Selimut Tetangga

Selesai membuat saparan, aku tak langsung membangunkan Mas Dirga. Sepertinya dia kelelahan sampai enggan untuk beranjak dari ranjang walaupun tau sudah pukul 7. Padahal biasanya Mas Dirga tidak pernah bangun sesiang itu sekalipun weekend.

Cucian di keranjang baju sudah melambai-lambai sejak tadi, kemarin kau sengaja tidak mencuci baju karna hanya ada beberapa lembar baju saja, jadi menunggu agak banyak agar sekalian di cuci hari ini.

Tumpukan paling atas ada baju kerja Mas Dirga semalam. Aku mengambil celana Mas Dirga dan seperti biasa akan selalu aku cek isi di setiap kantong celananya. Terkadang Mas Dirga meninggalkan uang ataupun struk pembelian makanan. Ku masukan celana itu ke dalam mesin cuci setelah memastikan tidak ada apapun di dalam kantong celananya.

Aku kemudian beralih pada kemeja Mas Dirga. Kemeja yang memiliki kantong juga tak luput dari pengecekanku. Jangan sampai ada struk ataupun kertas lainnya yang nantinya akan mengotori semua baju di mesin cuci.

Keningku reflek berkerut saat mengambil kemeja Mas Dirga, ada sesuatu yang mengusik indera penciumanku.

"Sejak kapan Mas Dirga punya parfum aroma vanila seperti ini.?" Aku bergumam sambil mendekatkan kemeja di hidungku untuk memastikan penciumanku tidak keliru.

Tertegun, tiba-tiba segala perasaan berkecambuk dalam hati dan pikiran. Ada ketakutan dan kecurigaan yang datang bersamaan saat memastikan aroma parfum di kemeja Mas Dirga bukan berasal dari parfum yang biasa di pakai olehnya.

Menepis segala perasaan buruk tentang suamiku, aku beranjak dari tempat laundry dengan membawa kemeja itu untuk menanyakan langsung pada Mas Dirga. Bukankah dalam segala sesuatu harus di bicarakan baik-baik agar tidak ada kesalahan pahaman.?

Meski kau yakin Mas Dirga tidak akan pernah berkhianat, tapi aku harus tau bagaimana aroma vanila ini bisa menempel di kemeja Mas Dirga. Dengan begitu, aku tak akan berburuk sangka padanya.

Saat masuk ke dalam kamar, Mas Dirga masih tertidur pulas. Aku berdiri di sisi ranjang, hanya diam seraya menatap lekat wajah tampannya yang tampak kelelahan.

Rasanya tidak tega membangunkan Mas Dirga hanya untuk menanyakan hal ini. Tapi di sisi lain aku juga sangat penasaran.

"Mas,," Panggil ku lirih. Pipinya menjadi sasaran untuk ku usap lembut. Perlahan Mas Dirga menggeliat.

"Kenapa Dek.?" Mas Dirga bertanya dengan mata yang setengah terbuka. Entah seberat apa pekerjaan Mas Dirga tadi malam sampai dia terlihat sangat kelelahan.

"Ada bau parfum vanila di kemeja Mas Dirga." Kataku sambil menyodorkan kemeja di depannya.

"Hah.? Apa Dek.?" Mata Mas Dirga kini terbuka lebar, dia juga reflek bangun dan duduk di sisi ranjang menghadap ke arahku.

"Ini bau parfum siapa Mas.? Mas nggak ganti parfum kan.?" Nada bicara ku sedikit mengintimidasi, aku yakin Mas Dirga melihat kecurigaan dari tatapan mata dan nada bicara ku.

"Oh itu, kemaren teman Mas ada yang nawarin parfum cewe. Katanya parfumnya tahan lama, jadi dia semprotin di kemeja Mas."

"Mas mau beliin buat kamu, tapi kemaren cuma sisa yang vanila aja. Nanti hari senin baru bawa aroma yang lain."

Penjelasan Mas Dirga yang panjang lebar itu sama sekali tak membuatku percaya. Entah kenapa aku yakin Mas Dirga bohong. Perasaan seorang istri tidak akan pernah salah, apalagi sudah bertahun-tahun aku hidup bersama Mas Dirga. Kami bahkan berpacaran selama 3 tahun sebelum menikah, jadi sudah 6 tahun aku mengenal Mas Dirga.

