Amira Khairinisa, tiba-tiba harus menerima kenyataan dan harus menerima dirinya menjadi seorang istri dari pria yang bernama Fajar Rudianto, seorang ketos tampan,dingin dan juga berkharisma di sekolahnya.
Dia terpaksa menerima pernikahan itu karena sebuah perjodohan setelah dirinya sudah kehilangan seseorang yang sangat berharga di dunia ini, yaitu ibunya.
Ditambah dia harus menikah dan harus menjadi seorang istri di usianya yang masih muda dan juga masih berstatus sebagai seorang pelajar SMA, di SMA NEGERI INDEPENDEN BANDUNG SCHOOL.
Bagaimanakah nantinya kehidupan pernikahan mereka selanjutnya dan bagaimanapun keseruan kisah manis di antara mereka, mari baca keseluruhan di novel ini....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon satria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33.
Tak berselang lama setelah Amira ke tempat nya untuk bekerja, dan juga Lusi yang sudah keluar dari cafe itu dan kembali ke meja kerjanya, munculah sekumpulan anak muda yang sangat dikenal oleh Faisal.
" Wey!, semangat banget kayaknya, padahal baru juga keluar dari rumah sakit." ucap Denis, dengan suara yang sedikit keras, seperti biasanya.
" Shitt!, jangan berisik." ucap Rangga yang langsung membungkam mulut Denis, karena salah satu sahabatnya itu memang sulit sekali menyesuaikan diri dengan situasi.
" Lepasin, tangan lo bau ikan asin." kesal Denis, sambil menepis tangan Rangga dengan sedikit kuat.
Sehingga hal itu langsung membuat Rangga melepaskan tangan kanannya dari mulut Denis.
" Ini perpustakaan bukanya pasar." ucap Rangga mengingatkan.
Sementara Denis hanya terkekeh pelan menanggapinya.
" Hehe...sorry."
" Ngapain kalian kesini?" tanya Faisal, begitu melihat mereka memasuki cafe Mustika secara bersamaan.
Kejadian mereka bahkan mengalihkan perhatian para pengunjung yang ada disana, namun, dengan cepat, mereka kembali memfokuskan kembali pandangan mereka ke buku yang sedang mereka baca.
" Kita yang harusnya nanya, ngapain lo disini?" tanya balik Rangga.
" Jelaslah, gue kerja." jawab Faisal.
Pertama kali melihat sahabatnya itu memasuki cafe, Faisal langsung menggelengkan kepalanya, sambil menghembuskan nafasnya dengan jengah.
Dia sudah bisa memprediksi apa yang akan terjadi, jika mereka berkumpul dalam satu tempat seperti itu.
Dia hanya bisa berharap saja, semoga mereka nantinya tidak akan menganggu pekerjaan nya.
Sebenernya, tidak semua sahabatnya bertingkah random seperti itu, Fajar, David dan juga Isan adalah sahabatnya yang bisa dibilang aman.
Sementara tiga lainnya, Denis,Jay dan Rangga, sangat jauh dari kata aman, merekalah dalang yang selalu bikin keributan.
" Kalian mau ngapain disini?" tanya kembali Faisal, kepada ketiga sahabatnya yang tergolong ke dalam kelompok yang tidak aman.
" Mau lihat orang yang gak bisa denger ucapan sahabatnya, di suruh istirahat, malah ngeyel tetep masuk kerja." jawab Denis.
Dia sengaja mencibir Faisal yang tidak mau mendengarkan apa yang kata dokter katakan, selain itu, Faisal juga tidak mau mendengar ucapan mereka.
Faisal malah dengan santainya masuk kerja, sementara teman-teman nya harus dilanda khawatir dengan keselamatannya.
" Bener, padahal bos nya aja nyuruh dia untuk jangan kembali kerja dulu." timpal Rangga, sambil melirik sekilas ke arah Fajar yang sudah duduk di salah satu kursi yang ada di cafe Mustika itu.
" Gue bosen kalau cuman diem dirumah, lagian gue juga udah gak apa-apa." ujar Faisal, jujur.
