Mirna gadis miskin yang dibesarkan oleh kakeknya. Dia mempunyai seorang sahabat bernama Sarah.
Kehidupan Sarah yang berbanding terbalik dengan Mirna, kadang membuat Mirna merasa iri.
Puncaknya saat anak kepala desa hendak melamar Sarah. Rasa cemburunya tidak bisa disembunyikan lagi.
Sang kakek yang mengetahui, memberi saran untuk merebut hati anak kepala desa dengan menggunakan ilmu warisan keluarganya.
Bagaimana kelanjutan ceritanya? Yuk baca kisahnya, wajib sampai end.
29/01'25
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deanpanca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 8 Kejanggalan
"Apa benar Kakek Sapto meninggal?" Terdengar tanya dari luar gubuk. Suaranya cukup keras, menarik atensi warga dan juragan Bandi.
"Siapa itu, Tejo?" Tanya Juragan Bandi.
Pak Tejo hanya terdiam, dia tahu siapa pemilik suara yang terdengar asing bagi orang yang tidak melihatnya langsung.
"Mirna! Mirna!" Semua orang yang berada di dalam gubuk Kakek Sapto menoleh ke sumber suara. Seorang pemuda dengan rambut yang acak-acakan masuk.
"Purnomo!" Gumam beberapa orang.
"Dimana Mirna, Pak?" Tanya Purnomo kepada Pak Tejo. Suaranya membuat orang orang disana melangkah mundur.
Tidak ada jawaban yang terdengar. Hening hanya deru nafas Purnomo yang menjadi alunan, memacu jantung semua orang disana. Dia tampak seperti serigala lapar, mencari mangsa.
"Dimana Mirna?" Suara Purnomo semakin berat dan membuat bulu kuduk bergidik.
"Mirna ada di dapur, Purnomo." Setelah mendengar jawaban dari Pak Tejo, lelaki itu melangkah ke dapur. Tidak peduli dengan tatapan orang lain.
"Tejo! Kenapa jadi seperti itu? Aku belum lama pulang dari rumah mu, kenapa dia sudah seperti iblis saja?" Tanya Juragan Bandi.
"Itu karena setelah juragan pulang, Salman datang dan sengaja membaca ayat-ayat Al Qur'an. Purnomo jadi kayak orang kesurupan." Ucap Pak Tejo.
Semuanya kembali terdiam, sesekali mereka melihat ke arah dapur yang hanya menggunakan damar sebagai penerangan. Hari sudah beranjak sore, dan tempat tinggal kakek sapto di hutan dengan pohon pohon tinggi menjulang menutup pencahayaan alam.
"Bagaimana dengan jenasah Kakek Sapto? Apa akan dimakamkan sekarang atau besok? Ucap salah satu warga.
Membuat fokus juragan Bandi dan Pak kades yang teralihkan, kembali.
"Jenasahnya akan diurus oleh pekerja ku. Malam ini juga akan dimakamkan." Ucap Juragan Bandi.
"Kamu yakin Bandi?" Tanya Pak Tejo. Dia heran, kenapa Juragan terpandang sepertinya mau repot-repot mengurus jenasah orang yang sering membuat geger warga sekampung?
Tanya yang sama juga ada dipikiran warga lainnya. Tapi mereka tidak mau ambil pusing, toh mereka juga enggan mengurus jenasah Kakek Sapto.
Orang yang disinyalir menganut ilmu hitam, bahkan sering membaca mantra agar warga disana merasakan penderitaan yang dia rasakan.
Pernah sekali kakek Sapto mengambil ubi di kebun warga, dia kedapatan oleh pemiliknya. Sang pemilik hanya mengatakan untuk jangan mencuri, lebih baik meminta langsung.
Tapi kakek Sapto tidak terima. Dia membaca sebuah mantra di hadapan Bapak pemilik kebun, dan malamnya orang itu mati mengenaskan.
