Sartika hidup dalam keterbatasan bersama suaminya, Malik, seorang pekerja serabutan dengan penghasilan tak menentu. Pertengkaran karena himpitan ekonomi dan lilitan utang mewarnai rumah tangga mereka.
Demi masa depan anaknya, Sartika tergoda oleh janji manis seorang teman lama untuk bekerja di luar negeri. Meski ditentang suami dan anaknya, ia tetap nekat pergi. Namun, sesampainya di kota asing, ia justru terjebak dalam dunia kelam yang penuh tipu daya dan nafsu.
Di tengah keputusasaan, Sartika bertemu dengan seorang pria asing yang akan mengubah hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PTP Episode 23
Calvin masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin tanpa mengatakan sepatah kata pun. Suasana di dalam mobil terasa sedikit canggung. Sartika duduk dengan kaku, sesekali mencuri pandang ke arah Calvin yang fokus mengemudi.
Jantungnya masih berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya. Kejadian tadi terus terulang di kepalanya, bagaimana Calvin menangkapnya tepat waktu, bagaimana lengan pria itu terasa begitu kuat saat menahannya dari jatuh.
Ia menggeleng pelan, mencoba mengusir pikiran aneh itu. Calvin adalah bosnya, dan ia hanyalah seorang OB di kantor. Tidak seharusnya ia berpikir yang tidak-tidak.
Namun, justru Calvin yang tiba-tiba membuka pembicaraan. "Kau sering ceroboh seperti itu?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.
Sartika tersentak dan buru-buru menjawab, "Tidak, Pak. Saya biasanya lebih hati-hati."
Calvin hanya menggumam pelan. "Bagus. Jangan sampai aku harus menangkapmu lagi."
Sartika merasa wajahnya kembali memanas mendengar ucapan itu. Ia tidak tahu apakah Calvin hanya bercanda atau benar-benar serius, tapi nadanya terdengar begitu tenang dan dalam.
Mobil melaju dengan kecepatan stabil melewati jalanan kota yang mulai dipenuhi lampu-lampu. Sartika menggigit bibir bawahnya, mencari topik pembicaraan agar suasana tidak terlalu canggung.
Namun, tiba-tiba perasaan bersalah menghantam hatinya. Ia terlalu larut dalam kebersamaan dengan Calvin, sampai-sampai ia lupa akan sesuatu yang seharusnya selalu ia ingat, anak dan suaminya di kampung.
Matanya menatap lurus ke depan, tetapi pikirannya sudah melayang jauh. Bagaimana keadaan anaknya sekarang? Apakah suaminya sudah makan dengan baik? Apakah mereka baik-baik saja tanpa dirinya? Yang pergi tanpa pesan.
Sartika menghela napas pelan, mencoba menekan perasaan yang berkecamuk dalam hatinya. Ia bukan seseorang yang seharusnya merasa terpesona oleh sikap Calvin, sekecil apa pun itu. Ia punya tanggung jawab, ia punya keluarga yang menunggunya.
"Ada apa?" suara Calvin memecah lamunannya.
Sartika tersentak. Ia menoleh dengan sedikit kaget, tidak menyadari bahwa ekspresinya tadi mungkin terlalu terlihat jelas. "Eh, tidak ada apa-apa, Pak," ujarnya cepat.
Calvin meliriknya sekilas sebelum kembali fokus pada jalan. "Kau terlihat sedang memikirkan sesuatu."
Sartika terdiam, apakah dirinya harus jujur? Atau tidak, namun ini bukan urusan Calvin. Ia hanya bosnya, tidak ada alasan bagi pria itu untuk tahu tentang kehidupannya.
"Saya hanya... memikirkan keluarga di kampung," akhirnya ia berkata dengan suara pelan.
Calvin tidak langsung merespons, tetapi ekspresinya berubah sedikit lebih serius. "Keluargamu?" tanyanya, nada suaranya terdengar ingin tahu.