Sehari saja dirumah sudah membuatnya merasa begitu bosen, apalagi dokter memintanya untuk beristirahat beberapa hari kedepan, hal itu tentu saja tidak bisa dia lakukan.
" Belum satu hari diem di dirumah, udah bilang bosen." cibir Jay.
" Kayaknya lo lebih nyaman di perpustakaan ini daripada di rumah lo sendiri." sambung Rangga, ikut mencibir.
" Lo bener, gue lebih nyaman di sini dari pada dirumah." jawab Faisal dengan yakin.
Jawaban itu lantas membuat ketiga sahabatnya langsung diam secara serentak, terutama Rangga, dia langsung merasa bersalah karena telah berbicara seperti itu.
Melihat ketiga sahabatnya yang langsung terdiam, membuat Faisal tau apa yang sedang mereka pikirkan tentang dirinya.
Dia tau, mereka pasti merasa bersalah padanya, padahal dia sendiri tidak masalah akan hal itu, karena dia sudah bisa berdamai dengan hidupnya.
" Kenapa lo senyam-senyum kayak gitu?, gue jadi takut liatnya, njir!" ujar Denis bergidik ngeri, sambil melangkah mundur, menjauhi Faisal.
" Daripada senyam-senyum gak jelas, mending lo buatin kita kopi, bos kita yang bayar!" ucap Rangga sambil menunjuk ke arah Fajar.
Fajar pun tidak menentang itu, yang berarti dia menyetujui apa yang Rangga katakan.
Bukan masalah juga bagi dirinya jika hanya mentraktir mereka di cafe miliknya sendiri.
" Gue bantu siapin." ucap Isan.
Dia sedikit ahli dalam hal itu, sehingga Faisal percaya kalau semua akan berjalan dengan lancar, jika Isan yang ikut membantunya.
Sementara sisanya mereka langsung menunggu di meja bundar yang belum terisi, dan cukup bagi mereka berkumpul dan berbincang disana.
" Gue salut banget sama lo, bisa ngurus perpustakaan ini sekaligus ngurus bengkel dalam waktu yang bersamaan." puji David, bangga akan keberhasilan dari Fajar.
" Mereka yang hebat bukan gue." jawab Fajar, sambil menunjuk ke arah para karyawan yang sedang fokus bekerja di perpustakaan itu.
" Lo juga hebat karena udah memperkerjakan orang-orang yang kompeten, termasuk dia." ucap David yang langsung Faisal menggunakan gerakan matanya.
Sementara Faisal dia tengah fokus mempersiapkan pesanan mereka, dibantu juga oleh Isan yang terlihat kompeten juga.
" Gue jadi sadar, kenapa lo gak nerima gue kerja disini." ujar Denis bergumam pada dirinya sendiri, tetapi ucapan itu tertuju kepada Fajar.
Gumaman Denis tadi langsung mengundang perhatian dari Jay, sehingga Jay langsung melirik sinis ke arah Denis.
" Bagus, akhirnya lo sadar diri." ucapnya, sambil menepuk pundak Denis beberapa kali.
" Lo itu cocoknya kerja di bengkel, karena lo berisik, peralatan bengkel sama berisiknya kayak lo, jadi lo cocok disana, bukan di perpustakaan ini yang identiknya dengan ketenangan." sambungnya kembali, berupa cibiran.
Dan di luar dugaan, bukanya marah mendapatkan cibiran sepedas itu, kali ini Denis malah langsung mengangguk setuju.
" Lo bener juga, kayaknya gue gak tahan kerja disini." ucap Denis mengakui itu dan menerimanya, karena itu memang benar adanya.
" Setiap hari gue pasti ngerasa lagi dihantui." gumamnya kembali, dengan pelan, terlalu masih terdengar jelas oleh yang lainnya.
" Dihantui?" tanya Rangga, sambil menaikan salah satu alisnya.
" Ya, buku-buku itu hantunya, gue gak abis pikir, di setiap sudut tempat ini kenapa ada banyak buku? bahkan di cafenya aja ada lemari buku." ungkap Denis, dengan segala keheranannya.
Karena Denis bukanlah termasuk orang-orang pecinta buku, justru sebaliknya, dia orang yang takut melihat buku.
