Pernikahan yang terjadi antara Ajeng dan Bisma karena perjodohan. Seperti mendapat durian runtuh, itulah kebahagiaan yang dirasakan Ajeng seumur hidup. Suami yang tampan, tajir dan memiliki jabatan di instansi pemerintahan membuatnya tidak menginginkan hal lain lagi.
Ternyata pernikahan yang terjadi tak seindah bayangan Ajeng sebelumnya. Bisma tak lain hanya seorang lelaki dingin tak berhati. Kelahiran putri kecil mereka tak membuat nurani Bisma tersentuh.
Kehadiran Deby rekan kerja beda departemen membuat perasaan Bisma tersentuh dan ingin merasakan jatuh cinta yang sesungguhnya, sehingga ia mengakhiri pernikahan yang belum genap tiga tahun.
Walau dengan hati terluka Ajeng menerima keputusan sepihak yang diambil Bisma. Di saat ia telah membuka hati, ternyata Bisma baru menyadari bahwa keluarga kecilnya lah yang ia butuhkan bukan yang lain.
Apakah Ajeng akan kembali rujuk dengan Bisma atau menerima lelaki baru dalam hidupnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leny Fairuz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 Mari Kita Berpisah
Siang itu Ajeng dan beberapa rekannya menikmati makan siang di Marugame Ud*n yang berada dalam kawasan mall terkenal di Surabaya. Hari ini adalah ulang tahunnya yang ke 28. Karena sudah kadung janji dengan para besti ia pun mengajak ketiganya untuk makan bersama.
“Waktu istirahat kita masih sisa satu jam. Cuci mata dulu yuk!” ajak Intan sambil menarik tangan Mira yang masih berbicara dengan Ajeng.
“Hei, mau kemana?” Gina menahan langkah Intan.
“Tuh, Mira ngajakin cuci mata,” saut Intan cepat.
Karena tak ingin mengecewakan mereka Ajeng pun mengikuti langkah ketiganya yang kini mulai memasuki pusat perbelanjaan terkenal di kota Surabaya. Mereka berempat sibuk bercerita dan saling bercanda ria. Apa lagi sekarang masih bulan muda, otomatis kantong masih gendut.
Saat sibuk memilih tas bermerk yang terpajang di etalase retail Sog*, ketiganya begitu antusias apalagi banyak barang baru yang berdatangan membuat mata benar-benar dimanjakan.
“Yang ini bagus deh mas. Pas dipadankan dengan batik kantor hari Kamis,” suara manja seorang perempuan membuat Mira menyikut pergelangan tangan Ajeng yang masih menerima telpon dari Rumida baby sitter yang kini menjaga Lala di rumah mertanya karena sudah berpengalaman. Ia mendapatkannya dari yayasan sesuai arahan Nurita.
“Ganteng lakinya, istrinya juga cantik. Pasangan ASN yang sempurna,” celetuk Mira.
Ajeng terkejut melihat pemandangan di hadapannya. Bagaimana tidak Bisma sedang menemani Deby berbelanja barang keperluan wanita. Hatinya terluka semakin dalam atas apa yang ia lihat.
Tidak ada yang tau, bahwa laki-laki yang kini jadi pusat perhatian rekan sekantornya adalah Bisma. Ia memang tidak pernah memajang foto keluarga dan menceritakan kehidupan pribadinya dengan teman sekantornya yang rata-rata pegawai baru.
Yang mereka tau, suami Ajeng seorang pegawai dan berkantor di Jakarta Utara. Saat acara aiqahan putrinya pun memang tidak ada pernak-pernik foto keluarga yang dipajang di rumah Nurita.
Ajeng sangat tertutup dengan kehidupan luar. Karena ia tau, Bisma sangat tidak suka dengan campur tangan orang luar dalam kehidupan rumah tangga mereka.
“Maaf mbak, saya yang duluan mengambil tas ini,” Intan dengan cepat meraih tas edisi terbatas yang diperlihatkan Deby pada Bisma.
Deby menatap Intan dengan perasaan tidak senang. Ia sudah lama menginginkan tas itu. Tapi demi menjaga image-nya di depan lelaki incarannya akhirnya ia tersenyum tipis.
“Oh, gitukah mbak. Yah gak pa-pa deh. Biar saya cari yang lain,” tuturnya lembut.
