Sharmila, seorang wanita cantik, sedang bersiap untuk hari pernikahannya dengan Devan, bos perusahaan entertainment yang telah dipacarinya selama tiga tahun.
Namun, tiba-tiba Sharmila menerima serangkaian pesan foto dari Vivian, adik sepupunya. Foto kebersamaan Vivian dengan Devan. Hati Sharmila hancur menyadari pengkhianatan itu.
Di tengah kekalutan itu, Devan menghubungi Sharmila, meminta pernikahan diundur keesokan harinya.
Dengan tegas meskipun hatinya hancur, Sharmila membatalkan pernikahan dan mengakhiri hubungan mereka.
Tak ingin Vivian merasa menang, dan untuk menjaga kesehatan kakeknya, Sharmila mencari seorang pria untuk menjadi pengantin pengganti.
Lantas, bagaimana perjalanan pernikahan mereka selanjutnya? Apakah pernikahan karena kesepakatan itu akan berakhir bahagia? Ataukah justru sebaliknya?
Ikuti kisah selengkapnya dalam
KETIKA MUSUH MENJADI PENGANTIN PENGGANTI
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33.. Tidak akan bercerai
.
Sharmila tersentak mendengar pertanyaan Zayden. Padahal bukan seperti itu maksudnya. Dalam hati ia bertanya-tanya, mengapa mood pria itu selalu berubah-ubah. Terkadang begitu tengil, menyebalkan, tapi sering tiba-tiba menjadi sensitif. “Apa dia lagi PMS," gumamnya dalam hati.
"Bukan seperti itu," ucap Sharmila hati-hati, berusaha meredakan suasana yang mulai menegang. "Aku benar-benar sudah tidak berpikir tentang Devan lagi. Aku juga tidak mau lagi berhubungan dengan dia.”
Zayden menatap Sharmila dengan sorot mata menyelidik. "Benarkah?" tanyanya, seolah tak sepenuhnya percaya dengan ucapan Sharmila.
Sharmila mengangguk. “Tentu saja. Siapa orangnya di dunia ini yang mau kembali pada orang yang pernah mengkhianati?"
Di tengah ketegangan itu, seorang pelayan datang menghampiri meja mereka.
"Maaf mengganggu, Tuan Muda. Tuan Joshua sudah menunggu di depan,” lapor pelayan itu.
Zayden hanya menjawab dengan deheman singkat seraya mengibaskan tangannya tanpa mengalihkan pandangannya dari Sharmila. Ia seolah tak ingin percakapan mereka terganggu.
Pelayan itu pun segera undur diri setelah menundukkan kepala.
"Baguslah," ucap Zayden datar. Pria itu membersihkan mulutnya dengan tisu, lalu beranjak dari duduknya. Ia melenggang pergi dengan menyimpan kedua tangannya di dalam saku celana.
Namun, senyum tipis tercetak di sudut bibir Zayden. Ada rasa senang dalam hatinya mendengar jawaban Sharmila. Sebuah pengakuan tak langsung yang membuatnya merasa sedikit lega.
Sharmila segera mengejar langkah Zayden. "Jika kamu begitu terburu-buru, tak apa aku pergi sendiri atau meminta Kak Ricky untuk mengantar,” ucap Sharmila setelah menyamakan langkahnya dengan pria itu.
Zayden menghentikan langkahnya, menoleh pada Sharmila dengan tatapan lembut. "Aku akan mengantarmu lebih dulu," jawabnya.
"Baiklah.” Sharmila menghela nafas lega. Setidaknya Zayden tidak lagi bersikap dingin padanya.
*
*
*
Siang hari di perusahaan pusat milik Pratama group. Zayden terkejut ketika Joshua mengatakan beberapa teman waktu kuliah datang ingin bertemu.
“Apa agendaku siang ini?" tanya Zayden.
"Hari ini tidak ada pertemuan penting di luar,” jawab sesuai. “Berkas yang harus Anda tangani sudah saya serahkan semua. Anda hanya memiliki janji untuk menjemput Nyonya di jam pulang.”
“Baiklah, suruh mereka masuk,” ucapnya sambil menandatangani berkas terakhir.
Joshua mengangguk lalu mengundurkan diri. Tak lama kemudian empat pria tampan masuk ke ruangan Zayden.
“Kelihatannya serius Zay? Kami datang ganggu kamu kerja nggak?" Kevin, satu di antara mereka mendekat ke meja kerja Zayden dan melakukan tos yang segera disambut oleh Zayden.
“Hei,,, tumben kalian datang, ayo duduk!" Zayden meninggalkan laptopnya lalu mengambil tempat duduk di salah satu sofa.
“Nanti malam keluar yuk, Zay,” ajak Bram, yang berpenampilan paling nyentrik. “Sudah lama loh kamu nggak ikut kumpul-kumpul bareng teman,"
Zayden merentangkan dua tangan, menekuk lehernya ke kiri dan ke kanan dengan gerakan cepat untuk melakukan peregangan, selalu menyandarkan tubuh dan memejamkan mata.
“Aku nggak ada waktu," ucapnya santai. "Aku kan sudah nikah.” Kalimat yang langsung dicibir oleh teman-temannya.
“Hilihh,,, nikah konon?" Edwin mencebikkan bibirnya.
"Iya nih. Padahal kalian kan menikah cuma kesepakatan saja,” Aldrian menimpali. “Nanti setelah proyek kota B selesai, kalian juga bakal bercerai,” selanjutnya.