Baginya bukunya, jauh lebih horor daripada hantu.
" Dan lihat orang-orang itu, mereka gak pusing dan gak bosen apa?, terus-terusan liat tulisan." sambungnya kembali sembari melihat orang-orang yang berada di sekelilingnya yang sedang fokus membaca buku mereka.
" Gak, lah, mereka, kan, rajin, gak kayak lo, masuk sekolah cuman buat titip absen doang." timpal Rangga.
" Lo juga." balas Denis.
" Dih, lo lupa, kalau gue, wakil ketua Osis di Bandung Independent School? gue itu anak rajin, iya, gak paketu?" tanya Rangga, melirik ke arah Fajar, untuk mendapatkan validasi.
Sementara itu, Fajar hanya meresponnya dengan berupa gumaman saja.
Yang satu sekolah denganya hanya Fajar saja, sementara sahabatnya yang lain bersekolah di Diamond High school.
" Disini cuman lo yang malas." cibir Jay, yang memang selalu berada di pihak berbeda dengan Denis.
" Ngaca sana! lo juga sama malasnya." kesal Denis, dengan nada bicaranya yang sedikitpun keras, hingga membuat para pengunjung lain melirik ke arah mereka.
" Keluar!, disini bukan tempat untuk ribut." ucap Fajar akhirnya bersuara.
Awalnya, dia masih bisa membiarkan kedua sahabatnya itu berdebat, karena mereka berdebat dengan suara yang bisa dibilang pelan, sehingga tidak menganggu kenyamanan yang lain.
Namun, semakin lama dibiarkan, perdebatan mereka menjadi pengusik para pendengar, hal itu tentu saja menganggu ketenangan para pengunjung di perpustakaan itu.
" Lo, sih!" ucap Jay menyalahkan Denis, atas marahnya Fajar kepada mereka.
" Lo...!" timpal Denis, tidak tuntas, karena dia lebih dulu mendapat tatapan tajam dari Fajar.
" Sorry, Jar!" ucapnya, pelan.
" Udah tau punya ketua galak, masih aja bikin ulah." cibir Rangga.
Mendengar Rangga berbicara seperti itu, Denis dan juga Jay langsung melirik ke arah Rangga dengan tatapan kesal.
Pasalnya, Rangga ikut berdebat dengan mereka, tetapi Rangga tidak menerima amarah dari Fajar, karena Rangga tidak berdebat hingga akhir.
Setelah mendapat teguran dari Fajar, mereka tidak lagi berdebat hingga menganggu ketenangan, mereka hanya berbincang santai saja.
Namun, yang berbincang hanya teman-temannya, sementara Fajar asik sendiri dengan dunianya.
Saat ini, Fajar kembali menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi, dengan kedua kelopak matanya yang tertutup sempurna.
Tidak lupa juga kedua tangannya dia lipat di depan dada, dengan salah satu kakinya yang dia letakkan di atas kaki yang lainnya.
Mereka tau, jika Fajar tidak tertidur, Fajar hanya memejamkan matanya, seraya menenangkan pikirannya.
Tidak ada satupun dari mereka yang mengetahui isi pikiran Fajar, ketika Fajar sedang mencari ketenangan seperti itu.
Tidak ada satupun dari mereka yang berani menganggu ketenangan ketuanya itu.
" Gue penasaran, apa yang lagi dia pikirin kalau lagi diem kayak gitu." bisik Denis, kepada mereka yang mendengarnya.
" Tanyain ke orangnya langsung." timpal Jay.
" Mana berani gue." ucap Denis, dengan ekspresi takutnya.
Membayangkannya saja dia tidak berani, apalagi menganggu Fajar secara nyata, tentu saja hal itu mustahil untuk dia lakukan.
Fajar yang mendengar bisikan teman-temannya itu, hanya diam saja dan mengabaikannya.
Pikiran Fajar saat ini tidak ada kaitannya bersama mereka, melainkan orang yang berada di lantai dua, dimana terdapat Amira yang sedang bekerja disana.
" Kapan lo selesai kerjanya, Amira?" batin Fajar.
Dengan kedua matanya yang masih terpejam sempurna.
TO BE CONTINUE.