Bisma terkejut menyadari kehadiran Ajeng diantara empat perempuan muda yang kini berdiri di hadapannya dan Deby. Sekilas ia dapat melihat raut penuh luka tergambar di sana.
“Yuk mas. Kita pindah tempat aja. Masih banyak yang belum kita lihat di gerai sebelah .... “ dengan suara manjanya Deby mengajak Bisma keluar dari gerai tas yang menjual produk luar yang terkenal dan digandrungi para sosialita.
Ajeng megalihkan pandangan ketika Bisma kembali menatapnya saat melangkahkan kaki mengikuti Deby yang sudah berjalan di depannya.
“Pengen ya dapat pasangan seperti itu. Kelihatan banget kalau bucin sama istrinya,” Gina berkata seadanya melihat Bisma dan Deby yang kini berjalan semakin menjauh.
Hati perempuan mana, apalagi dirinya yang bergelar istri tidak terluka dengan semua yang ia lihat dan ia dengar akan perlakuan Bisma pada perempuan yang di matanya memang sangat sempurna.
“Tampaknya suaminya pejabat euy. Udah ganteng, mapan lagi, dan setia ....” Intan terus memuji Bisma dengan tulus.
Ia tidak menyadari semua yang mereka ucapkan semakin membuat Ajeng terluka. Tak terasa air matanya mengalir memburamkan pandangannya.
“Hei, kamu kenapa?” Mira terkejut melihat Ajeng yang kini berpegang pada etalase agar tubuhnya tidak lunglai.
“Mbak Ajeng ... “ Gina pun merasa khawatir melihat Ajeng yang pucat dengan air mata mengalir semakin deras.
“Jeng ... “ Intan menggenggam tangannya yang terasa dingin.
“Kita pulang sekarang,” Mira segera mengambil keputusan.
Ia tidak tau apa yang terjadi pada rekannya itu. Ajeng begitu tertutup akan permasalahannya. Ia rasa lebih baik mereka kembali khawatir kondisi Ajeng lebih parah dari yang mereka bayangkan.
“Kita langsung ke rumahmu?” tawar Mira.
Ajeng berusaha menguatkan diri. Ia tidak ingin terlihat rapuh di mata siapa pun. Dengan cepat ia menggelengkan kepala.
“Kita kembali ke kantor,” ujarnya lesu, “Aku gak pa-pa. Hanya kurang istirahat. Lala rewel belakangan ini.”
Hanya itu yang dapat ia katakan pada rekannya. Memang itu kenyataan yang terjadi sebenarnya. Sudah beberapa malam ini putri kecilnya rewel setelah diimunisasi sehingga ia harus berjaga di malam hari.
Tidak mungkin ia mengganggu jam istirahat bu Rumida yang sehari-hari sudah repot mengurus dan mengasuh putri kecilnya.
Bisma semakin jauh untuk ia raih. Kini Ajeng sudah pasrah dengan yang terjadi dalam rumah tangganya. Ia sudah berusaha menempatkan diri sebagai istri dan ibu yang baik dalam rumah tangganya. Tapi semua itu tidak berarti di mata Bisma yang kini sedang dimabuk asmara.
Usia Lala kini sudah enam bulan. Ada tidak adanya Bisma di rumah bukan lagi masalah buat Ajeng. Ia mulai menyibukkan diri dengan usaha yang kini semakin berkembang di kota Malang.
Setiap Sabtu pagi ia membawa bu Rumida dan putri kecilnya ke Malang untuk melihat usaha yang dikelola Hendra dan istrinya. Tak jarang ia menginap di sana dan Minggu sore baru kembali ke Surabaya.
Bisma merasa bahwa rumah tangganya dan Ajeng semakin hambar. Semenjak pertemuannya dan Ajeng di mall Pakuw*n bersama Deby, interaksi mereka semakin jarang.
Ajeng pun mulai menghindari untuk berkomunikasi dengannya. Bagi Bisma tidak masalah, karena ia tau Ajeng hanya memerlukan materi darinya. Ia sangat tau kondisi keluarganya di kampung.
Sore Minggu itu Bisma sudah menunggu kepulangan Ajeng. Ia tidak pernah ingin tau apa pun yang dikerjakan istrinya. Baginya Ajeng hanya sekedar memenuhi keinginan mamanya untuk mempunyai pendamping di mata keluarga besarnya. Karena bukannya ia tak tau, ada yang menganggapnya memiliki orientasi sek*ual yang berbeda, sehingga terpaksa ia menikahi Ajeng untuk menyelamatkan wajah keluarganya.