Zayden membuka matanya, mengambil nafas panjang lalu menegakkan tubuh. “Aku tidak akan pernah menceraikan dia," ucapnya.
Keempat temannya saling pandang. "Tidak akan bercerai?" tanya Kevin. “Jangan bilang kalau kamu tiba-tiba beneran jatuh cinta sama dia?”
“Bukan seperti itu juga," sahut Zayden.
“Lalu?" tanya Edwin. “Kalau nggak jatuh cinta, ngapain nggak cerai? Apa enaknya hidup dengan orang yang tidak kita cintai?"
Ketiga temannya langsung mengangguk membenarkan kata-kata Edwin.
“Maksudku, aku bukan tiba-tiba jatuh cinta sama dia. Tapi memang sudah lama aku mencintainya.”
Empat teman yang kembali saling pandang. Perihal Zayden menyukai Sharmila sudah bukan rahasia. Mereka semua mengetahuinya. Tapi, mereka pikir, seiring berjalannya waktu, dan sikap Sharmila yang begitu ketus, akan membuat cinta itu perlahan pudar. Siapa sangka masih tumbuh subur hingga kini.
*
*
*
Kala matahari mulai bergeser ke arah barat, seorang pemuda sedang fokus menjalankan instruksi yang diberikan oleh seniornya. Zainal, pemuda itu, sudah tiga hari ini bekerja di perusahaan cabang Pratama group.
Sebelumnya ia benar-benar tidak percaya bahwa dirinya dipanggil untuk bekerja di perusahaan Pratama Group. Bagaimana tidak heran dan bingung? Ia sama sekali tidak pernah mengirimkan lamaran ke perusahaan besar ini.
Sebelum ini Zainal bekerja sebagai seorang OB di sebuah perusahaan kecil, berjuang seorang diri memberikan kehidupan yang layak untuk kedua adiknya. Kini, setelah dipaksa berkhianat pada keadilan demi keselamatan adiknya, ia menerima panggilan kerja dari Pratama group.
“Bukankah Pratama grup adalah milik Tuan Zayden Pratama?” gumam Zainal dalam hati.
"Kalau tidak salah, beberapa waktu lalu sempat viral, Devan Aditama tidak hadir dalam pernikahan, lalu mempelai wanita menikah dengan pemilik Pratama grup. Jadi aku bekerja di tempat rivalnya Devan?”
Zaenal terus berpikir dan bertanya adakah keterkaitan dalam hal tersebut? Tetapi ia sama sekali tidak menemukan jawabannya.
“Ah, sudahlah. Yang penting aku bekerja dengan baik,” gumamnya. “Aku tidak akan mengecewakan orang yang telah mengangkatku."
Sebagai staf teknisi, Zainal merasa seperti ikan yang terdampar di daratan. Walaupun dulunya dia mengambil jurusan teknis ketika SMK. Namun, tetap saja ia masih minim pengalaman jika ditempatkan di perusahaan besar. Ia harus berjuang keras beradaptasi dengan mesin-mesin canggih dan istilah-istilah teknis yang memusingkan. Untungnya, rekan-rekannya di Pratama Group, menerima kehadirannya dengan tangan terbuka.
"Santai saja, Mas Zainal," ujar seorang teknisi senior bernama Pak Jamal, menepuk pundaknya. "Semua butuh proses. Yang penting niat belajar dan jangan malu bertanya."
Zainal berusaha mengikuti nasihat Pak Jamal. Ia menyerap semua ilmu yang diberikan, bertanya tanpa ragu, dan bekerja keras untuk membuktikan diri. Hari-harinya dipenuhi dengan oli, kabel, dan bunyi mesin. Malamnya, ia belajar dari buku-buku teknik yang dipinjam dari perpustakaan milik perusahaan.
Terkadang bayangan Pricilia hadir menghantuinya. Ia merasa telah mengkhianati satu adik demi adiknya yang lain. Namun, ia tak memiliki pilihan lain. Sofia harus baik-baik saja. Ia hanya bisa berdoa semoga Pricilia damai di alamnya, dan berharap, suatu saat ada yang bisa membalas perbuatan Devan.
Malam hari, setelah lelah bekerja, Zainal duduk termenung di warung kopi dekat kontrakannya. Ia menatap langit malam yang bertaburan bintang, mencoba mencari bayangan adiknya.
"Kelihatan lagi banyak pikiran ya, Mas?" sapa pemilik warung yang sedang membersihkan meja.
Zainal hanya mengangguk seraya tersenyum tipis.
"Hidup memang penuh cobaan, Mas. Tapi jangan lupa, setiap masalah pasti ada jalan keluarnya.” Kata-kata sederhana yang menyentuh hatinya.
Zainal mengangguk lalu menyesap kopi dengan pikirannya yang melayang jauh.
Tiba-tiba, ponsel di sakunya berdering, membuyarkan lamunannya. Ia mengambil dan melihat nama "Sofia" tertera di layar. Ia mengangkat telepon dengan perasaan cemas. Tak biasanya Sofia menelpon malam-malam.
"Halo, Dik? Ada apa?"
Terdengar suara Sofia dari seberang, nadanya bercampur antara bingung dan antusias. "Mas, aku lagi bingung banget tahu nggak?"
"Bingung kenapa? Kamu baik-baik saja, kan?" tanya Zainal, jantungnya berdegup lebih kencang.
"Aku baik-baik saja, tapi…"
padahal aku tdnya gak mau komen, gara gara saemile keceplosan akhire komen juga, astagaaa😜