~Jingga melambangkan keindahan dan kesempurnaan tanpa celah ~
Cerita ini mengisahkan tentang kehidupan cinta Jingga. Seorang yang rela menjadi pengantin pengganti untuk majikannya, yang menghilang saat acara sakral. Ia memasuki gerbang pernikahan tanpa membawa cinta ataupun berharap di cintai.
Jingga menerima pernikahan ini, tanpa di beri kesempatan untuk memberikan jawaban, atas penolakan atau penerimaannya.
Beberapa saat setelah pernikahan, Jingga sudah di hadapkan dengan sikap kasar dan dingin suaminya, yang secara terang-terangan menolak kehadirannya.
"Jangan harap kamu bisa bahagia, akan aku pastikan kamu menderita sepanjang mejalani pernikahan ini"~ Fajar.
Akankah Jingga nan indah, mampu menjemput dinginnya sang Fajar? layaknya ombak yang berguling, menari-nari menjemput pasir putih di tepi pantai.
Temukan jawabannya hanya di kisah Jingga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rengganis Fitriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanya sebatas Mahkluk Transparan
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut fajar, hanya saja ia menghentikan langkahnya yang sudah berada di ambang pintu rumah.
Dengan buru-buru Jingga menghampiri suaminya.
“Tuan bolehkah saya bekerja?”, satu kalimat keluar dari mulut Jingga dengan terbata-bata ia mengatakan hal itu.
Fajar melirik sekilas tangan Jingga yang saling beradu meremas ujung jilbabnya, jemarinya terlihat begitu indah, lentik, putih dan sepertinya juga lembut sekali kulitnya.
Diam Fajar tak bergeming mendengar pertanyaan dari istrinya.
“Tuan...”. Jingga kembali memanggil dan ingin mendapatkan jawaban yang keluar langsung dari mulutnya, bagaimanapun juga ia adalah istri Fajar dimana seorang istri tidak boleh meninggalkan rumah selagi belum mendapat izin dari suaminya.
Seketika Fajar tersadar dengan lamunannya, dan menampik semua yang ada di pikirannya, hanya seorang upik abu.
“Terserah, kamu mau bekerja atau tidak aku tak peduli denganmu, bahkan jika kamu ingin menjual diri juga aku tidak peduli”, jawabnya dengan dingin.
“Satu lagi yang harus kamu ingat, aku tidak akan memberimu nafkah baik itu nafkah materi maupun nafkah batin. Kamu hanya boleh tingga di sini dan bertahan hidup di sini selebihnya aku tak peduli dengan keperluanmu”.
Fajar berlalu begitu saja meninggalkan Jingga yang masih mematung di depan pintu mendengar setiap bait kata yang begitu menyakitkan keluar dari mulut suaminya sendiri, suami seorang yang harusnya menjadi penenang dan juga pelindung baginya.
Jingga terdiam untuk beberapa saat. Meski sudut matanya sudah hampir meneteskan kristal bening dengan sekuat tenaga ia menahannya.
“Bukankah kamu sudah berjanji Jingga pada dirimu sendiri jika tidak akan ada lagi tangisan karena sikap Fajar”.
Kini Jingga kembali ke kamarnya, ia akan bersiap untuk mencari pekerjaan. Selama ini Jingga sama sekali belum pernah merasakan bekerja di tempat lain selain di keluarga Pak hermawan, yang Jingga tahu sejak usianya lima tahun ia sudah tinggal dengan keluarga itu. Tanpa mengetahui sanak saudara yang lainnya.
Tok..tok...tok...
Suara ketukan pintu yang beralun di balik kamarnya, dengan sigap Jingga membukakan pintu kamar tersebut.
“Non Jingga silahkan sarapan, apa mu di bawakan ke sini saja makanannya?”.
“Oh tidak Wima biar aku saja yang ke sana, kalian semua sudah makan?”.
“Belum Nona, kami akan makan nanti setelah semua pekerjaan di rumah ini sudah selesai’.
Jingga meraih tangan Wima dan membawanya keluar dari kamar menuju meja makan. Sedang Wima hanya mengikuti saja kemanapun langkah Nona nya pergi.
“Mari kita makan bersama”, tawar Jingga dengan meraih satu piring yang ada di depannya.
“Tidak Nona, kami tidak biasa makan di ini”.
“Lantas kalian makan di mana?”.
“Kami akan makan di belakang sana’. Tunjuk Wima dengan mengarahkan tangannya ke taman belakang rumah itu.
“Baiklah kalau seperti itu, mari kita makan bersama”. Kini Jingga membawa piringnya untuk bergabung makan dengan para pelayan yang lain di rumah itu.
“Nona Jingga jangan makan seperti ini, nanti jika tuan muda tahu beliau akan marah”.
