Cantik, cerdas dan mandiri. Itulah gambaran seorang Amara, gadis yang telah menjadi yatim piatu sejak kecil. Amara yang seorang perawat harus dihadapkan pada seorang pria tempramental dan gangguan kejiwaan akibat kecelakaan yang menimpanya.
Sanggupkah Amara menghadapi pria itu? Bagaimanakah cara Amara merawatnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SHIRLI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pemandangan mencengangkan
Hari demi hari pun berganti. Dengan sikap buruknya itu, Amara banyak di tinggalkan teman-temannya. Mereka menjauhi Amara dan berpindah mengasihani Miranda yang terpuruk karena penindasan yang Amara lakukan.
Hanya Juanlah satu-satunya teman yang sama sekali tak membenci Amara, meski gadis itu selalu bersikap buruk dan mengabaikannya.
Namun bukan tanpa alasan Juan tak membenci Amara, ia pernah memergoki gadis angkuh itu tengah menangis tersedu di toilet sekolah yang sedang sepi.
Juan yang saat itu sedang berada tak jauh dari toilet pun dibuat penasaran oleh suara sesenggukan seorang gadis. Ia bergegas menghampiri dan terkejut saat mendapati Amaralah yang tengah bersimpuh di lantai dengan pipi berurai air mata.
"Mara? Kamu kenapa?"
Terkejut dengan kehadiran Juan yang tiba-tiba, Amara segera menghentikan tangis dan mengusap pipinya kasar. Ia bergegas bangkit dan membasuh wajahnya di washtafel.
Juan yang berdiri di ambang pintu bergerak mendekat. Berdiri di belakang Amara, iapun memiringkan kepala dan menatap gadis itu melalui pantulan cermin dengan kening yang berkerut. "Kamu nangis?" tanyanya penasaran.
"Enggak. Aku cuma kelilipan." Amara menjawab pendek tanpa menoleh.
"Oh, ya?" Juan tersenyum getir menyangsikan pengakuan Amara yang tidak masuk akal.
"Akukan setegar karang, untuk apa aku menangis!" tutur Amara ketus sambil menutup kran air. Tanpa mengusap wajahnya, ia berlalu pergi begitu saja melewati Juan yang mengamatinya bingung.
"Mara tunggu!" Juan menahan gadis itu dengan menarik tangannya.
Amara memejamkan mata sambil menggemertakkan giginya. "Apa lagi si, Juan!" tanyanya dengan kesal sambil menarik tangan. Ia bahkan enggan menoleh ataupun menatap wajah Juan sedikitpun.
"Aku pengen belajar bareng lagi sama kamu."
"Apa? Belajar bareng?" Amara mengulang ucapan Juan, lantas tersenyum remeh selagi menatap pemuda tampan itu. "Sorry ya Juan, aku tuh sibuk banget. Jadi nggak ada waktu buat belajar yang nggak penting bareng kamu kayak dulu."
Juan meraih lengan Amara dan mengguncangnya seolah tengah menyadarkan. "Sadar, Mar! Nilai kamu semuanya anjlok karena kamu nggak pernah belajar!" paparnya dengan wajah penuh kekhawatiran.
"Ih, apa sih!" bentak Amara sambil menepis tangan Juan bersikap seolah-olah ia jijik.
Lagi-lagi Juan hanya bisa geleng kepala melihat perubahan ekstrim sahabatnya itu.
"Biarin aja nilaiku anjlok! Bukankah itu nguntungin buat kamu!"
"Sama sekali enggak!" sahut Juan cepat.
"Bohong! Kamu seneng karena sekarang udah nggak ada lagi saingan, kan!"
"Itu nggak bener, Mar! Aku nggak mungkin seneng-seneng di atas kesusahan kamu! Mar," panggil Juan sambil meraih tangan Amara lalu meremas lembut jemarinya. "Kita ini sahabat. Sahabat itu saling peduli."
"Apa pedulimu!" sahut Amara ketus sambil mencondongkan wajahnya dan berkacak pinggang seperti menantang. Gadis yang mengikat rambutnya ekor kuda itu lantas tersenyum remeh dan menarik diri, lantas menatap Juan angkuh sembari bersedekap dada.
"Ini bukan dirimu yang sebenarnya, Mar," lirih Juan penuh keyakinan. Ia bisa menilai jika sikap angkuh Amara ini sengaja dibuat-buat. Ia yakin ini bukanlah sifat asli Amara. Sebab pada dasarnya sifat manusia itu tak mungkin berubah drastis dalam waktu sekejap.
"Lalu kamu pikir aku ini apa? Kerasukan setan?" Amara terkekeh setelahnya. "Biarkan saja aku berubah! Toh aku tidak merugikanmu juga!"
Bukannya marah atau kesal, Juan justru terlihat miris menatap sahabatnya. "Mar, kalau kamu ada masalah, kita pecahin sama-sama, ya. Jangan kamu pendam sendiri. Aku siap dengerin semua curhatan kamu. Kalau perlu aku akan bantu." Juan berucap dengan suara yang melemah dengan mata menatap iba pada Amara.
