Demi melanjutkan hidup, Hanum terpaksa melarikan diri keluar kota untuk menghindari niat buruk ayah dan ibu tiri yang ingin menjualnya demi memperbanyak kekayaan. Namun siapa sangka kedatangannya ke kota itu justru mempertemukannya dengan cinta masa kecilnya yang kini telah menjadi dosen. Perjalanan hidup yang penuh lika-liku justru membawa mereka ke ranah pernikahan yang membuat hidup mereka rumit. Perbedaan usia, masalah keluarga, status, masa lalu Abyan, dan cinta segitiga pun turut menjadi bumbu dalam setiap bab kisah mereka. Lalu gimana rasanya menikah dengan dosen? Rasanya seperti kamu menjadi Lidya Hanum.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Izzmi yuwandira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Thirty Three
Hanum mulai bekerja keras untuk hidup di tengah-tengah kota Jakarta. Aktifitas nya dimulai di pagi hari, tepatnya ia sudah bangun pukul 4 pagi. Ia sudah harus membereskan rumah, menyiapkan sarapan, mencuci baju, menjemur pakaian. Lalu setelah itu ia akan membantu Haris dan Rani di cafe.
Seperti perintah Rani kemarin, Hanum mulai mencoba untuk membuat cake. Tidak disangka rasanya sangat enak, Rani pun dengan segera menambahkan cake itu kedalam daftar menu di cafe nya.
Hari-hari pengunjung cafe semakin ramai, sehingga Hanum sangat kewalahan melayani para pelanggan. Rani begitu pelit, ia bahkan tidak mau merekrut anggota untuk menjadi pegawai di cafe mereka. Padahal penghasilan mereka sudah sangat cukup untuk menggaji mungkin sekitar 2 - 3 orang pegawai.
Tapi Rani tetap kekeh dengan prinsip nya tidak akan memperkerjakan orang orang lagi di cafenya.
Hanum sangat lelah, selama 2 Minggu ini tenaganya benar-benar diperas oleh Rani. Ia mengerjakan semua pekerjaan, sedangkan Rani hanya duduk menyantai dirumah, dan menghitung penghasilan dari cafe yang didapatnya setiap hari.
Rani sangat pelit dan perhitungan, bahkan ia tidak mau memberikan Hanum upah berupa uang jajan walau hanya sedikit. Terlebih lagi Rani juga membatasinya makan, Rani sangat mengawasi Hanum soal makanan.
Jujur saja Hanum benar-benar tidak betah tinggal disini, ia lelah. Belum ada sebulan Hanum tinggal dirumah Haris, tapi membayangkan untuk hidup kedepannya rasanya sangat tidak mungkin bahwa ia bisa bertahan.
Apalagi sekarang Rani sangat suka marah-marah, ia akan sangat emosi apabila Hanum telat masak, telat belanja, telat datang ke cafe, dan lain sebagainya. Semua hal akan di ungkit oleh Rani.
Rani benar-benar tidak membiarkan Hanum bernafas walau hanya sebentar. Hanum tidak punya jam istirahat di cafe, ia terus melayani para pelanggan, membuat cake, minuman dan lainnya. Dan apabila ke dua pegawai tetap cafe tidak datang maka Hanum lah yang harus mengerjakan semua pekerjaan di cafe.
Rani hanya tau memerintah dan tidak ingin terlibat dengan hal yang berbau dapur.
"Hanum... Kamu layani itu pelanggan di meja 03" perintah Rani.
"Kak? Aku kan lagi buat pesanan di meja 07, apa kakak gak bisa layani sendiri?"
Rani kesal mendengar perkataan Hanum. Rani menjambak rambut Hanum.
"Kamu? Berani nyuruh aku? Udah tinggi banget pangkat kamu? Kamu gak tau aku siapa?"
Hanum kesakitan seraya memegang tangan Rani yang menjambak rambutnya.
"Aduh kak sakit, ampunnn... Maaf kakk" ucap Hanum.
"Kalau numpang itu sebaiknya tau diri" ucap Rani, seraya melayangkan jari telunjuk nya tepat di dahi Hanum.
Hanum pun merapikan rambutnya dan melayani pelanggan di meja 03.
"Selamat datang, mau pesan apa Bu?" Tanya Hanum dengan wajah menunduk.
"Hanum? Ini saya Bu Aina"
Hanum segera melihat sosok yang ada dihadapannya. Betapa senangnya Hanum mendapati kehadiran Bu Aina di cafe itu, Hanum langsung memeluknya.
"Kamu apa kabar nak?" Tanya Aina.
"Alhamdulillah Hanum baik buk, ibu sendiri gimana kabarnya?"