Jingga hanya tersenyum tipis mendengar penuturan para pelayan di rumah itu.
“Apa pedulinya tuan kalian dengan hidupku, bahkan jika aku mati saja mungkin ia tak akan peduli”, ucap Jingga dalam hati.
“Aku juga bukan nyonya rumah yang sesungguhnya, yang harus berada di ruang makan saat makan”.
“Tidak papa aku ingin menikmati makan dengan keluarga baruku di sini”. Jawab Jingga dengan tersenyum pada pelayan di rumah itu.
Kini mereka sedang bercanda bersama, mereka banyak bercerita tentang Fajar dan juga keluarganya. Sedang Jingga hanya menganggukkan kepalnya saja, sesekali ia menanyakan sesuatu yang ingin ia tahu. Tak jarang juga Jingga tertawa lepas kala mendengar cerita masa kecil Fajar.
“Wim setelah ini bisakah kamu menemaniku untuk berkeliling melihat-lihat rumah ini”.
Wima tersenyum padanya.
“Tentu saja Nona”.
Kini Wima mulai mengantar Jingga untuk berkeliling rumah Fajar, sesekali mata Jingga di buat terpukau dengan segala interior dan juga furniture yang ada di rumah Fajar.
“Ini adalah kamar tuan muda, tapi kita tidak bisa masuk Non!”. Wima menunjuk salah satu ruangan yang ada di lantai dua terlihat begitu luas jika dari luar ruangan.
“Nah kalau ini kamar Nyonya Maura, sudah selama setahun ini ia sering menginap di sini, hanaya saja tuan Fajar tidak mengijinkan jika Nyonya Maura tidur sekamar dengannya!”. Wima menunjuk salah satu kamar yang tepat bersebelahan dengan kamar Fajar.
Hati Jingga kembali di buat nyeri, bahkan semua pelayan di sini memanggil Maura dengan sebutan Nyonya!.
“Masuk saja Non Jingga, kamar ini tidak di kunci karena sewaktu-waktu barang belanjaan Nyonya Maura datang, kami para pelayan di suruh untuk langsung memasukannya ke dalam kamar ini”. Ucap Wima dengan begitu pelan takut menyinggung perasaan Jingga.
Dengan langkah kaki yang bergetar Jingga memberanikan diri untuk memasuki kamar itu. Kamar Maura begitu mewah dan juga sangat besar sekali seperti kamar Fajar yang ada di rumah utama Pak Angga. Sungguh luar biasa indah sekai dengan deretan barang-barang branded yang berjajar di setiap sudutnya, sangat berbeda dengan kamar tamu yang ia tempati sekarang.
Jingga kembali berkeliling melihat beberapa furniture dalam kamar itu, di wajah Jingga tersirat senyum pilu mengingat statusnya sekarang yang hanya sebagai istri transparan yang tak kasat mata bagi Fajar.
Kini Jingga melangkah kakinya menuju balkon kamar tersebut. Spot yang paling Jingga suka ketika bisa melihat taman dari balik balkon. Ia membuka jendela kamar tersebut sapuan angin pagi menerpa tubuhnya. Jingga memejamkan matanya menetralkan segala rasa yang ada.
Dalam hatinya menjerit, akankah bisa keluar dalam kubangan lubang yang besar ini? Ataukan akan bertahan selamanya di sini?.
Entahlah biar takdir yang menjawab.
“Nona Jingga...Non....”.
Sapa pelan Wima dengan memberanikan diri untuk menyentuh pundak Jingga.
“Eh maaf-maaf jadi melamun, mari ita lanjutkan melihat-lihat ruangan yang lainnya”.
Kini keduanya kembali berjalan berkeliling untuk melihat-lihat isi rumah tersebut. Dua jam berlalu waktu sudah menunjukan pukul sepuluh pagi. Jingga berpamitan pada Wima untuk keluar rumah ada sesuatu hal yang ingin ia lakukan, hanya saja Jingga tak mengatakan akan pergi kemana dan melakukan apa pada pelayan yang ada di sana.
Jingga meraih tas ransel usangnya dan mengeluarkan seluruh isi dalam tas tersebut, ia hanya membawa uang satu lembar yang tersisa di dompetnya. Jingga berniat mencari pekerjaan pagi itu, ia tak bisa jika harus bergantung hidup seperti ini. Jingga harus mempersiapkan segala kemungkinan yang akan terjadi di depannya nanti.
Kalau pun suatu saat nanti takdir mengatakan ia harus berpisah dengan Fajar, ia sudah siap.
Kini Jingga mulai melangkahkan kakinya keluar dari rumah itu untuk menjemput takdir yang baru.
Kemanakah kaki ini akan membawanya melangkah?