"Tejo! Ikutlah bersamaku, ada hal yang ingin ku katakan. Biar yang disini menjadi urusan orang-orang ku." Juragan Bandi memilih keluar dari gubuk itu yang dipastikan saat mayat Kakek Sapto dibawa keluar, gubuk ini juga akan roboh.
"Keluarkan Purnomo dari sini, warga yang lain juga sebaiknya keluar terlebih dahulu. Sebelum mayat Kakek Sapto keluar." Setelah mengatakan itu juragan Bandi melanjutkan langkahnya. Disusul beberapa warga yang memang ikut masuk ke dalam gubuk tadi.
"Parmin! Bawa Purnomo keluar, cepat." Kata Pak Tejo.
"Baik, Pak Kades!"
Parmin bersama beberapa orang masuk ke dapur. Dia melihat Purnomo sedang memeluk seseorang, yang dia tebak itu adalah Mirna.
"Jang! Kita harus segera pergi dari sini. Jenasah Kakek Sapto akan segera dimakamkan." Ucap Parmin.
"Aku mau menemani, Mirna. Pergi kalian!"
"Jang! Mirna akan ikut serta. Kita harus mengamankan Mirna dulu dari amukan warga."
"Kenapa mereka harus mengamuk pada Mirna? Apa kesalahan Mirna?" Tanya Purnomo. Dia membalikkan badannya menghadap Parmin, sedangkan Mirna disembunyikan dibelakang punggungnya.
Parmin tampak ragu menyampaikan kenyataan, kalau warga sudah mencurigai Mirna melakukan pelet terhadap Purnomo.
"Warga sepertinya salah paham pada Mirna. Ayo cepat Jang kita pergi." Ajak Parmin kepada anak Pak kades itu.
Setelah melewati drama yang panjang, akhirnya Purnomo mau ikut dengan Parmin. Dia membawa pemuda itu keluar terlebih dahulu, setelahnya kembali untuk menjemput Mirna.
Parmin meminta orang orang juragan Bandi yang akan membawa jenasah Kakek Sapto menunggu sebentar. Dia akan mengeluarkan Mirna dari gubuk ini. Saat masuk ke dapur, ternyata Mirna sudah tidak ada disana.
Dapur itu tidak lah luas, tapi dia tidak menemukan gadis itu disana. Parmin memutuskan untuk segera keluar, karena hari sudah menjelang magrib. Jenasah Kakek Sapto juga harus segera diurus.
"Loh, Mang! Katanya mau jemput Mirna, mana orangnya?" Tanya salah seorang pekerja juragan Bandi.
"Gak tau kemana? sudah dicari cari tapi tidak ketemu." Ujar Parmin.
*** ***
Singkatnya proses pemakaman Kakek Sapto yang berjalan alot, telah selesai. Banyak hal janggal yang terjadi, dari liang lahat yang sulit digali karena batu yang cukup besar. Setelahnya liang lahat bisa digali tapi berisi lumpur yang busuk.
Sampai yang terakhir liang lahat digali, setiap mayat Kakek Sapto dimasukkan selalu tidak cukup. Liangnya menjadi pendek, karena proses yang sangat lama akhirnya juragan Bandi mematahkan kaki kakek Sapto yang sangat keras seperti batang kayu agar muat di lubang itu.
"Bandi! Aku masih tidak percaya dengan yang kau katakan tadi. Lantas bagaimana dengan anakku? Apa tidak ada cara lain untuk menolongnya? Apa aku harus tetap menikahkan dia dengan Mirna?" Pak Tejo sedang dalam dilema.
"Aku akan mencoba untuk membujuk Mirna terlebih dahulu. Semoga saja dia mau melepas pelet yang dia lakukan pada Purnomo." Ucap Juragan Bandi.
"Semoga saja. Aku sudah meminta Parmin mengamankan Mirna, mungkin besok kita bisa menemuinya." Kata Pak Tejo.
"Yah, besok kita akan menemuinya. Malam sudah larut, aku harus pulang." Ucap Juragan Bandi.