Ketika Talak Telah Terucap
“Malam ini aku tidak pulang. Langsung ke Bogor ... “ pesan singkat Bisma tertangkap Ajeng di keheningan malam.
Sudah kesekian kali Bisma mengirim pesan singkat jika tidak pulang ke rumah. Ajeng pun tidak ada keinginan untuk membalas. Ia paham, chat yang Bisma kirim hanya sebagai pemberitahuan yang tidak memerlukan imbal balik. Ia kembali meletakkan ponsel di atas nakas di samping tempat tidur.
Dengan perasaan lelah ia membaringkan diri di samping Lala putri kecilnya yang sudah terlelap dalam pelukan malam. Jemarinya membelai rambut Lala dengan perasaan sayang. Kalau bukan karena mama mertua dan Mayang, kakak iparnya yang baik hati, rasanya berat baginya untuk meneruskan pernikahan mereka yang kini sudah berjalan tiga tahun.
Sejak awal pernikahan, Ajeng berusaha menyelami karakter Bisma yang dingin dan pendiam. Pernikahan mereka bukan atas dasar suka sama suka, tapi karena perjodohan.
Serasa mendapat durian runtuh, Ajeng yang hanya orang biasa yakin akan kebahagiaan yang ia dapatkan jika berhasil menikah dengan Bisma. Perkenalan mereka cukup singkat, selama satu bulan dengan Nurita mama mertuanya yang mencomblangi hubungan mereka.
Pertemuan awal dengan Nurita, mamanya Bisma terjadi saat Mayang datang membawanya untuk membuka rekening baru di bank tempatnya mengais rejeki begitu menyelesaikan kuliah.
Sebagai seorang Customer service yang baik, Ajeng melayani keduanya dengan ramah. Nurita yang seorang perfeksionis terus mencecar pertanyaan yang bahkan tidak ada hubungan dengan pembukaan rekening.
Dengan penuh kesabaran Ajeng melayani semua dan menjawab pertanyaan Nurita dengan sopan dan ramah.
“Adek sudah menikah?” tiba-tiba pertanyaan Nurita membuat Ajeng terkejut.
Ia tidak menyangka nyonya besar yang penampilannya sangat modis mengajukan pertanyaan seperti itu. Belum sempat ia menjawab,
“Gak usah ditanggapi pertanyaan mama mbak,” celetuk Mayang.
Ia tak ingin mamanya membuang waktu petugas CS yang sedang bekerja profesional dalam melayani nasabah baru. Ia yakin, hobby baru mamanya menjodohkan adik batu-nya belum usai. Setiap perempuan menarik hatinya akan langsung ia tembak saat itu juga. Padahal Mayang yakin, belum tentu Bisma setuju dengan keinginan mamanya.
“Eh, kamu itu jangan ikut campur urusan mama. Kali ini mama yakin gadis ini cocok dengan karakter kulkas adikmu,” Nurita berbisik dengan sewot ke arahnya.
Mayang tersenyum sambil menganggukkan kepala pada Ajeng yang memandang ia dan mamanya dengan jidat berkerut. Raut perempuan itu heran melihat perseteruan yang terjadi di depannya.
Dalam hati Mayang pun meyakini apa yang dikatakan mamanya benar. Paket komplit ada pada sosok CS ramah di depannya. Wajahnya ayu dan manis, tak bosan memandang apalagi kalau tersenyum.
“Kalau keluarganya matre bagaimana?” Mayang berusaha menakut-nakuti mamanya, “Sekarang banyak kejadian lho ma ... disangka perempua baik-baik, taunya menusuk dari belakang, hi ... ngerii .... “
Ia sudah bosan, sudah puluhan gadis yang ia dan mamanya temui untuk mengakhiri masa lajang Bisma yang kini sudah berusia 32 tahun. Ia sendiri heran dengan si batu, julukan yang ia berikan pada Bisma adik semata wayangnya yang masih betah melajang di usia yang cukup mapan untuk berumah tangga.
Ia tau, rasa tanggung jawab Bisma sebagai anak laki-laki yang harus melindungi kedua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya sepeninggal sang ayah dua tahun lalu membuat adiknya begitu keras dalam menjalani hidup. Bisma seolah menghukum dirinya sendiri untuk tidak terlibat dalam hubungan asmara.
Sejak kecil Bisma sudah menjadi seorang kutu buku, sehingga saat menyelesaikan sekolah kedinasan membuat ia tidak pernah memiliki pacar. Dan ia yakin, menjalin hubungan dengan perempuan hanya akan menghabiskan waktu dengan berbagai drama di dalamnya.
Ia tak habis pikir dengan jalan pemikiran Bisma. Ia dan suaminya Rudi langsung menikah begitu selesai kuliah S1. Otomatis sudah sepuluh tahun ia dan Rudi bersama, tapi Yang Kuasa belum mengizinkan keduanya memiliki keturunan.
Mungkin karena aktivitas masing-masing di dunia kerja membuat keduanya jarang memiliki waktu bersama, sehingga saat kembali ke rumah fisik sudah lelah dengan segala pekerjaan yang dijalani setiap hari.
“Gak masalah. Harta kita cukup untuk sepuluh keturunan,” Nurita kembali berbisik dengan kesal menyanggah ucapan putrinya.
Kali ini ia yakin dengan pilihannya. Tidak ada kepura-puraan dalam sikap gadis muda yang sudah masuk dalam targetnya sebagai menantu idaman di masa depan.