"Ibu juga baik... Ibu tuh kesini sengaja mau ketemu kamu" ucap Aina.
Hanum sangat sedih, ia tidak bisa menyembunyikan ekspresi sedihnya ketika bertemu Aina.
"Kamu kenapa? Ada masalah ya?" Tanya Aina.
"Nggak kok buk, gapapa"
"Cerita kalau ada masalah, ibu nunggu nunggu kamu mampir kerumah loh. Tapi kamu kayak nya sibuk banget ya disini"
Hanum hanya tersenyum.
"Iya buk, maaf ya"
"Iya ngga apa-apa, ibu ngerti kok"
"Oh iya, ibu mau pesan apa?" Tanya Hanum.
"Ini ibu pesan cake cokelat nya 1 sama latte ya"
"Baik Bu, sudah Hanum catat ya... Mohon ditunggu sebentar ya Bu"
"Iya nak"
Hanum pun segera menyiapkan pesanan milik Bu Aina, namun sebelum itu ia menyajikan pesanan milik meja 07 terlebih dahulu.
Aina melihat Hanum sangat kewalahan melayani para pelanggan yang silih berganti berdatangan ke cafe itu. Setelah menjadi waiters ia kembali ke dapur untuk membuat kopi, teh, susu dan lain lain lalu setelah itu ia kembali lagi menyajikan pesanan tersebut. Sampai-sampai ia hampir terjatuh saat menyajikan pesanan itu.
"Kamu udah makan siang nak?" Tanya Aina.
Hanum hanya nyengir seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Makan mah gampang buk, ntar dianterin makan siang sama kakak" ucap Hanum.
Tak lama kemudian Rani datang dengan wajah kesalnya.
"Kamu itu bisa gak sih Hanum, kerja nya itu cepat? Lambat banget jalannya, aku gak puas sama hasil kerja mu" omel Rani.
"Maaf kak, aku kan kerja sendiri. Aku kewalahan kak, kakak bukannya mau bantu tapi ngomel mulu kerjaannya"
"Apa?? Kamu ngomong apa barusan? Udah berani kamu ngomong gitu sama aku?"
Rani bersiap ingin menampar Hanum di antara banyak nya pelanggan yang sedang menikmati makan dan minum ditempat itu.
Namun Aina segera menarik Hanum dan menyanggah tangan Rani.
"Apa-apaan kamu? Kamu siapa?" Tanya Rani.
Rani merasa kesakitan karena Aina mencengkeram pergelangan tangannya dengan sangat erat.
"Lepasinnn tangan aku" Rani menarik tangannya paksa.
"Begini kamu diperlakukan nak?" Tanya Aina.
"Ah nggak kok buk"
Rani merasa sangat kebingungan. Apakah mungkin wanita di hadapannya ini adalah calon mertuanya?
Rani mematung, ia tidak bisa berkata apa-apa.
"Dia siapa kamu?" Tanya Aina.
"Dia pacar nya kak Haris Bu"
"Baru pacar? Emang pantas memperlakukan adik pacar nya seperti ini?"
"Saya rasa kalau pacar kamu tau, kamu memperlakukan adik nya seperti ini kamu gak akan dinikahi"
"Jangan sombong, kamu bukan siapa-siapa"
"Buk Aina... Semua ini cuman salah paham aja kok Bu, Hanum gapapa"
Aina menoleh ke arah Rani yang menatap ke arah lain. Mereka sekarang menjadi pusat perhatian, Rani sangat malu ia pun bergegas pergi ke dapur.
"Hanum gapapa buk, namanya juga numpang ya harus tau diri lah"
"Kalau kamu butuh bantuan, kamu bilang aja sama ibuk nak. Atau kamu tinggal dirumah ibuk?"
Aina sangat berharap Hanum menyetujui permintaan nya untuk tinggal dengannya. Namun Hanum menolak.
"Gapapa kok buk, Hanum bisa jaga diri"
"Yasudah kalau begitu, tapi ingat loh yaa... Pintu rumah ibuk selalu terbuka untuk kamu... Kapan pun kamu mau datang silahkan"
Aina memegang kedua tangan Hanum.
"Iya ibuk, Hanum janji deh nanti Hanum sempetin buat main kerumah ibuk"
Aina mengusap rambut gadis itu dengan pelan.
"Kalau gitu Hanum izin kebelakang ya buk, mau lanjutin pekerjaan yang belum selesai"
"Iya nak..."
Hanum pun pergi meninggalkan Aina. Gadis itu kembali ke dapur untuk menyelesaikan pekerjaan nya, namun ia tidak menemukan Rani disana. Kemana perginya wanita itu?
Hanum tidak ambil pusing ia kembali mencuci piring.