"Oh, aku pikir parfum cewe yang keganjenan nempel-nempel sama suami orang." Sahutku dengan candaan. Aku bahkan terkekeh, tentu untuk menutupi ketidak percayaan ku pada Mas Dirga.

"Ya udah, nanti beliin aku parfumnya ya Mas. Aku mau yang vanila aja kaya gini. Ternyata baunya enak juga, biar Mas nggak bosen cium parfum ku." Kataku sambil menghirup kemeja itu di depan Mas Dirga.

"Ii,,Iiya Dek, nanti Mas beliin yang Vanila." Mas Dirga tersenyum kikuk.

"Ya udah, Mas tidur lagi aja kalau masih ngantuk. Aku mau lanjut nyuci." Aku buru-buru keluar dari kamar. Sempat ku lihat Mas Dirga terdiam menatap kepergianku.

"Rupanya kamu mau bermain-main sama aku Mas." Aku tersenyum kecut, ku lempar kasar kemeja Mas Dirga ke dalam mesin cuci.

Kita lihat, perempuan mana yang sudah membuat Mas Dirga bersikap aneh dan sering pulang malam.

...*****...

Weekend kemarin aku pergi jalan-jalan dengan Mas Dirga dan makan di luar. Selama 2 hari itu aku bersikap seperti biasanya, atau mungkin lebih tepatnya pura-pura tidak mencium kejanggalan.

Aku hanya ingin melihat sejauh mana Mas Dirga bermain di belakangku. Dan lihat apakah nanti malam saat pulang kantor Mas Dirga benar-benar membawa parfum yang aku minta. Parfum dengan aroma vanila yang 3 hari lalu melekat di kemejanya.

Aku beranjak dari teras saat mobil Mas Dirga sudah menjauh. Baru dua kali melangkah, suara mas Agam membuatku menghentikan langkah dan menoleh padanya.

"Iya kenapa Mas.?" Tanyaku setelah Mas Agam memanggil namaku.

Pria itu sudah berpakaian rapi, sudah pasti dia juga akan berangkat ke kantor hari ini. Karna kalau tidak, pasti Mas Agam sudah duduk di teras rumah hanya dengan memakai celana pendek dan kaos santai.

"Mau kembaliin piring kamu." Mas Agam menyodorkan piring bekas nasi goreng beberapa hari yang lalu.

"Maaf cuma balikin piringnya aja. Nasi gorengnya nanti aku ganti pakai es boba kalau udah pulang kantor." Ucapnya dengan nada bicara dan ekspresi datar. Terkesan dingin, tapi sebenarnya Mas Agam cukup friendly.

"Nggak usah Mas, makasih." Tolak ku halus.

"Santai saja." Ucapnya.

"Kamu pecinta boba kan.? Di dekat kantor ada boba yang enak, lebih enak dari boba yang sering di bawa Dirga. Kamu harus cobain." Perkataan Mas Agam membuatku bengong. Bagaimana bisa dia tau aku pecinta boba, sampai hapal kalau Mas Dirga sering bawa pulang es boba untukku.

Aku jadi tersenyum kikuk, mau menolak lagi tapi tidak enak, takut Mas Agam tersinggung.

"Ya udah boleh. Tapi aku titip aja ya, nggak usah di beliin." Pintaku.

"Iya gampang. Aku berangkat dulu." Pamitnya yang bergegas ke carport rumah untuk masuk ke dalam mobilnya.

Suara klakson mobil membuatku sadar dari lamunan. Aku hanya tersenyum tipis pada Mas Agam yang menurunkan kaca jendela saat akan melajukan mobilnya.

Sering di tinggal istri ke luar kota, aku rasa Mas Agam suami paling sabar yang pernah aku temui. Hidupnya juga tampak lurus-lurus saja, tidak berusaha mencari kebahagiaan di luar meski istrinya sibuk dengan dunianya.

Seandainya aku ada di posisi Mas Agam yang selalu di tinggal ke luar kota oleh Mas Dirga, mungkin aku tidak bisa menjalani hidup sesantai Mas Agam.