Selama tiga hari ia datang berturut-turut untuk mengamati aktivitas dan keseharian gadis yang ia ketahui bernama Ajeng Lestari Handayani. Tidak ada perbedaan dalam pelayanan yang dilakukan gadis itu pada setiap nasabah yang memerlukan bantuannya.
Adab yang dimiliki gadis itu benar-benar membuatnya jatuh hati. Sudah banyak gadis yang direkomendasikan keluarga, maupun lingkungan pengusaha yang ia temui. Tapi Ajeng telah mencuri hatinya sejak pertama bertemu.
Ia tidak ingin orang lain mendahului niat yang sudah terbungkus rapi di dalam pemikirannya. Bisma tidak akan menolak keinginannya. Pesan almarhum ayahnya agar selalu membahagiakan mamanya tertanam kuat di hatinya.
“Ibu, apa ada masalah?” Ajeng menatap perempuan parobaya yang memiliki kharisma kuat di hadapannya.
“Ya, masalahnya ibu pengen jadikan kamu mantu,” tembak Nurita langsung.
Ia tidak ingin membiarkan pikirannya bermain sendirian, karena belum mengetahui status CS yang telah ia klik.
“Mama .... “ tukas Mayang, tak menyangka mamanya akan berterus terang pada gadis yang tidak mereka ketahui asal usulnya.
“Maaf ya bu,” Ajeng menempelkan kedua tangannya di dada, karena tidak nyaman dengan sikap Mayang yang tampak keras.
“Nanti dek Ajeng istirahat jam berapa? Mama tunggu di kafe depan ya?” harap Nurita, “Mama tak ingin ada penolakan. Kalau memang kamu sudah menikah, mama ikhlas. Tapi kalau kamu berbohong, mama gak akan berurusan di bank ini lagi.... “
“Ih, mama main ancam lagi,” timpal Mayang menggeleng-gelengkan kepala dengan kekeras kepalaan mamanya.
Kini ia tau, sifat kepala batu Bisma turun dari sang mama. Pantas saja kalau sudah pendapatnya A, mama gak akan bisa dibantah.
Terpaksa Ajeng tersenyum menanggapi ucapan perempuan modis di depannya. Nasabah prioritas yang harus ia layani sebaik mungkin.
“Baik bu. Jam 12 siang saya akan menemui ibu di kafe depan.”
Percakapan hangat penuh rasa kekeluargaan mengalir begitu saja. Nurita yang ia lihat sebagai perempuan sosialita begitu ramah dan terbuka dalam berbicara dengannya. Mayang yang tampak judes dalam beberapa kali pertemuan mereka pun kini menunjukkan keramahan dan keanggunan seorang perempuan kelas atas di matanya.
Sebelum melanjutkan niatnya untuk menjadikan Ajeng sebagai mantu, Nurita memperkenalkan dirinya dan Mayang serta putra tunggalnya Bisma yang sampai usianya kepala tiga belum menemukan jodoh.
Nurita menceritakan kehidupan keluarganya yang tanpa didampingi suami yang telah terlebih dahulu dipanggil Yang Kuasa. Ajeng dengan antusias mendengar cerita perempuan parobaya yang kini juga telah menyita perhatiannya.
Kepergian ibunya di saat ia masih SMP membuatnya harus menjadi figur yang tegar bagi Dimas adiknya yang baru kelas V SD.
Cinta yang terlanjur dalam dimiliki sang ayah Prapto Darmojo membuatnya enggan untuk menikah lagi. Ia ingin mengantarkan kedua buah hatinya mencapai pendidikan tinggi agar bisa menjalani hidup dengan lebih baik, dibanding dirinya yang hanya petani biasa.
Dengan tekad dan semangat yang kuat untuk membuat ayahnya bangga, kini Ajeng berhasil menjadi pegawai di salah satu bank pemerintahan. Ia sudah bekerja selama 4 tahun, dengan penghasilan yang membuatnya mapan dan membantu membangun rumah permanen untuk ayahnya dan Dimas di salah satu kampung di kabupaten Kediri.
Saat pertemuan pertama dengan Bisma, betapa ia tak bisa menutupi rasa senang. Rasanya ia ingin melompat saking bahagianya akan dijodohkan dengan lelaki yang di matanya begitu sempurna tanpa cacat dan cela.
Sekelumit percakapan di masa lalu kembali terbayang di wajah Ajeng ketika malam itu ia diundang Nurita untuk makan malam di kediamannya.
Di meja makan ia melihat sosok laki-laki tampan duduk dengan tatapan tajam padanya.
“Nak Ajeng, perkenalkan. Ini Bisma putra mama,” Nurita membawa Ajeng berdiri di hadapan Bisma.
Dengan senyum ramah yang sudah biasa ia lakukan pada nasabah membuat Ajeng santai menyapa Bisma.
“Selamat malam mas.... “ sapa Ajeng.
Dengan enggan Bisma menerima jabat tangan Ajeng dan meneruskan makannya kembali. Ajeng tak terlalu mengambil hati perlakuan Bisma saat itu. Nurita sudah mengingatkan padanya, bahwa putra bungsunya itu seorang yang kaku dan tidak pandai berbasa-basi.
***Happy weekend buat readerku tersayang. Otor punya kisah baru yang akan kita nikmati bersama. Dukung terus ya. Salam sehat selalu ....***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 170 Episodes
Comments
Shinta Dewiana
dimas yg begitu bertanggung jawab terhadap mama dan adiknya tega menelantarkan istri dan anak sendiri..miris ini
2024-11-08
0
Soraya
mampir thor
2024-10-16
1
Anita Jenius
bagus alurnya
2024-06-03
0