Inara harus menelan pil pahit ketika Hamdan, sang suami, dan keluarganya tak mampu menerima kelahiran anak mereka yang istimewa. Dicerai dan diusir bersama bayinya, Inara terpuruk, merasa sebatang kara dan kehilangan arah.
Titik balik datang saat ia bertemu dengan seorang ibu Lansia yang kesepian. Mereka berbagi hidup, memulai lembaran baru dari nol. Berkat ketabahan dan perjuangannya, takdir berbalik. Inara perlahan bangkit, membangun kembali kehidupannya yang sempat hancur demi putra tercintanya.
Di sisi lain, Rayyan Witjaksono, seorang duda kaya yang terluka oleh pengkhianatan istrinya akibat kondisi impoten yang dialaminya. Pasrah dengan nasibnya, sang ibu berinisiatif mencarikan pendamping hidup yang tulus, yang mau menerima segala kekurangannya. Takdir mempertemukan sang ibu dengan Inara,ia gigih berjuang agar Inara bersedia menikah dengan Rayyan.
Akankah Inara, mau menerima Rayyan Witjaksono dan memulai babak baru dalam hidupnya, lengkap dengan segala kerumitan masa lalu mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli Priwanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diam-diam mengagumi
Rayyan memperhatikan cara Inara menjahit kain yang sudah di pola, melihat kepiawaian Inara, Rayyan cukup tertarik. Sedangkan Nyonya Martha dan Bu Farida sempat melirik mereka berdua. Namun Inara tak menghiraukan kehadiran Rayyan yang saat ini tepat berada di dekatnya, dan Rayyan mencoba berinteraksi dengan Inara.
"sepertinya kau sudah mahir melakukan pekerjaan ini?" pandangan Rayyan fokus ke arah mesin jahit, sedangkan Inara menjawab pertanyaan dari Rayyan dengan santai, takada gestur gugup pada dirinya.
"Alhamdulillah Tuan, saya dulu bergelut di bidang ini!" jawabnya tanpa berani menoleh.
Dan setelahnya tak ada lagi percakapan diantara keduanya, keduanya masih sangat kaku. Namun bagi Nyonya Martha dan Bu Farida, ini adalah awal yang bagus, karena sangat jarang sekali Rayyan mau berinteraksi langsung dengan seorang wanita terkecuali dengan dirinya dan juga karyawan di perusahaan.
.
.
Pagi itu, Rayyan Witjaksono menyesap kopi hitamnya. Pikirannya tanpa sadar kembali melayang ke kemarin pagi.
Ruko kecil. Mesin jahit tua. Tumpukan kain.
Dan di tengah semua itu, ada Inara. Wanita dengan mata yang indah dan penuh ketenangan, tangannya lincah mengendalikan jarum, dan hasil jahitan yang menurutnya luar biasa. Bukan sekadar jahitan rumahan, melainkan potongan pakaian dengan struktur yang presisi, detail yang halus, dan nuansa desain yang berkelas, benar-benar seperti karya desainer profesional, jauh melampaui ekspektasinya.
Rayyan menggelengkan kepala pelan, mengusir bayangan Inara yang mengenakan kacamata dan serius menatap pola.
Tidak, jangan biarkan itu terjadi. Jangan biarkan wanita itu mengganggu pikirannya, Rayyan berusaha menepisnya dan menganggap kejadian kemarin pagi sebagai angin lalu.
Sepertinya usaha Ibunya, Nyonya Martha, untuk menjodohkan putranya dengan Inara terasa mulai menunjukkan perkembangan, meskipun Rayyan belum bisa membuka hatinya kembali untuk wanita manapun setelah pasca trauma atas perceraiannya dua tahun yang lalu.
Kini Rayyan bangkit dari tempat duduknya, jubah dinginnya sudah siap ia kenakan.
Perusahaan Witjaksono
Setibanya di lobi utama Perusahaan Witjaksono, suasana mendadak sunyi. Langkah kaki Rayyan yang berat dan sorot matanya yang tajam dan dingin menyambut hampir semua karyawan. Mereka menunduk, nyaris tidak berani bertukar pandang.
Rayyan sangat disegani, bahkan ditakuti.
Dua tahun. Sejak perceraiannya dengan Viona, istri yang ia cintai namun mengkhianatinya dengan sahabatnya sendiri yakni Farhan, semuanya telah berubah. Rayyan yang hangat dan penuh senyum telah berganti menjadi sosok beku yang kaku. Ia tak mau lagi mendengar nama Viona, baik di rumah maupun di kantor. Rasa sakit itu telah bermetamorfosis menjadi tembok emosi yang tinggi.
Tepat saat ia mendekati lift pribadinya, Frans sang asisten setianya bergegas menyambut.
"Selamat pagi, Tuan Rayyan," sapa Frans, sambil menyerahkan tablet dan beberapa folder.
"Laporan," ujar Rayyan, singkat dan padat, tanpa membalas sapaan selamat pagi.
"Ya, Tuan. Ini adalah laporan kuartal terakhir. Ada beberapa hal yang janggal, terutama di sektor pengembangan produksi," jelas Frans, berjalan beriringan dengan langkah panjang Tuannya.
Mereka masuk ke lift, dan Frans melanjutkan laporannya.
