"Cahaya di Tengah Hujan"
Rini, seorang ibu yang ditinggalkan suaminya demi wanita lain, berjuang sendirian menghidupi dua anaknya yang masih kecil. Dengan cinta yang besar dan tekad yang kuat, ia menghadapi kerasnya hidup di tengah pengkhianatan dan kesulitan ekonomi.
Di balik luka dan air mata, Rini menemukan kekuatan yang tak pernah ia duga. Apakah ia mampu bangkit dan memberi kehidupan yang layak bagi anak-anaknya?
Sebuah kisah tentang cinta seorang ibu, perjuangan, dan harapan di tengah badai kehidupan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 1337Creation's, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka didepan pintu
Bab 8: Luka di Depan Pintu
Pagi itu, Rini duduk termenung di dapur, memandangi panci kosong yang hanya berisi sedikit air. Beras mereka telah habis sejak semalam, dan kini ia dihadapkan pada dilema besar. Uang di dompetnya hanya tersisa sepuluh ribu, tidak cukup untuk membeli sekilo beras.
Ia melirik ke arah Aditya dan Nayla yang sedang bermain di ruang tamu. Kedua anak itu tertawa, meski perut mereka mungkin sudah mulai lapar. Melihat mereka, hati Rini terasa hancur. Ia tahu dirinya harus melakukan sesuatu, apa pun itu.
Dengan berat hati, ia memutuskan untuk meminta bantuan kepada salah satu tetangganya. Pilihannya jatuh pada Ibu Ayna, seorang wanita paruh baya yang tinggal tidak terlalu jauh dari rumahnya. Rumah Ibu Ayna besar dan megah, hasil jerih payah anak-anaknya yang telah sukses dan rutin mengirimkan uang setiap bulan.
Setelah memastikan anak-anaknya aman di rumah, Rini melangkah menuju rumah Ibu Ayna. Setiap langkah terasa begitu berat, seolah ada batu besar yang menekan dadanya. Ia tahu meminta bantuan tidaklah mudah, terlebih lagi kepada seseorang seperti Ibu Ayna, yang dikenal memiliki lidah tajam.
Sesampainya di depan pintu, Rini mengetuk perlahan.
“Assalamualaikum,” ucapnya dengan suara lembut.
Pintu terbuka, menampilkan sosok Ibu Ayna yang mengenakan daster mewah. Wajahnya langsung menunjukkan ekspresi tidak senang ketika melihat Rini berdiri di sana.
“Ada apa lagi, Rini?” tanya Ibu Ayna dengan nada datar.
Rini menundukkan wajahnya, mencoba menahan rasa malu yang membuncah. “Maaf mengganggu, Bu. Saya… Saya cuma mau minta sedikit beras. Beras di rumah saya habis, dan anak-anak saya belum makan. Kalau Ibu berkenan, saya akan sangat berterima kasih.”
Wajah Ibu Ayna langsung berubah, matanya menyipit tajam. “Beras? Kamu datang ke sini cuma buat minta-minta lagi, Rini?”
“Saya benar-benar butuh, Bu. Uang saya belum cukup untuk beli beras sekarang,” jawab Rini, suaranya hampir bergetar.
Ibu Ayna mendengus keras. “Kamu ini, ya, Rini. Selalu saja begitu. Hidupmu hanya bergantung pada belas kasihan orang lain. Kamu itu ibu yang bodoh! Bukannya cari kerja yang layak, malah keliling minta-minta kayak pengemis!”
Kata-kata itu terasa seperti pisau yang menusuk hati Rini. Namun, ia tetap berdiri di tempatnya, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah.
“Bu, saya janji ini yang terakhir. Saya hanya memikirkan anak-anak saya. Mereka belum makan sejak pagi,” kata Rini dengan suara lirih.
Ibu Ayna tertawa sinis. “Anak-anakmu? Kamu pikir anak-anak itu bakal jadi apa nanti kalau ibunya saja seperti kamu? Cuma tahu minta-minta!”
Tanpa memberi kesempatan untuk menjawab, Ibu Ayna masuk ke dalam rumahnya. Setelah beberapa menit, ia kembali dengan segenggam beras di tangannya.
“Ini!” seru Ibu Ayna, lalu melemparkan beras itu ke wajah Rini. Beberapa butir beras jatuh ke tanah, berserakan di sekitar kaki Rini.
“Sana, bawa beras ini! Kasih makan anak-anakmu yang kayak hewan itu! Dasar miskin!” Ibu Ayna menutup pintunya dengan keras, meninggalkan Rini yang terpaku di depan pintu.
---
Rini perlahan berlutut, mengutip butiran beras yang jatuh ke tanah. Air matanya mengalir deras, tetapi ia tidak bersuara. Hatinya terasa hancur berkeping-keping, tetapi ia tahu dirinya tidak boleh pulang dengan tangan kosong.
Setelah mengumpulkan semua beras itu, Rini berjalan pulang dengan langkah gontai. Setibanya di rumah, Aditya dan Nayla langsung menghampirinya.
“Ibu, Ibu bawa apa?” tanya Nayla dengan mata berbinar.
Rini tersenyum kecil, meskipun hatinya masih terasa perih. “Ibu bawa beras. Kita bisa masak nasi sekarang.”
Anak-anaknya bersorak kecil, tidak menyadari apa yang telah dilalui ibunya. Rini segera menuju dapur dan mulai memasak, meskipun jumlah beras itu sangat sedikit.
Sambil menunggu nasi matang, Rini duduk di sudut dapur, menangis dalam diam. Ia merasa dunia begitu kejam, tetapi ia tidak akan menyerah. Anak-anaknya adalah alasan ia terus bertahan, meskipun harus menelan semua penghinaan yang diberikan orang lain.
---