Sofia Amara, wanita dewasa berusia 48 tahun yang hanya dipandang sebelah mata oleh suami dan anak-anaknya hanya karena dirinya seorang ibu rumah tangga.
Tepat di hari pernikahan dirinya dan Robin sang suami yang ke-22 tahun. Sofia menemukan fakta jika sang suami telah mendua selama puluhan tahun, bahkan anak-anaknya juga lebih memilih wanita selingkuhan sang ayah.
Tanpa berbalik lagi, Sofia akhirnya pergi dan membuktikan jika dirinya bisa sukses di usianya yang sudah senja.
Di saat Sofia mencoba bangkit, dirinya bertemu Riven Vex, CEO terkemuka. Seorang pria paruh baya yang merupakan masa lalu Sofia dan pertemuan itu membuka sebuah rahasia masa lalu.
Yuk silahkan baca! Yang tidak suka, tidak perlu memberikan rating buruk
INGAT! DOSA DITANGGUNG MASING-MASING JIKA MEMBERIKAN RATING BURUK TANPA ALASAN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DAAP 30
Vanessa tiba di butiknya, wajahnya sudah masam. Sepanjang perjalanan, ia sudah memikirkan bagaimana menghidupkan kembali bisnisnya yang semakin sepi.
Saat memasuki ruangan, ia melihat Cindy, asistennya, menghampiri dengan senyum semangat.
"Bu Vanessa, saya punya kabar baik!" kata Cindy penuh antusias.
Vanessa sedikit tertarik. "Apa?" tanyanya sambil duduk di kursinya.
"Akan ada lomba desain nasional yang dilakukan secara besar-besaran dalam waktu dekat! Ini bisa jadi kesempatan bagus untuk butik kita kembali dikenal!" jelas Cindy.
Mendengar hal itu, senyum Vanessa mulai muncul kembali. Ia mengangkat dagunya dengan angkuh. "Bagus! Aku akan mendaftarkan diri. Aku yakin bisa menang!"
Cindy ikut tersenyum, tetapi ragu-ragu sebelum melanjutkan. "Ada satu kabar lagi, Bu ...."
Vanessa meliriknya dengan malas. "Apa lagi?"
Cindy mengambil napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengatakan sesuatu yang membuat dunia Vanessa seolah runtuh.
"Butik S.A … itu milik Sofia Amara."
Brak!
Vanessa langsung berdiri, kursinya hampir jatuh ke belakang. Matanya melebar, wajahnya pucat seperti baru saja melihat hantu.
"A—apa?" suaranya gemetar.
Cindy mengangguk. "Ya, saya baru mendapat info ini. Ternyata Sofia Amara pemiliknya, Bu Vanessa kenal?"
Deg!
Vanessa merasakan dadanya sesak. Bagaimana mungkin? Sofia yang ia hina, injak, dan hancurkan hidupnya ternyata bukan hanya masih berdiri, tapi juga lebih sukses darinya?!
Ini mustahil!
"Seharusnya dia menderita!"
"Seharusnya dia terpuruk!"
"Bukan malah lebih sukses dariku!"
Vanessa menggertakkan giginya, napasnya memburu penuh kebencian. Dengan cepat, ia mengacungkan tangannya ke arah Cindy.
"Keluar!" bentaknya.
Cindy terkejut. "Tapi, Bu—"
"Keluar sekarang juga!" teriak Vanessa.
Cindy akhirnya mundur dengan ketakutan, menutup pintu dengan pelan.
Begitu sendirian, Vanessa menghantam meja dengan tinjunya.
Brak!
"Sofia!" jeritnya penuh kebencian.
Barang-barang di mejanya melayang ke lantai—dokumen, pulpen, bahkan cangkir tehnya pecah. Para pegawai di luar mengintip dengan takut, tak ada yang berani masuk atau bertanya. Mereka semua bingung apa yang terjadi pada bos mereka.
Vanessa menggenggam rambutnya, matanya liar.
Sofia tidak boleh lebih baik darinya.
Sofia tidak boleh bahagia.
Sofia harus dihancurkan!
Setelah menenangkan diri, Vanessa mengambil ponselnya dan dengan cepat menekan nomor seseorang.
Saat panggilan tersambung, senyum licik mulai terukir di bibirnya.
"Jon … aku punya pekerjaan untukmu," katanya dengan suara penuh kebencian. "Seseorang harus diajari pelajaran bahwa dia tidak seharusnya menantangku."
Vanessa tertawa kecil, penuh niat jahat. Ia tidak akan membiarkan Sofia terus berada di atasnya.
*****
Sofia baru saja menyelesaikan pendaftarannya untuk lomba desain dan menyerahkan contoh karyanya pada perusahaan penyelenggara. Hatinya lega sekaligus bersemangat. Ia yakin, ini bisa menjadi langkah besar bagi butiknya, S.A.
Namun, saat ia tiba di parkiran dan bersiap masuk ke mobilnya, matanya langsung membelalak.
Ban mobilnya kempes.
Sofia menghela napas panjang. “Ya Tuhan … kenapa sekarang?” gumamnya kesal.
Tanpa berpikir panjang, ia menghubungi montir untuk segera memperbaikinya. Setelah itu, ia membuka aplikasi untuk memesan taksi online, tetapi.
“Tidak! Baterai habis?!”
Sofia memijit keningnya. Tidak ada pilihan lain, ia harus mencari taksi atau angkutan umum sendiri.
Dengan langkah cepat, Sofia mulai berjalan di trotoar. Sayangnya, jalan itu sepi, tidak ada kendaraan yang melintas. Perasaan tidak nyaman mulai menyergapnya.
