Calista Izora, seorang mahasiswi, terjerumus ke dalam malam yang kelam saat dia diajak teman-temannya ke klub malam. Dalam keadaan mabuk, keputusan buruk membuatnya terbangun di hotel bersama Kenneth, seorang pria asing. Ketika kabar kehamilan Calista muncul, dunia mereka terbalik.
Orang tua Calista, terutama papa Artama, sangat marah dan kecewa, sedangkan Kenneth berusaha menunjukkan tanggung jawab. Di tengah ketegangan keluarga, Calista merasa hancur dan bersalah, namun dukungan keluarga Kenneth dan kakak-kakaknya memberi harapan baru.
Dengan rencana pernikahan yang mendesak dan tanggung jawab baru sebagai calon ibu, Calista berjuang untuk menghadapi masa depan yang tidak pasti.
Dalam perjalanan ini, Calista belajar bahwa setiap kesalahan bisa menjadi langkah menuju pertumbuhan dan harapan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rrnsnti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
keluarga Kenneth
Kenneth duduk di dalam mobilnya, menunggu di depan komplek perumahan tempat tinggal Calista. Sudah hampir tujuh menit berlalu, dan meskipun dia sabar, perasaannya tetap saja campur aduk. Hari ini adalah hari besar, dan mungkin bisa mengubah seluruh hidupnya. Kenneth tidak pernah membayangkan dirinya berada dalam situasi ini, harus berbicara kepada keluarganya tentang sesuatu yang sangat serius.
Tak lama, Calista akhirnya muncul. Dengan pakaian kasual dan wajah yang tampak sedikit tegang, ia berjalan cepat menghampiri mobil Kenneth. Dia mengetuk jendela mobil, dan Kenneth segera membukakan pintu.
"Sorry ya, lama," ucap Calista sambil melirik sekitar, memastikan tak ada yang melihatnya naik ke mobil Kenneth.
"Nggak apa-apa," jawab Kenneth sambil tersenyum. "Udah siap kan?" tanyanya lagi, ingin memastikan Calista baik-baik saja.
"Siap nggak siap harus siap," jawab Calista dengan nada yakin, meski matanya mengisyaratkan ketegangan. Kenneth tahu, Calista pasti sangat gugup.
Mereka segera melaju menuju rumah Kenneth. Namun, di tengah perjalanan, Calista tiba-tiba meminta Kenneth untuk berhenti di sebuah toko kue. "Nggak enak rasanya kalau kita ke rumah keluarga lo tanpa bawa apa-apa," ucap Calista.
Awalnya Kenneth melarang, mengatakan bahwa keluarganya pasti akan mengerti tanpa perlu ada oleh-oleh. Tetapi Calista bersikeras, dan Kenneth akhirnya mengalah. Setelah membeli sekotak kue, mereka kembali melanjutkan perjalanan.
Tak ada yang bisa menghentikan rasa takut yang menyelimuti hati Calista. Jantungnya berdebar keras. "Ken, gue beneran takut," ucap Calista pelan, berharap Kenneth bisa menenangkan perasaannya.
Kenneth hanya tertawa kecil. "Nggak usah takut, semua akan baik-baik aja. Percaya sama gue."
"Bisa-bisanya lo masih ketawa-ketiwi," balas Calista sedikit kesal. "Gue dari semalam nggak bisa tidur, tau!" Namun Kenneth tetap tersenyum santai, membuat Calista merasa sedikit lega meskipun ketegangannya masih ada.
Tak lama, mereka sampai di rumah Kenneth. Mobil berhenti di depan rumah besar yang terlihat megah dan hangat. Kenneth menggandeng tangan Calista saat mereka berjalan menuju pintu masuk. Calista membawa sekotak kue yang baru saja dibelinya. Pintu terbuka, dan Calista bisa merasakan hawa gugup mulai menyelimuti dirinya.
"Ayo," ajak Kenneth lembut sambil menarik tangan Calista dengan hati-hati. Mereka melangkah masuk ke dalam rumah. Calista melihat sekeliling, rumah itu luas dan elegan, memberikan kesan bahwa keluarga Kenneth adalah orang yang cukup terpandang.
"Mama, Papa," panggil Kenneth dengan suara lantang, berharap menemukan orang tuanya dengan cepat.
Suara dari ruang tamu terdengar, "Apa, sayang? Eh, kamu bawa siapa?" Suara lembut itu datang dari seorang wanita yang kemudian muncul dari balik pintu. Wanita itu, yang pastinya adalah Mama Kenneth, tampak terkejut melihat Kenneth membawa seorang perempuan pulang.
"Ini Calista, Ma. Aku nanti jelasin semuanya. Papa sama Kak Kania mana?" tanya Kenneth sambil celingukan mencari keberadaan ayah dan kakaknya.
Calista mencoba tenang. Ia mendekati Mama Kenneth dan mengulurkan tangan. "Halo Tante, saya Calista," sapanya dengan suara pelan.
