Seorang pemuda yatim piatu dan miskin yang tidak memiliki teman sama sekali, ingin merubah hidupnya. Buku warisan nenek nya menjawab tekadnya, 7 mentor atau guru yang berasal dari dunia lain yang jiwanya berada di dalam buku mengajari nya macam macam sampai dia menjadi orang yang serba bisa.
Kedatangan seorang gadis bar bar di hidupnya membuat dia mengetahui apa yang sebenarnya terjadi kepada keluarganya dan membuat dirinya menjadi yatim-piatu. Ternyata, semuanya ulah sebuah sekte atau sindikat yang berniat menguasai dunia dari balik layar dan bukan berasal dari dunia nya.
Akhirnya dengan kemampuan baru nya, dia bertekad membalas dendam pada musuh yang menghancurkan keluarganya dan menorehkan luka di keningnya bersama gadis bar bar yang keluarganya juga menjadi korban sindikat itu dan tentu juga bersama ke tujuh gurunya yang mendampingi dirinya.
Genre : Fantasi, fiksi, action, drama, komedi, supranatural.
mohon tinggalkan jejak ya, beri like atau komen agar author semangat upload.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mobs Jinsei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 20
“Klek,” Evan membuka pintu rumahnya, matanya langsung melihat bagian dalam rumah yang sudah menampungnya sejak dia berusia dua belas tahun dan hidup bersama nenek nya selama tiga tahun. Bella melihat Evan yang tertegun di depannya, dia menatap wajah Evan.
“Kenapa ?” tanya Bella.
“Enggak, yuk masuk,” jawab Evan yang tersentak.
Evan membawa barang barang masuk ke dalam, kemudian dia berjalan masuk ke dalam kamarnya dan langsung berbaring menatap langit langit. Bella mengunci pintu depan kemudian menyusul Evan masuk ke kamar, dia berbaring di sebelah Evan.
“Aku tidur dulu bentar ya, cape,” ujar Bella.
“Iya, aku juga,” balas Evan singkat.
Pikiran Evan mulai melayang kemana mana, dia menoleh melihat sekeliling kamarnya, kemudian dia menoleh melihat Bella yang terpejam dan memeluk lengannya di sebelahnya.
“Gue harus jual rumah ini ya, duh balik lagi ke kota itu,” ujar Evan dalam hati.
Kenangan masa kecil nya ketika dia tinggal di ibukota, di rumah orang tua nya ketika menyaksikan kematian ibu nya dan hidup setelahnya, mulai terbayang di benaknya.
******
Delapan tahun lalu, di sebuah rumah tua gaya jaman penjajahan yang berada di komplek perumahan di ibukota,
“Mama,”
Seorang anak laki laki berusia 7 tahun membuka pintu rumahnya, di punggungnya masih tergantung di sekolahnya, tangannya membawa selembar kertas berisi gambar yang dia buat di sekolah dengan nilai 90 tertera di atas gambarnya, karena sudah tidak sabar ingin menunjukkan karya nya pada ibunya, dia membuka sepatu dengan cepat, dia berlari masuk keruang tengah dengan wajah yang sangat ceria.
“Mama lihat....mama ?”
“Pluk,” kertas gambar yang di pegangnya terjatuh, sang anak berdiri mematung, keceriaan di wajahnya menghilang seketika, di depannya dia melihat seutas tali tergantung di langit langit dan ibunya tergantung di sana menghadap ke dinding, perasaan nya mengatakan kalau dia tidak akan bersama ibunya lagi, dengan langkah gemetar, dia mulai melangkah menghampiri ibu nya,
“Mama ?”
Sang anak berjalan perlahan mendekati tubuh ibunya yang tergantung di depannya, tangannya yang kecil meraih rok sang ibu dan menggoyangkan nya,
“Mama....mama....mama kenapa ?”
Sang anak bertanya pada ibunya, namun yang di dapatnya bukan jawaban sang ibu melainkan keheningan, tangannya terus menggoyangkan rok sang ibu berharap ibunya berbalik dan memeluknya, air matanya mulai bercucuran namun wajahnya tetap penuh harapan, dia tetap yakin sang ibu akan menjawab panggilan nya.
“Mama...Evan gambar bagus di sekolah, Evan gambar mama dan Evan, lihat ma, Evan dapat angka 90, kata bu guru gambar Evan bagus, jawab ma....mama....mama...hik...hik,” ujar sang anak yang sudah menangis.