Sartika mengangguk pelan. "Ya, anak dan suami saya."
Keheningan mendadak menyelimuti mobil. Mata Calvin masih fokus ke depan, tetapi ekspresinya sulit ditebak.
Sartika tidak tahu apakah ia baru saja melakukan kesalahan dengan mengungkapkan hal itu. Sejujurnya, ia tidak pernah mengira akan membicarakan keluarganya dengan Calvin. Tetapi, entah mengapa, ia merasa harus mengatakannya, seolah-olah mengingatkan dirinya sendiri agar tidak melupakan siapa dirinya sebenarnya.
Setelah beberapa saat, Calvin akhirnya berkata dengan suara datar, "Kau tidak pernah menyebut mereka sebelumnya."
Sartika tersenyum tipis, meskipun ada sedikit rasa pahit dalam senyumnya. "Saya tidak ingin membicarakan mereka di tempat kerja. Lagipula, saya ke sini untuk mencari nafkah, bukan untuk membawa cerita pribadi."
Calvin mengangguk pelan, seolah mengerti maksudnya. Namun, ada sesuatu di matanya, sesuatu yang sulit dijelaskan.
Setelah itu, tidak ada lagi kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Hanya suara deru mesin mobil yang menemani perjalanan mereka pulang.
Sartika menatap ke luar jendela, membiarkan pikirannya kembali melayang ke kampung halaman. Tidak peduli seberapa jauh ia pergi, hatinya tetap milik keluarganya.
Dan ia harus selalu mengingat itu.
Sartika memberanikan diri untuk berbicara, meskipun ia ragu bagaimana Calvin akan meresponsnya.
"Pak, saya ingin meminta izin untuk pulang ke kampung selama beberapa hari," ujarnya pelan, tapi tegas.
Calvin meliriknya sekilas sebelum kembali fokus pada jalan. "Kenapa tiba-tiba?" tanyanya dengan nada datar.
"Saya sudah lama tidak bertemu anak dan suami saya," jawab Sartika jujur. "Saya ingin memastikan mereka baik-baik saja."
Calvin terdiam sejenak, lalu menghela napas. "Aku ikut."
Sartika menoleh cepat, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Apa?"
"Aku akan menemanimu ke sana," ulang Calvin dengan nada yang tidak terbantahkan.
Sartika langsung menggeleng. "Tidak, Pak. Itu tidak perlu."
Calvin meliriknya sekilas, ekspresinya tetap tenang. "Aku tidak suka membiarkan karyawanku pergi sendirian ke tempat yang jauh. Aku akan ikut untuk memastikan semuanya baik-baik saja."
Sartika semakin gelisah. Ia tidak bisa membayangkan Calvin, seorang bos besar, datang ke kampung halamannya. Pasti akan timbul banyak pertanyaan dan spekulasi dari orang-orang di sana.
"Pak, saya bisa pergi sendiri. Tidak usah repot-repot," katanya, mencoba membujuk.
Calvin tetap pada pendiriannya. "Aku sudah memutuskan. Kalau kau mau pulang, aku ikut."
Sartika menelan ludah. Ini bukan yang ia harapkan. Jika Calvin benar-benar ikut, pasti akan ada banyak kesalahpahaman, terutama dari suaminya.
"Tapi, Pak..."
"Ini bukan negosiasi, Sartika," potong Calvin dengan nada tegas. "Aku ikut, atau kau tidak pergi sama sekali."
Sartika terdiam. Ia tahu, melawan keputusan Calvin tidak akan ada gunanya. Tapi, ia juga tidak ingin orang-orang salah paham tentang hubungannya dengan Calvin.
Dengan berat hati, ia harus mencari cara agar Calvin mengubah keputusannya.
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba tetap tenang. "Pak Calvin, saya sangat berterima kasih atas perhatian Anda, tapi kalau Anda ikut, saya khawatir akan timbul kesalahpahaman."