Bukannya tersentuh, Amara justru tergelak kencang mendengar perkataan Juan. "Juan, Juan. Apa kamu pikir masalah itu celengan yang bisa kita pecahin gitu aja!"
"Mar, aku ngomong serius!"
"Terserah!" Pungkas Amara ketus lalu pergi meninggalkan Juan yang masih terpaku menatapnya tak percaya.
***
Tok tok tok!
Juan yang sudah berdiri di depan pintu rumah Miranda pun segera mengetuknya. Tak begitu lama, pintu itu pun terbuka dari dalam lalu muncul pria mendekati paruh baya dari sana.
"Selamat sore, Om Hanan," sapa Juan sambil tersenyum ramah.
"Juan, mau belajar bareng?" tanya Hanan ramah setelah melihat tas ransel yang digendong di punggung Juan. Seulas senyum penuh kekaguman pun tersungging di bibir ayah Miranda itu. "Sudah lama ya, kalian tidak belajar bareng."
"Iya om, saya agak sibuk belakangan ini."
"Wah, kamu hebat, ya. Om bangga dengan prestasi kamu selama ini."
"Ah, biasa aja, Om. Nilai saya masih di bawah rata-rata kok," sangkal Juan sambil tersenyum merendah diri. "Om, Amara mana, ya?" Tanyamya sambil celingukan seolah-olah sedang mencari seseorang.
"Langsung saja ke belakang. Mereka sedang belajar bersama sekarang,"
dengan nada sopan lalu melangkah tanpa canggung menuju taman belakang.
"Terima kasih, Om," ucap Juan begitu antusias, kemudian berjalan menuju area belakang rumah.
Dari kejauhan, Juan bisa melihat kedua saudara sepupu itu tengah bersama. Entah mengapa ia mengurungkan niatnya untuk segera melangkahkan kaki melewati pintu belakang itu, dan menunda niatnya untuk menemui Amara. Ia justru memilih mengintai dari balik jendela kaca agar bisa melihat wajah Amara tanpa diketahui si empunya.
Awalnya Juan masih tampak tersenyum melihat keduanya saudara sepupu itu tengah belajar seperti lazimnya orang yang belajar bersama pada umumnya.
"Nih, kerjain PR ku sampai selesai!" Miranda melemparkan buku catatannya ke wajah Amara dengan kasar. "Awas ya, kalau sampai ada yang salah!" Ancamnya penuh peringatan.
"Tapi Mira, kalau setiap hari aku yang mengerjakan PR-mu terus, kau akan kesulitan saat menghadapi ujian nanti."
"Kalau begitu, ajari saja aku sampai bisa!"
"Aku mau mengajarimu, tapi kau jangan malas, ya."
"Beraninya kau mengataiku malas! Cepat kerjakan!" sentak Miranda dengan nada memerintah.
Juan yang berada di tempat yang tersembunyi tampak tercengang menyaksikan kejadian itu. Bagaimana bisa keadaannya berbanding terbalik dengan yang terjadi di sekolah, di mana Amaralah yang angkuh dan menindas Miranda. Tapi yang terjadi hari ini? Jadi ini tabiat mereka yang sebenarnya?
Juan kembali mengamati Amara yang tengah fokus pada buku PR Miranda. Gadis itu dengan teliti mengerjakan setiap soal yang tertulis di buku itu.
Sementara Miranda terlihat santai dan hanya mengawasi Amara melalui pandangan. "Yang mirip dong tulisannya! Sengaja dimiripin sama punyamu sendiri, ya?
Mengangkat pandangannya, Amara lantas menggeleng cepat. "Tidak ...."
"Bohong! Sengaja, kan! Biar Guru tau kalau yang kerjain tugas aku itu kamu!"
"Bukan gitu Mira--"
Miranda menarik paksa bukunya dari tangan Amara. Lalu diamatinya tulisan itu dengan seksama.
"Tuh kan, bener! serunya tidak suka. "Aku nggak mau tau. Benerin tulisan kamu sekarang! Awas ya! Kalau sampai ketahuan oleh Guru, kamu yang bakalan aku hukum!" Lagi-lagi Miranda mengancam Amara dengan kasar, lalu melemparkan buku itu ke wajah Amara.
Dari tempatnya berdiri, Juan bisa melihat dengan jelas Mata Amara yang berkaca-kaca.
"Kenapa diam! Mau nangis lagi! Dasar cengeng. Cepet kerjain!" Miranda mendengus lalu menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa. Lantas kembali bersantai sembari memainkan ponselnya.
Amara yang tertunduk tampak mengusap pipinya. Tubuhnya yang duduk bersimpuh di lantai bergerak merangkak mengambil pena yang sempat terjatuh tadi. Diraihnya pula buku yang tergeletak di sampingnya. Sudah bersiap akan menulis lagi.
"Aku haus, ambilkan minum." Bahkan untuk mengambil minuman yang sudah tersaji di meja saja tangan Miranda enggan untuk bergerak.
Bersambung
kasih bonus dong 😘😘😘
😨😨