bicara pada mereka pun maminya tak menatap wajahnya. Si kembar tahu maminya marah tapi tidak ingin memarahi mereka.
Padahal lebih baik dimarahi daripada didiamkan seperti ini. Itulah yang ada dipikiran di kembar.
Ketika waktu semakin malam dan si kembar sudah tidur di kamarnya, Roni mengetuk pintu kamar Raisa. Tidak terkunci. Jadi, dia masuk saja untuk melihat keadaan kakaknya.
"Karena aku, karena didikanku, mereka tumbuh jadi anak yang nakal bahkan sampai mencelakai temannya sendiri. Aku ini ibu macam apa! Mendidik anak saja tidak becus."
Roni yang mendengar itu semua jadi bersedih hatinya. Ingin memeluk kakaknya, tapi ia ingin mendengar lebih jauh lagi, curahan hati kakaknya yang tak pernah ia dengar sebelumnya.
*
*
TBC