Calvin menoleh sekilas. "Kesalahpahaman?"
Sartika mengangguk. "Iya, Pak. Orang-orang di kampung saya pasti akan bertanya-tanya kenapa saya pulang bersama Anda. Dan suami saya... mungkin akan merasa tidak nyaman."
Calvin terdiam, ekspresinya sulit ditebak. Ia menekan pedal gas sedikit lebih dalam, membuat mobil melaju lebih cepat. Sartika menunduk, menunggu responsnya.
Beberapa detik kemudian, Calvin menghela napas panjang. "Aku tidak peduli dengan omongan orang."
"Tapi saya peduli, Pak," jawab Sartika cepat, suaranya terdengar sedikit memohon. "Saya tidak ingin suami saya berpikir yang tidak-tidak. Saya hanya ingin pulang dengan tenang, tanpa ada masalah tambahan."
Mobil melambat sedikit, lalu berhenti di lampu merah. Calvin menatap lurus ke depan, matanya tajam dan penuh pertimbangan. Sartika bisa merasakan atmosfer di dalam mobil menjadi semakin tegang.
Akhirnya, setelah beberapa saat, Calvin berbicara lagi. "Baik. Aku tidak akan ikut."
Sartika mengangkat wajahnya, sedikit terkejut. "Benar, Pak?"
"Tapi aku akan mengatur semua perjalananmu," lanjut Calvin dengan nada tak terbantahkan. "Aku tidak ingin kau mengalami kesulitan dalam perjalanan."
Sartika menghela napas lega, meskipun ia tahu menolak perhatian Calvin sepenuhnya adalah hal yang mustahil. "Terima kasih, Pak."
Calvin tidak menjawab. Ia hanya kembali fokus pada jalan begitu lampu hijau menyala, melajukan mobil dengan tenang.
Namun, di dalam hatinya, ia masih merasa sedikit tidak nyaman. Entah kenapa, ia tidak suka membiarkan Sartika pergi sendirian. Tapi untuk saat ini, ia memilih mengalah.
Calvin memberhentikan mobilnya dengan tenang di depan rumahnya. Ia melirik sekilas ke arah Sartika, yang tampak ragu untuk turun.
"Kau bisa masuk dulu. Aku harus pergi ke suatu tempat," ucap Calvin dengan nada datar.
Sartika menatapnya, sedikit bingung. "Pak Calvin mau ke mana?"
Calvin menghela napas pendek. "Aku ada janji makan malam."
Sartika mengangguk pelan. Ia tidak bertanya lebih lanjut karena sadar itu bukan urusannya. Dengan hati-hati, ia membuka pintu dan turun dari mobil.
Calvin menunggu sampai Sartika masuk ke dalam rumah sebelum kembali menyalakan mesin mobilnya. Ia melirik jam di dashboard, waktunya tepat. Makan malam bersama keluarga Wijaya akan segera dimulai.
Sepanjang perjalanan menuju rumah keluarga Wijaya, pikirannya dipenuhi oleh berbagai hal. Bukan hanya tentang pertemuan ini, tetapi juga tentang Sartika. Wanita itu mulai membuatnya merasa tidak biasa. Ada sesuatu dalam dirinya yang berbeda dari wanita lain yang pernah ia temui.
Namun, ia mengesampingkan pikirannya begitu mobilnya melewati gerbang rumah keluarga Wijaya yang megah. Pelayan menyambutnya dengan hormat dan mengarahkannya ke ruang makan, tempat orang tuanya, Ny. Lisna dan Tuan Bastian sudah menunggunya bersama keluarga Wijaya.
Alana Wijaya juga ada di sana, duduk anggun dengan senyuman ramah. Tatapan mereka sempat bertemu sejenak, dan Calvin tidak bisa mengabaikan fakta bahwa wanita itu benar-benar mengingatkannya pada Hazel.
Malam ini akan menjadi panjang.