Lengan kecilnya naik mengusap air matanya, dia sudah tidak bisa lagi membendungnya dan sekarang kedua tangan kecilnya memegang rok sang ibu kemudian memegang kakinya,
“Mama....mama....jangan tinggalkan Evan ma, mama....Evan janji akan jadi anak baik dan nurut sama mama...pulang ma....jangan tinggalkan Evan,” ujar Evan sambil terisak tersedu sedu.
Evan menangis kencang dan tangisan nya yang histeris membuat tetangga berdatangan untuk melihat keadaan nya. Seorang ibu tetangga yang masuk terlebih dahulu, langsung menarik Evan yang menangis dan memeluk nya dengan erat, membiarkan Evan menangis di dada nya.
Beberapa warga laki laki dan sekuriti menurunkan jasad ibu Evan kemudian membaringkan nya di lantai, sebuah kain di ambil untuk menutupi wajah nya. Evan yang di dekap ibu tetangga, hanya bisa melihat ibunya terbujur kaku dengan wajah di tutup kain.
Ketika ambulans datang dan berniat membawa ibunya, Evan kembali histeris berusaha mencegah para petugas medis menaikkan jasad sang ibu ke dalam ambulans. Beberapa orang ibu berusaha untuk menenangkan Evan yang terlanjur histeris.
Evan hanya bisa berteriak melihat jasad ibunya di naikkan ke dalam ambulans dan kemudian pergi meninggalkan nya. Setelah itu, Evan tinggal sendiri di bantu oleh ibu ibu tetangga yang kadang datang membantunya membersihkan rumah dan membawakan dirinya makanan.
Lima tahun Evan hidup sendirian dan hanya mengandalkan bantuan tetangga karena dia tidak mau pergi dari rumah nya dan merasa mama nya masih ada di rumah nya, sampai usianya sudah 12 tahun, suatu hari dia bangun terduduk di ranjangnya dengan nafas terengah dan tubuh penuh keringat,
“Mama.....Evan kangen mama,” ujar Evan dalam hati dengan air mata menetes di sisi mata nya.
Tangannya terjulur ke meja di sebelah ranjangnya, dia mengambil kacamata tebalnya dan menoleh melihat jam, waktu sudah menunjukkan jam 4 pagi. Evan menurunkan kakinya dari ranjang dan duduk di sisi ranjang dengan kepala tertunduk.
Dia berdiri kemudian berjalan keluar dari kamarnya, rumahnya gelap dan sudah hancur sebagian, dia masih tinggal di tempat ibunya sendirian, dia mengambil keranjang bambu dan sebuah tongkat penjepit untuk mengambil sampah, kemudian dia keluar dari rumahnya.
Evan mulai menyisir jalan, melihat tong sampah warga dan mengambil barang barang yang kira kira bisa di jual ke penadah barang bekas atau pendaur ulang. Setiap menemukan tong sampah, dia pasti membukanya dan melihat dalamnya menggunakan tongkat nya.
Biasanya dia mengambil botol plastik, gelas plastik dan bungkus kopi instan atau teh. Dengan santai dan riang dia melangkah dari satu tong sampah ke tong sampah lainnya. Sekitar satu setengah jam berikutnya, dia berjalan ke penadah yang tidak jauh dari rumahnya untuk di tukarkan dengan uang.
Selesai dari tempat penadah dan sudah membawa uang, Evan langsung mandi dan mengenakan seragam sd nya, dia membawa tasnya dan berangkat ke sekolah. Ketika di jalan, semua siswa lain menghindarinya, alasannya karena seragam nya sangat lusuh dan sepatunya sudah menganga.
Evan menunduk dan terus berjalan tanpa memperdulikan siapapun yang dia lewati. Tapi tiba tiba, “buaak,” Evan jatuh tersungkur, isi tas nya berhamburan keluar dan kacamata nya terlepas.
“Haha mampus gembel,” ujar seorang siswa bertubuh gempal sambil tertawa.
Tidak ada satu orang pun yang menolong Evan, malah banyak yang menertawakan dirinya karena Evan terlihat kebingungan mencari kacamata nya yang terlepas, “krak,” seorang siswa lainnya yang suka membulinya menginjak kacamata nya sampai pecah.
“Wah sori ya, beli baru aja lagi...oh ga bisa ya, gembel sih hahaha,” ledek nya.