Sekarang saatnya ia memulai kebahagiaan sendiri. Senyum sinis terbit di wajah tampannya begitu mobil yang disupiri pak Kusni memasuki pekarangan rumah mewah miliknya.
Ajeng melihat Bisma duduk di sofa keluarga saat ia menuju kamar. Ia segera memberikan Lala yang sudah tertidur lelap pada bu Rumida. Ia yakin ada sesuatu yang ingin disampaikan lelaki batu yang tak lain adalah suaminya.
“Ku tunggu di ruang kerjaku,” ujar Bisma datar saat Ajeng sudah berdiri tepat di hadapannya.
Setelah menyampaikan apa yang ia inginkan Bisma berlalu dengan cepat menuju ruang kerjanya di lantai atas.
Ajeng menghela nafas. Ia tidak berani berspekulasi. Tapi ia sudah meyakinkan diri untuk menjalani apa pun dan menerima apapun yang menjadi keinginan suaminya.
Setelah membersihkan diri secara kilat, Ajeng segera menemui Bisma di lantai atas untuk berbicara. Sesuatu yang tidak pernah mereka lakukan selama hampir dua tahun berumah tangga.
Bisma sudah menunggunya di meja kerja seperti seorang pimpinan yang arogan dengan sikap dinginnya yang begitu nyata.
“Mari kita berpisah .... “ suara tegas Bisma langsung menancap ke jantung Ajeng.
Lelaki batu yang bergelar suaminya itu memang tidak pernah melibatkan emosi dalam setiap perkataan yang ia ucapkan.
Ajeng terpaku. Rasanya tak percaya, untuk kedua kalinya Bisma mengucapkan kata sakti itu. Tatapnnya fokus menatap kedalaman hitam pekat mata Bisma. Ia berusaha mencari sasuatu yang membuatnya bisa mempertahankan rumah tangga yang baru seumur jagung ini.
Tapi ia tidak menemukan apa pun yang tergambar di mata elang suaminya. Hanya kelam dan datar. Tidak ada yang terpancar di sana.
Ia meringis dalam hati menyadari nasibnya yang menyedihkan. Dapat ia ingat kembali, bagaimana tatapan dan senyum yang tulus di wajah suaminya saat bersama perempuan yang berpakaian dan kecantikannya begitu sempurna. Kini ia sadar, bahwa hati Bisma memang tidak akan pernah ia sentuh. Perempuan itu telah memiliki hati suaminya sepenuhnya.
Jika memang ini membuat Bisma bahagia maka ia akan mundur dari ikatan pernikahan yang tidak mendatangkan kebahagiaan dalam rumah tangga mereka. Ia pun teringat kembali omongan Sari.
Mulai detik ini ia akan menciptakan kebahagiaan sendiri dengan putri kecilnya bersama dengan orang-orang yang sayang dan peduli padanya.
“Baiklah,” Ajeng menjawab seketika.
Bisma tertegun mendengar jawaban Ajeng yang penuh keyakinan. Tidak ada sanggahan atau pun penolakan yang terucap dari perempuan yang sudah membersamainya dalam dua tahun belakangan ini. Raut kesedihan pun tidak kelihatan di wajah perempuan yang sudah memberinya seorang putri.
“Jika tidak ada yang ingin dibicarakan lagi aku permisi,” tanpa menunggu jawaban Bisma, Ajeng langsung bangkit dari hadapan Bisma.
“Besok kita ke rumah mama untuk memperjelas semuanya,” ujar Bisma lagi dengan tatapan tak teralihkan dari wajah tegas Ajeng.
Begitu keluar dari ruang kerja Bisma dan menutup pintunya. Ajeng langsung bersandar dan menepuk dadanya berulang kali. Ia merasakan sesak yang membuatnya susah untuk bernafas dengan benar.
“Ya Allah ... kuatkan hamba menjalani semua ini. Hamba yakin Engkau Maha mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-M .... “ dengan lunglai Ajeng menguatkan langkahnya untuk turun kembali ke bawah .
Keinginannya hanya satu, memeluk putri kecilnya. Itulah satu-satunya kekuatan yang ia miliki untuk bertahan.