"Semua tergantung pada bagaimana nona memilih untuk menjalani hidup. Setiap langkah memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang," ucapan itu terdengar menyulut hati Lily sampai ia tak kuasa menahan gejolak di dada dan berteriak tanpa aba-aba.
"Ini benar-benar sakit." Lily mengeram kesakitan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
Lily melangkah tergesa-gesa melewati lorong kantor, kedua tangannya penuh dengan kantong-kantong berisi minuman dan makanan sarapan.
Derap langkahnya yang cepat terdengar jelas di lantai keramik, sementara kacamata bundarnya sedikit melorot. Ia berkali-kali harus mendorongnya kembali ke posisi semula dengan ujung jari.
Kebiasaan ini sudah menjadi rutinitasnya. Setiap pagi, Lily menerima berbagai pesanan dari rekan-rekannya. Permintaan-permintaan yang terlalu sering ia dengar. Dengan sifatnya yang sulit menolak, Lily selalu menyanggupi semuanya, meskipun itu berarti ia harus membawa banyak barang sekaligus.
Sesampainya di ruang kerjanya, Lily menarik napas panjang, mencoba mengatur dirinya setelah terburu-buru. "Baiklah, semuanya sudah ada di sini," gumamnya sambil mulai membagikan pesanan.
"Ini kopi hazelnut untuk Anda," ucapnya sambil menyerahkan segelas minuman kepada rekannya yang duduk di meja sebelah. "Dan ini roti isi tuna yang Anda pesan," lanjutnya, menyerahkan bungkusan kepada yang lain.
Namun, seperti biasa, tidak ada ucapan terima kasih yang terdengar. Sebagian besar rekan kerjanya menerima pesanan mereka tanpa banyak bicara, beberapa di antaranya bahkan hanya melirik sekilas ke arah Lily sebelum kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
"Kamu benar-benar luar biasa, Lily. Sepertinya tidak ada hal yang tidak bisa kamu lakukan," ucap salah seorang rekan kerjanya. Namun, nada bicaranya lebih terdengar seperti sindiran dari pada pujian. Lily hanya tersenyum tipis, menahan diri untuk tidak menanggapi.
Setelah selesai membagikan semua makanan dan minuman, Lily duduk di kursinya sendiri. Ia merapikan kertas-kertas laporan di atas meja, matanya terfokus pada tumpukan dokumen yang terasa semakin berat.
Dalam hati, ia bertanya-tanya, mengapa ia selalu melakukan ini? Mereka bahkan tidak menunjukkan sedikit pun rasa terima kasih. Namun, seperti biasa, Lily hanya menepis pikiran itu.
Membantu orang lain, bagi Lily, adalah caranya untuk merasa berarti, meskipun ia sadar ada batas yang sudah berulang kali dilanggar oleh orang-orang di sekitarnya.
Daisy yang seperti biasa tampil anggun dan penuh percaya diri, bangkit dari kursinya. Dengan suara tegas yang dibuat-buat, ia memecah kesunyian ruangan.
"Teman-teman, kita harus berhenti memanfaatkan Lily untuk hal-hal seperti ini. Tidak adil rasanya dia selalu dibebankan tugas-tugas yang seharusnya bisa kita kerjakan sendiri. Kasihan dia."
Beberapa pegawai terdiam, merasa tersindir. Namun, tidak sedikit yang menanggapinya dengan sekadar senyum kecil, menganggap ucapan Daisy hanyalah rutinitas basa-basi yang biasa ia lontarkan.
Sementara itu, Lily hanya menundukkan kepala, pura-pura sibuk merapikan dokumen di mejanya. Kata-kata Daisy tidak membuatnya merasa terbela, justru menusuk lebih dalam ke luka yang masih segar di hatinya.
Lily tidak bisa melupakan kejadian beberapa hari yang lalu. Perselingkuhan yang jelas antara Daisy dan Hugo.
Dan sekarang, Daisy berdiri di depannya, berpura-pura menjadi sosok yang peduli dan penuh perhatian. Padahal, di belakang layar, wanita itu adalah orang yang paling sering memanfaatkan kebaikan Lily, meminta bantuan untuk menyelesaikan laporan, menitipkan barang, dan hal-hal kecil lainnya yang seharusnya menjadi tanggung jawab Daisy sendiri.
Namun, Lily tetap diam. Ia tidak ingin membalas. Baginya, tidak ada gunanya berbicara dengan seseorang yang sudah jelas tidak memiliki rasa hormat terhadap dirinya. Mengingat pengkhianatan Hugo dan Daisy hanya akan semakin memperburuk suasana hatinya.
Lily menarik napas dalam-dalam, membuang jauh-jauh perasaan sakit di dadanya. Ia kembali mengenakan earphone, membenarkan posisi kacamata bundarnya, lalu menunduk fokus pada laptop di hadapannya. Jari-jarinya mulai mengetik cepat, menyelesaikan laporan presentasi untuk siang nanti.