Kemudian siswa itu di rangkul siswa bertubuh gempal yang mendorongnya sampai jatuh masuk ke dalam gedung sekolah meninggalkan Evan yang memegang kacamata nya yang sudah pecah. Dia hanya merenung melihat kacamata nya karena kacamata itu satu satunya peninggalan ayah nya.
Dia menarik nafasnya dan tetap memakai kacamata yang sudah pecah sebelah, kemudian dia mulai membereskan buku buku yang berceceran di jalan dan memasukkannya kembali ke tas. Begitu sampai di depan kelas, “buk,” tiba tiba sebuah buku tebal melayang mengenai wajah Evan sampai Evan jatuh, seluruh teman sekelas langsung tertawa kencang menertawakan dirinya, yang melemparnya adalah siswa bertubuh gempal yang sebelumnya mendorong dirinya.
“Hahaha mampus gembel,” ujar sang siswa.
Evan berdiri sambil memegang hidung nya yang berdarah, dia masuk ke dalam kelas, tapi tiba tiba, “byuur,” seorang siswi menyiram dirinya menggunakan air minum nya,
“Mandi dulu, lo bau hahaha,” ujar sang siswi tertawa.
Evan tetap diam dan seorang siswa lagi mengambil tasnya kemudian melempar lempar nya ke teman teman yang lain, barang barang di dalam tas Evan berhamburan dan Evan berusaha merebut kembali tas usang pemberian ibunya.
“Jangan dong, tas itu satu satu nya punya ku,” ujar Evan memohon.
“Bodo amat, gembel,” ujar seorang siswa kurus berjerawat melemparkan tas nya.
Tiba tiba buku pelajaran tebal milik nya keluar dari tas dan jatuh tepat di kepala seorang siswi, langsung saja siswi itu berteriak mencari perhatian,
“Aduuuh...sakit tau,” ujar siswi cantik itu.
Langsung saja, siswa bertubuh gempal dan siswa laki laki lain menghampiri Evan, siswa bertubuh gempal langsung mendorong Evan.
“Lo macem macem ama si Dina ya,” ujar siswa itu.
“Kan kamu yang melempar tas ku, Ferdi,” teriak Evan.
“Hajar dia, mampusin aja sekalian,” teriak Ferdi.
“Buaak,” Ferdi yang pertama melayangkan pukulan ke perut Evan, “ohok,” mata Evan sampai membulat seakan akan mau keluar dan air keluar dari mulutnya, Evan menunduk memegang perutnya, tapi “duaak,” seseorang menendang punggungnya dari belakang, Evan tersungkur ke depan dan langsung Ferdi menghantam perut Evan sekali lagi.
“Blugh,” Evan terjatuh, siswa laki laki di belakangnya langsung menendangi dan menginjak dirinya sampai dirinya meringkuk tidak berdaya,
“Woi udah,” teriak seorang siswi.
Semuanya langsung menoleh, mereka melihat seorang siswi yang nampak sangat berani berdiri di depan pintu, Evan melirik siswi itu, dia mengenal siswi itu karena hanya siswi itu satu satunya yang mengajak dirinya berbicara dan menegurnya. Ferdi berbalik menghampiri sang siswi dan langsung menjambak rambutnya,
“Lepas ga...lepas,” teriak sang siswi satu satu nya teman Evan sambil memukuli Ferdi.
“Haha ga mempan, lo juga sama aja,” teriak Ferdi.
“Lepasin dia,”
Evan mengerahkan kekuatannya dan langsung menabrak Ferdi dari belakang sampai Ferdi kesakitan dan tangannya menyambar kursi, “duaaak,” kursi melayang menghantam kepala Evan sampai Evan diam tidak bergerak lagi dalam posisi terlungkup di lantai, sang siswi langsung jongkok dan menolong Evan. Kemudian dia menoleh melihat Ferdi,
“Gila lo ya, dia jadi luka parah gara gara lo,” teriak sang siswi.
“Enak aja lo, bukan salah gue, dah lah, udah ga seru,” ujar Ferdi yang berbalik kemudian pergi begitu saja seakan akan tidak ada apa apa.
Sang siswi menatap teman sekelasnya, tidak ada satu pun yang menolong Evan, semuanya terlihat pura pura tidak tahu dan tidak melihat apa yang terjadi, termasuk Dina yang kepalanya terkena buku.