Siapa sangka putri tertua perdana menteri yang sangat disayang dan dimanja oleh perdana menteri malah membuat aib bagi keluarga Bai.
Bai Yu Jie, gadis manja yang dibuang oleh ayah kandungnya sendiri atas perbuatan yang tidak dia lakukan. Dalam keadaan kritis, Yu Jie menyimpan dendam.
"Aku akan membalas semua perbuatan kalian. Sabarlah untuk menunggu pembalasanku, ibu dan adikku tersayang."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reinon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 32
Wajar jika Dai Lu menaruh curiga kepada Cai Hong. Selama ini mereka selalu mengerjakan tugas bersama, tak pernah sekalipun berpisah. Maka ketika Cai Hong tiba-tiba mengusulkan agar mereka bekerja secara terpisah, kecurigaan pun timbul secara alami.
Cai Hong menghela napas lelah, "Lihatlah langit, bayangan matahari sudah condong ke timur. Hari hampir redup. Jika kita tetap bersama, lima kamar yang harus disiapkan air mandinya mungkin tak akan selesai tepat waktu. Aku hanya mengusulkan jalan terbaik, agar kita tak dimarahi Bibi Ji Heng."
Dai Lu menatap langit sejenak. Benar yang dikatakan Cai Hong. Matahari sudah hendak tenggelam. Jika mereka tetap bersama, tentu pekerjaan akan tertunda.
"Kau benar. Kalau begitu kita berpisah di sini," ucap Dai Lu sambil berlalu pergi.
Dai Lu bergegas karena tidak ingin melakukan kesalahan saat melayani tamu-tamu nyonya Bai.
Sementara itu, Cai Hong menghela napas lega. Akhirnya, Dai Lu pergi darinya. Begitu yakin Dai Lu sudah menjauh, dia segera melesat menuju kamar utama keluarga Lin. Langkahnya ringan namun tergesa, berusaha tiba sebelum pelayan lain datang membantu persiapan mandi.
Begitu sampai, ia membuka pintu dengan suara tergesa. "Tabib Lin, gawat!" teriak Cai Hong.
Semua mata dalam ruangan tertuju pada Cai Hong.
"Ada apa?" tanya Lin Lian waspada.
"Kenapa kau terburu-buru?" tanya Fang Hua.
"Kau berkeringat!" seru Fang Ling.
Giliran Fang Ling yang mendapat tatapan tajam dari kakak tertuanya.
"Hehehe!" Fang Ling terkekeh sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Cai Hong menutup pintu lalu berseru lirih, "Tabib Lin, nyonya meminta aku dan Dai Lu memasukkan obat tidur ke dalam makanan ringan tabib Lin sekeluarga."
"Apa? Berani sekali dia!" seru Fang Li setengah berteriak.
Fang Hua langsung menatap kakak pertamanya lalu menepuk pelan pundaknya, "Tenang kak. Jangan berteriak!"
Fang Li balas menatap tajam adik keduanya itu. Fang Hua hanya tersenyum mengejek.
"Aku hanya mengingat peringatan yang kakak katakan padaku dan Fang Ling tadi," timpal Fang Hua sambil tersenyum.
Fang Ling mengacungkan dua jempolnya ke udara tanda setuju. Baru saja kakak pertama mereka memperingatkan untuk tidak berteriak selama tinggal di kediaman Bai. Justru sekarang dia sendiri yang berteriak.
Seolah tak memperdulikan keributan kecil antara adik kakak itu, Cai Hong tetap melanjutkan informasi yang dia dapat.
"Nyonya Bai melakukan hal itu karena ada alasannya. Nyonya Bai akan mengirim beberapa orang untuk mengecek wajah tabib Lin, nyonya Lin beserta ketiga saudari tabib Lin," jelas Cai Hong.
"Bahkan, pelayan pribadi anda juga akan diperiksa!" timpal Cai Hong.
Hampir saja dia lupa ada seorang pelayan setia keluarga Lin. Dari tadi pelayan itu tidak banyak bicara. Jadi, saat sudut mata Cai Hong menangkap bayangannya, dia baru teringat dengan Li Jing.
"Mengapa aku juga diperiksa?" tanya Li Jing bingung.
"Maaf, kak Li Jing. Aku juga tidak tahu," jawab Cai Hong.
Semua orang menoleh pada Yu Jie. Namun gadis itu hanya menyesap teh perlahan, sorot matanya tenang.
"Adik, apa yang harus kita lakukan?" tanya Fang Li.
Yu Jie menyesap teh perlahan. Gerakannya sangat anggun seolah tak ada ketakutan di sana.
"Cai Hong, lakukan saja seperti yang diperintahkan oleh nyonya Bai!" seru Yu Jie.
"Tapi kak ..."
Fang Ling melirik Cai Hong. Dia tidak berani melanjutkan kalimat berikutnya karena ada Cai Hong di sana. Pelayan itu tidak tahu bahwa bekas luka, tanda lahir hitam serta bercak hitam yang mereka miliki memang palsu.
Bagaimana jika nanti di saat mereka tertidur lelap, para suruhan nyonya Bai mendapati kebohongan mereka? Fang Ling khawatir bukan main. Yu Jie menangkap kegelisahan adik bungsunya.
Bukan hanya Fang Ling. Fang Hua, Fang Li, dan nyonya Bai sangat khawatir akan penyamaran mereka. Baru saja mereka mendapat seorang pion, sekarang malah harus berhadapan dengan masalah lain.