Daisy yang menyadari Lily tidak memberikan respons apa pun, hanya memutar bola matanya dengan ekspresi jengah. Ia kembali duduk di kursinya, melanjutkan pekerjaan yang tertunda, seolah-olah tidak ada yang terjadi. Dan akan berkomunikasi pada Lily setelah jam santai atau makan siang mereka.
Namun di balik kesibukan Lily, hatinya sudah mengambil keputusan besar. Sakit hati yang ia rasakan terhadap Hugo dan Daisy membuatnya tidak lagi ingin bertahan dalam situasi ini. Untuk apa ia terus berpura-pura baik-baik saja? pikirnya.
Lily membuka kalender di ponselnya. Cuti yang seharusnya ia simpan untuk pernikahannya kini terasa tidak ada artinya lagi. Ia ingin mengajukan cuti selama seminggu ke depan. Ia memutuskan untuk pulang ke kampung halaman, menemui neneknya.
Di sela-sela kesibukannya, Lily tersenyum pahit. Neneknya adalah satu-satunya tempat ia bisa pulang dan merasa benar-benar didengar.
Keputusan itu sudah bulat, ia akan menjelaskan semuanya kepada Emma, termasuk keputusan besarnya untuk tidak melanjutkan pernikahan dengan Hugo.
Meski dadanya terasa sesak, Lily tahu ini adalah langkah pertama untuk kembali mendapatkan kendali atas hidupnya. Dan untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, ia merasa sedikit lega.
Pintu ruang kerja terbuka dengan suara berat, membuat seluruh ruangan yang semula penuh percakapan ringan mendadak sunyi.
Manajer mereka, David, melangkah masuk dengan ekspresi serius yang langsung menciptakan suasana tegang di antara para staf. Dengan langkah tegas, ia berhenti di tengah ruangan, memandang seluruh pegawainya.
"Perhatian, semuanya," ucapnya, suaranya terdengar jelas meskipun ia tidak berteriak. "Saya baru saja menerima kabar bahwa penerus perusahaan ini, tuan Zhen Wang Opulensia, akan tiba pagi ini. Beliau akan berkeliling untuk melihat kondisi operasional dan memastikan semuanya berjalan sesuai standar. Saya harap kalian semua bisa menjaga kerapihan dan profesionalisme."
Ucapan itu langsung menciptakan kegemparan kecil di ruangan. Beberapa pegawai yang sebelumnya santai langsung berpura-pura sibuk, menyusun dokumen yang bahkan mungkin tidak relevan.
Ada yang mulai membersihkan meja mereka dengan tisu basah, sementara yang lain terlihat panik memeriksa ulang file di komputer masing-masing.
"Ini serius ya! Jangan ada yang kelihatan bermalas-malasan!" tambah David, mempertegas peringatannya.
Namun, di tengah hiruk-pikuk itu, Lily tetap duduk di mejanya, fokus pada tumpukan berkas yang harus segera ia selesaikan.
Ia tidak mendengar pengumuman tadi karena earphonenya masih terpasang di telinga, dan musik instrumental yang ia pasang menutupi suara di sekitarnya. Ia tetap mengetik dengan tekun, sesekali membalik halaman laporan sambil mencatat sesuatu di catatannya.
Rekan-rekannya memperhatikan Lily dengan tatapan campur aduk. Ada yang menggelengkan kepala, merasa heran karena Lily tidak menunjukkan tanda-tanda kepanikan seperti mereka.
"Dia bahkan tidak sadar," bisik salah satu staf kepada rekannya.
"Seperti biasanya, terlalu tenggelam dalam pekerjaannya," jawab yang lain sambil berusaha menata ulang dokumen di mejanya sendiri.
Sementara itu David memperhatikan situasi dengan mata tajam, memastikan semua staf terlihat siap untuk kedatangan pemimpin baru mereka.
Tapi matanya kemudian tertuju pada Lily yang masih asyik bekerja, seolah dunia di sekitarnya tidak ada. Ia mendekati meja Lily, mengetuk pelan permukaan mejanya untuk menarik perhatian.
"Lily," ucapnya tegas, membuat wanita itu tersentak dan segera melepas earphonenya. "Kamu sudah dengar pengumuman tadi?"
Lily menatap David dengan bingung. "Maaf, Pak, apa yang tadi Bapak katakan?" tanyanya dengan nada sopan, meskipun jelas bahwa ia benar-benar tidak tahu apa yang sedang terjadi.
David menghela napas, tetapi ia mencoba menahan rasa kesalnya. "Penerus perusahaan akan datang sebentar lagi. Pastikan semuanya tertata rapi dan kamu juga terlihat siap ya."
"Oh, baik, Pak. Saya akan segera merapikan ini," jawab Lily buru-buru, meskipun ia tidak sepenuhnya mengerti mengapa semua orang tampak begitu khawatir.
David hanya mengangguk dan beralih ke staf lainnya, memastikan tidak ada yang luput dari perhatian.
Sementara itu, Lily menatap meja kerjanya, menghela napas panjang. Kenapa semua orang ribut? pikirnya sambil mulai membereskan berkas-berkasnya, meski masih belum benar-benar memahami seberapa penting kunjungan ini.
Dah itulah pesan dari author remahan ini🥰🥰🥰🥰