Mama Kenneth, yang dikenali Calista sebagai wanita anggun dengan senyum ramah, menyambutnya dengan hangat. "Oh, halo, Calista. Silakan duduk dulu ya," katanya sambil mengajak Calista duduk di ruang tamu. Calista merasa sedikit lebih tenang setelah melihat betapa baik dan ramahnya Mama Kenneth.
Tak lama, Kenneth datang bersama ayahnya, Papa Damar. "Papa, ini Calista. Nanti aku juga jelasin semuanya," kata Kenneth. Papa Damar, yang tampak lebih serius dibandingkan Mama Jessy, menjabat tangan Calista dengan sopan. Calista, meskipun gugup, berusaha tetap tenang dan tersenyum.
Namun, suasana sedikit berubah ketika terdengar suara langkah kaki dari tangga. Seorang wanita muda dengan wajah tegas dan dingin berjalan turun. Calista langsung bisa menebak bahwa ini adalah kakak Kenneth, Kania. Wajah Kania mirip sekali dengan Kenneth, hanya saja ekspresinya lebih galak dan serius.
"Wih, berani lo bawa cewek ke rumah? Tumben banget," ujar Kania dengan nada menggoda. Calista merasa gugup, apalagi wajah Kania benar-benar membuatnya merasa terintimidasi.
"Udah duduk aja dulu, Kak. Ada hal penting yang harus gue omongin," sahut Kenneth cepat, mencoba meredakan ketegangan. Kania akhirnya duduk di samping Calista.
Calista berusaha tersenyum meski hatinya masih berdegup kencang. Kania, yang ternyata tidak sejutek kelihatannya, tiba-tiba tersenyum lebar. "Hai, aku Kania, kakaknya Kenneth," katanya sambil mengulurkan tangan.
Calista membalas uluran tangan itu dengan tangan yang gemetar. "Aku Calista," jawabnya dengan suara pelan.
Kania tertawa kecil. "Kamu kenapa? Kok gemeteran?" tanyanya, terlihat bingung.
"Muka lo galak, Kak, jadi si Calista takut," ledek Kenneth sambil terkekeh. Kania hanya menggeleng dan memukul punggung Kenneth pelan, membuat adiknya meringis kesakitan.
"Udah, seriusan sekarang," kata Kenneth tiba-tiba, mengubah suasana menjadi lebih tegang. Semua perhatian kini tertuju padanya. Kenneth menghela napas panjang sebelum mulai berbicara.
"Mama, Papa, Kak Kania... ada hal yang sangat penting yang mau aku omongin. Aku minta maaf kalau ini mendadak, tapi aku harus jujur," Kenneth berhenti sejenak, mencoba mengumpulkan keberanian.
"Aku... aku sudah menghamili Calista," katanya akhirnya. Suara Kenneth terdengar tegas, meski dalam hati ia merasa sangat bersalah dan cemas akan reaksi keluarganya.
Ruang tamu mendadak sunyi. Mama Jessy menutup mulutnya dengan tangan, terlihat sangat terkejut. Papa Damar mengernyitkan dahi, seolah mencoba memproses informasi itu dengan hati-hati. Sedangkan Kania, yang biasanya suka bercanda, kini terdiam dengan tatapan serius.
"Kenapa bisa begitu, Nak?" tanya Papa Damar akhirnya, suaranya tenang namun tegas. Matanya memandang lurus ke arah Kenneth.
Kenneth menundukkan kepalanya. "Ini semua kesalahan kami, Pa. Aku bertanggung jawab. Makanya aku bawa Calista ke sini, untuk minta restu kalian supaya kami bisa menikah. Aku akan memastikan semuanya berjalan baik."
Calista menunduk dalam-dalam. Rasa malu, bersalah, dan takut menyatu dalam dirinya. Ia tahu ini bukan situasi yang ideal, dan ia berharap bisa melakukan sesuatu untuk memperbaikinya.
Setelah hening beberapa saat, Mama Jessy akhirnya berbicara. "Nak, kami tentu saja terkejut dengan ini semua. Tapi yang terpenting sekarang adalah bagaimana kita bisa memperbaiki keadaan. Kamu harus bertanggung jawab, Kenneth. Kamu sudah dewasa, dan keputusan ini tidak bisa diambil main-main."
Kenneth mengangguk pelan, merasa lega mendengar bahwa ibunya tetap berpikir positif meski kecewa. "Aku paham, Ma. Aku siap untuk semua tanggung jawab ini."
Papa Damar akhirnya mengangguk. "Kita harus bicarakan ini dengan keluarga Calista juga, Kenneth. Ini bukan hanya soal kamu dan Calista, tapi juga soal kedua keluarga. Kalau kamu siap, kami akan mendukung kamu."
Kenneth merasa hatinya sedikit lebih lega. Keluarganya, meski terkejut, bersedia mendukungnya dalam situasi sulit ini.
Kania yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. "Calista, kamu tenang aja. Kita keluarga, jadi kita akan hadapi ini sama-sama," katanya sambil tersenyum kecil ke arah Calista.
Mendengar itu, Calista merasa hatinya sedikit lebih tenang. Setidaknya, ia tahu bahwa ia tidak sendirian dalam menghadapi semua ini.