"Cai Hong, kau boleh pergi," ucap Yu Jie.
"Maaf tabib Lin, hamba tidak bisa pergi," ucap Cai Hong.
"Hamba harus menyiapkan air mandi untuk tabib Lin beserta keluarga anda," timpal Cai Hong.
Lin Lian melihat keluar jendela. Benar saja, matahari mulai menuju peraduannya.
"Kalau begitu kau siapkan air mandi untuk kamar ibu dan Fang Hua. Oh ya, kau bertugas untuk menemani adik bungsuku tidur setiap malam! Ibu ku akan sekamar dengan kakak kedua. Jadi, cukup empat kamar saja yang disediakan untuk kami," jelas Yu Jie.
"Baik tabib Lin. Hamba akan memberitahu Dai Lu setelah ini," jawab Cai Hong.
"Kalau begitu kau siapkan air mandi untuk ibu dan kakak keduaku lebih dulu," ujar Yu Jie.
"Baik tabib Lin," ucap Cai Hong sambil undur diri.
Sepeninggal Cai Hong, Fang Ling langsung melanjutkan kalimat yang tadi tertunda "Kakak, bagaimana jika nanti kita ketahuan?"
"Bukankah kakak pertama sudah mengajari kita ilmu bela diri," ujar Yu Jie santai.
"Aish, kakak! Aku belum pernah berhadapan dengan seorang penjahat. Apalagi dalam kondisi tertidur. Bisa-bisa belum sempat aku membela diri, penjahat itu sudah melakukan aksinya," balas Fang Ling.
"Nah, untuk itu kita bisa menguji sampai di mana keahlian bela diri yang sudah susah payah kakak pertama ajarkan," balas Yu Jie santai.
"Kakak!" rengek Fang Ling.
"Ling'er turuti saja ucapan kakak ketiga mu!" seru Lin Lian.
Fang Ling mengangguk setuju sambil menggembungkan mulutnya.
"Jie'er, ibu akan melihat kamar ibu dan Fang Hua. Sekaligus bersiap untuk nanti malam," ucap Lin Lian.
"Baik ibu," jawab Yu Jie.
"Kita nikmati saja jamuan makan malam ini. Biarkan musuh bermain lebih dulu," ujar Yu Jie.
Mereka mengangguk setuju. Meski di dalam hati mereka merasa khawatir. Mereka berjalan meninggalkan kamar Yu Jie dalam perasaan bimbang.
Kamar utama milik Yu Jie menjadi hening. Yu Jie bangkit lalu berjalan menuju jendela. Udara di sore hari memang sangat baik untuk ruangan. Yu Jie menatap langit sore dari balik jendela kamarnya.
"Ibu, aku kembali. Bantu aku untuk mengambil kembali semua milik kita," lirih Yu Jie.
Setetes cairan bening luruh dari mata indahnya. Hanya setetes untuk meluapkan rasa rindu pada mendiang ibunya. Yu Jie sudah berjanji tidak akan menjadi gadis manja lagi. Dia harus menjadi wanita kuat agar dapat melewati semua rintangan ini.
"Huang Fang Yin, permainan baru saja dimulai. Aku senang kau selalu memulainya lebih dulu," ucap Yu Jie pelan.
Malam harinya, semua orang berkumpul di aula utama kediaman bagian barat. Fang Yin sengaja memilih aula bagian barat sebagai tempat makan malam mereka.
Alasannya sangat klasik. Hanya karena sudah lama tidak menerima tamu dan kebetulan kediaman bagian barat sudah lama tidak ditempati. Jadi, untuk merayakannya tidak ada salahnya makan malam di aula bagian barat.
Aula itu berubah menjadi tempat makan yang cukup besar. Muat untuk beberapa kepala keluarga. Terlihat nyonya Bai ini sengaja menyombongkan diri. Padahal makan malam hanya di hadiri dua kepala keluarga saja.
Secara kebetulan pula tuan Bai malam ini pulang ke kediamannya. Dua tahun lalu, setelah dia membuang putri kandungnya, Bai Hui Fen selalu menghabiskan waktu di istana.
Alasannya karena banyaknya urusan pemerintahan yang harus dia selesaikan tepat waktu. Tak jarang Bai Hui Fen memilih tinggal di ruang kerjanya di istana. Mengapa Bai Hui Fen bisa mendapat hak istimewa?
Tentu saja karena putri satu-satunya akan menikahi pangeran keempat. Hal ini membuat hubungannya dengan kaisar semakin baik. Pejabat-pejabat di istana juga tidak berani memandang rendah dirinya.
Di ujung aula, Fang Yin menoleh pada Ji Heng, pelayan kepercayaannya. "Apakah segalanya sudah siap?"
"Tenang, Nyonya. Segala sesuatu telah disusun sesuai perintah Anda," jawab Ji Heng penuh hormat.
"Bagus," ucap Fang Yin, lalu duduk di meja besar yang penuh hidangan mewah.
Tanpa banyak bicara, ia memilih tempat duduk tepat di hadapan Tabib Lin dan keluarganya. Senyum di bibirnya tampak manis, namun matanya menyimpan sesuatu yang jauh dari niat tulus. Permainan malam ini telah dimulai. Mantan selir itu tak sabar melihat siapa yang akan lebih dulu lengah.