Rani pulang kerumah dengan kesal. Ia menghentak - hentakkan kaki nya dan membuat Haris terbangun.
"Aaarghhhhhhh"
"Kamu kenapa sih? Pulang-pulang kayak orang kesurupan?" Tanya Haris.
"Kapan kamu mau nikahi aku?"
Pertanyaan itu membuat kepala Haris semakin sakit.
"Kamu kenapa tiba-tiba tanya gitu?"
"Tinggal jawab aja apa susahnya sih? Kapan kita nikah? Uang juga udah cukup kan buat biaya pernikahan kita"
"Iya secepatnya aku bakal nikahi kamu, tapi nanti"
Rani mengguncang bahu Haris.
"Iya nanti nya itu kapan? Aku mau kepastian... Kita udah pacaran selama 7 tahun Haris. Aku mau kita nikah, supaya aku punya status"
"Aku tuh capek gini terus, apa kata orang? Kita tinggal serumah tapi belum nikah. Aku malu... Aku mau jadi istri kamu"
"Secepatnya Haris..."
"Kamu cinta gak sih sama aku?"
"Kamu gak mau nikahin aku? Terus apa gunanya kebersamaan kita selama ini?"
Rani begitu tantrum di hadapan Haris.
Haris menyugar surainya dengan kasar, ia lalu menarik dan menghembuskan nafasnya perlahan, ia berusaha menenangkan Rani yang sedang gelisah.
"Kamu tenang aja, aku pasti bakal nikahin kamu. Aku kan udah janji, janji itu bakal aku tepatin, kamu gak perlu khawatir"
Haris menangkup wajah Rani dan menghapus air mata kekasih yang sangat dicintainya.
"Tapi kapan kita akan menikah Haris?"
"Secepatnya sayang..."
Rani semakin memperlihatkan wajah kesalnya, Rani menjauhkan wajahnya dari tangan Haris.
"Ran... Menikah itu butuh persiapan, pernikahan itu bukan permainan ran... Kita harus sama-sama siap, menikah bukan karena kamu malu denger omongan orang sana sini, bukan karena iri lihat kehidupan teman-teman kamu. Tapi dari hati kamu... Kamu beneran yakin dan siap kan jadi seorang istri? Kamu siap kan susah senang bareng aku? Kita ngurusin rumah dan cafe sama-sama? Kita harus ngurusin Hanum juga"
"Hanum? Kenapa kamu bawa bawa dia?" Rani terdengar tidak suka.
"Hanum itu adik kandung aku ran, dia gak punya siapa-siapa selain aku. Dia harus tetap sekolah dan melanjutkan masa depan nya. Aku sadar selama ini aku bukan seorang kakak yang baik buat dia, dan hari ini aku mau merubah itu semua"
"Terus Hanum jadi tanggungan kita? Maksudnya semua biaya kita yang tanggung? Kamu gak gila kan? Kamu pikir biaya sekolah itu murah?"
"Aku yang bakal tanggung biaya hidup nya bukan kamu, kamu gak perlu ngeluarin uang sepeser pun buat dia"
"Kok gitu pola pikir kamu ris?"
Haris mengernyitkan keningnya.
"Terus mau kamu gimana?"
"Aku gak terima..." Rani menggebrak meja di hadapannya.
"Terus mau kamu apa?" Tanya Haris.
"Kamu gak ngerti ris..."
"Kamu sayang gak sih sama aku ran?" Tanya Haris.
"Ya aku sayang lah sama kamu"
"Kalau kamu sayang sama aku, kenapa kamu gak terima dengan semua yang aku bilang?"
Rani gelagapan menjawab pertanyaan Haris. Haris sangat menunggu jawaban darinya dengan wajah serius.
"Kita gak usah menikah ran..." Haris menjeda kalimat nya.
Rani terkejut mendengar perkataan Haris.
"Kayaknya aku tau maksud kamu apa..."
"Kok kamu gitu sih" mata Rani memanas, sepertinya akan ada buliran air yang keluar dari sudut matanya.
"Kamu gak bisa Nerima Hanum kan?" Tanya Haris.
Rani terdiam.
"Bukan gitu ris..."
"Terus apa ran?" Tanya Haris.
"Ran, saat ini Hanum cuman punya aku. Aku nggak tega lihat dia nggak sekolah. Aku tau diam-diam setiap malam dia selalu nangis, rindu ibu, tapi aku juga nggak akan biarin dia kembali ke desaku. Aku kasihan sama adikku, dia adikku satu-satunya. Tolong ngertiin aku, jangan maunya aku yang disuruh ngertiin kamu doang" ucap Haris.
****
Lanjut thorrr lanjut