"Perusahaan sepertinya mencari bibit desainer baru, Tuan. Divisi Kreatif sedang mengadakan seleksi tertutup. Saya rasa, ini ada hubungannya dengan hasil pasar."
"Hasil pasar? Bukankah 'Lewwis' masih memimpin? Kita menjual fashion kelas dunia, Frans."
"Benar, Tuan. Lewwis adalah brand yang diminati hampir di setiap penjuru dunia. Namun, laporan kami menunjukkan adanya kejenuhan konsumen, terutama pasar Eropa dan Asia, mulai merasa bosan dengan model pakaian sejenis. Mereka mencari sesuatu yang... segar dan inovatif."
Rayyan menekan rahangnya. Sebuah kejenuhan dalam industri fashion adalah bencana kecil.
"Detailkan padaku. Model seperti apa yang mereka cari? Dan kenapa proses pencarian desainer baru ini tidak masuk dalam laporan mingguan saya sebelumnya?"
"Itu yang janggal, Tuan, kepala Pengembangan Produk, yakni Pak James, melakukan ini di bawah tangan. Laporan ini baru saya temukan pagi ini. Untuk model yang dicari... mereka menekankan pada detail rumit dengan sentuhan etnik modern yang belum pernah kita sentuh sebelumnya, Tuan. Sepertinya, ingin membuat terobosan dari gaya minimalis khas Lewwis."
Rayyan terdiam. Detail rumit. Sentuhan etnik. Tiba-tiba, bayangan tumpukan kain dengan pola-pola unik dan hasil jahitan haute couture milik Inara kembali melintas di benaknya.
Tidak mungkin.
"Batalkan semua prosedur pencarian yang dilakukan Pak James saat ini juga. Kumpulkan semua hasil laporan mengenai desain 'rumit' dan 'etnik' itu di meja saya sebelum jam sepuluh. Saya akan menanganinya sendiri."
"Baik, Tuan Rayyan. Saya akan segera menyiapkan laporannya."
Pintu lift terbuka di lantai tertinggi. Rayyan melangkah keluar, wajahnya kembali tanpa ekspresi.
" Inara."
Ia harus menghentikan pikiran konyol ini. Wanita itu hanyalah tukang jahit biasa, meskipun ia memiliki keterampilan luar biasa. Dia tidak mungkin menjadi jawaban atas krisis kreativitas di perusahaan fashion kelas dunia miliknya.
Sementara itu, pagi ini Inara tak menyangka bahwa ruko menjahit miliknya ramai oleh pengunjung terutama kalangan ibu-ibu, mereka tertarik dengan hasil jahitan Inara yang terpajang di manekin, menurut mereka jahitan inara terkesan rapih dan berkelas, melihat hasil jahitannya sudah seperti melihat pakaian dari butik kelas atas, itulah kemampuan Inara yang selama ini terpendam, semenjak menikah dengan Handan dulu, Inara sudah jarang melakukan pekerjaan menjahit seperti ini, dan Hamdan sendiri kurang menyukai hobby Inara yakni menjahit. Padahal Inara memiliki bakat yang terpendam, sayangnya ia tidak mendapatkan dukungan samasekali.
"Nduk, kamu tuh hebat loh, baru juga kemarin buka, eh udah kebanjiran order, Alhamdulillah rezeki untukmu dan juga Daffa!"
"terimakasih Bu, semua ini berkat dukungan dari Ibu, aku sedang mengumpulkan banyak uang untuk biaya pengobatan Daffa, selama tiga bulan ini, aku harus bisa mengumpulkannya Bu, aku takut nanti Daffa kenapa-kenapa!" Inara terlihat murung, ia menatap Daffa yang saat ini sudah tertidur pulas di atas kasur kecil yang tertutup oleh kelambu, sebenarnya Inara tidak ingin membawa Daffa ke ruko, karena pasti akan banyak debu yang berterbangan, namun mau bagaimana lagi, Bu Farida juga bekerja membantunya di ruko, dan tidak ada yang menjaga Daffa di rumah, sedangkan Sumi yang biasanya mau menjaga Daffa, haru ini ia harus pergi ke sekolah.
Siang ini rencananya Nyonya Martha akan pergi ke ruko tempat Inara membuka usahanya, ia berniat untuk membantunya dengan cara meminta Inara untuk membuatkan gaun untuknya, dan tentunya ia akan memberikan upah yang tak biasa untuk Inara, inilah cara pendekatan Martha terhadap Inara, dan ia berharap semoga semua yang sudah ia rencanakan selama ini berhasil dan menjadikan Inara sebagai menantunya, istri dari putranya. Rayyan Witjaksono.
Sedangkan Bu Farida, ia sudah tidak sabar untuk bertemu kembali dengan Martha, sahabat dekatnya yang tidak pernah melupakannya dan tak memandang status sosialnya. Semenjak Inara membuka usaha menjahit, kini Bu Farida sudah tak melakukan aktivitasnya sebagai seorang pemulung, dan Inara merasa sangat bersyukur. Di usia Bu Farida yang sudah senja, bu Farida sudah tidak layak melakukan pekerjaan seperti itu, Inara sangat bersyukur bertemu dengan Bu Farida dan merubah sedikit kehidupannya.
Bersambung...