Lalu…
Langkah kaki terdengar di belakangnya.
Sofia menghela napas pelan, tetap berjalan tenang. Namun, tangannya sudah siap bertindak. Jika ini perampok atau orang jahat, ia tidak akan tinggal diam.
Semakin lama, langkah itu makin dekat…
Hingga akhirnya, seseorang menyentuh bahunya.
Refleks, Sofia menangkap tangan orang itu, memutarnya, dan membantingnya ke aspal dengan gerakan cepat!
Brugh!
“Ugh!” suara pria itu terdengar kaget.
"Jangan macam-macam kau!" gertak Sofia dengan posisi bersiap menyerang.
Namun, saat pria itu bangkit dan menatapnya, Sofia membelalak terkejut.
Pria di hadapannya memiliki wajah tampan dan karismatik, meski sudah berusia 49 tahun. Jas mahalnya sedikit kusut, tetapi auranya tetap memancarkan kewibawaan.
Sofia terdiam.
Ini … Riven?!
Mata pria itu datar, tetapi ada kilatan geli di sana. Ia menghela napas, lalu berkata, “Kau tidak pernah berubah.”
Sofia merasa bersalah seketika. Ia buru-buru menunduk sedikit. "Maaf ... aku tidak sengaja."
Wajah Sofia memerah, karena merasa malu sekaligus merasa bersalah.
Riven tertawa kecil, lalu mengangkat sesuatu di tangannya. “Ini jatuh di perusahaan tadi.”
Sofia mengerjap, baru menyadari bahwa itu adalah dompetnya!
"Astaga! Terima kasih, Riven!" Sofia segera mengambilnya.
Di kejauhan, dua pasang mata mengintip dari balik tembok gang.
Seorang pria muda berusia 21 tahun dengan rambut hitam rapi dan wajah tampan, meringis melihat kejadian tadi. Di sampingnya, seorang gadis cantik dengan rambut panjang lurus ikut memandang dengan ekspresi rumit.
“Pantas saja Daddy setia sama Mommy,” gumam Edward, si pemuda tampan itu.
Elleanor mengangguk setuju. “Mommy memang selalu keren .…”
Keduanya saling bertatapan, lalu kembali mengintip dengan rasa ingin tahu.
Sementara itu, Sofia kembali berterima kasih pada Riven. "Aku sungguh minta maaf soal tadi … dan terima kasih sudah mengembalikan dompetku."
Riven tersenyum kecil, tetapi tatapannya tidak lepas dari wajah Sofia. "Setidaknya, sekarang aku tahu … kau masih kuat seperti dulu."
Tiba-tiba suasana menjadi hening, Sofia masih canggung karena sekian lama akhirnya mereka dipertemukan kembali. Seorang pria yang pernah singgah dan menjadi satu-satunya yang dicintai meski pada akhirnya mereka berpisah.
Sofia kemudian menatap Riven lebih lama, matanya menyipit curiga. Ada sesuatu yang aneh.
Wajah pria itu … terasa familiar.
Bukan hanya karena dia adalah Riven, tetapi lebih dari itu. Seolah-olah dia pernah melihat versi muda Riven di suatu tempat dan sering berinteraksi.
Sofia mengernyit, mencoba mengingat-ingat. “Aneh … aku merasa pernah melihatmu, tapi … versi mudamu.”
Mendengar itu, Riven langsung menegang. Wajahnya tetap tenang, tapi ada sedikit perubahan ekspresi yang sulit ditangkap.
Di balik gang, Edward dan Elleanor menahan napas.
“Sial, Mommy mulai curiga,” batin Edward panik.
Elleanor menutup mulutnya, dalam hati berdoa agar Sofia tidak mengingat apa pun lebih jauh.
Jika Sofia sampai mengingat mereka, itu berarti rahasia mereka—akan terbongkar lebih cepat dari rencana awal.
Dan jika itu terjadi … mereka tidak tahu bagaimana reaksi Mommy mereka.
Sementara itu, Sofia masih berusaha mengingat.
“Aku yakin pernah melihatmu … tapi di mana, ya?” gumamnya pelan.
Riven berdeham. “Mungkin di artikel bisnis atau berita lama. Aku cukup sering diwawancarai.”
Sofia menggeleng. "Bukan … aku merasa melihatmu dalam situasi berbeda."
Riven tetap berusaha tenang, tapi tangannya mengepal di saku.
Edward dan Elleanor hampir tidak berani bernapas.
“Mommy, jangan ingat … jangan ingat .…” doa Elleanor dalam hati.
Sofia berpikir lebih keras. Lalu tiba-tiba.
“Ah! Aku ingat, wajahmu mirip Edward!” serunya tiba-tiba.
Edward dan Elleanor refleks menutup mata.
Ketahuan!
Riven terkejut dan mencoba tenang. "Edward? Oh, dia memang putraku dari wanita yang kucintai." Saat mengatakan hal itu, Riven menatap Sofia dengan pandangan penuh arti.
Mata Sofia terbelalak. "Jadi? Edward adalah putramu? Itu berarti Elleanor juga putrimu? Astaga dunia sempit sekali."
Riven terkejut lebih tepatnya berpura-pura. "Kamu mengenal putra-putriku?" tanyanya.
Sofia mengangguk semangat. "Ya, aku mengenalnya. Dia dan Elle berjasa dalam hidupku, mereka anak yang peduli dan ceria."
Riven mendengus dalam hati. "Peduli dan ceria apanya? Dingin iya? Dasar anak kembar kulkas.