Ikuti setiap bab nya dan jangan lupa tinggalkan dukungannya ♥️
****
Anindira dan Anindita adalah saudari kembar yang terpisah sejak lahir. Keduanya memiliki nasib yang berbeda, Anindira sudah menikah tetapi dirinya selalu di sakiti oleh sang suami dan tidak mendapatkan kebahagiaannya. Sementara Anindita, dirinya hanya bisa menghamburkan uang dan angkuh.
Suatu hari, tanpa sengaja Anindita menggantikan peran Anindira. Dirinya masuk ke dalam kehidupan suami Anindira, dan tidak menyangka betapa hebat saudari kembarnya itu bisa hidup di tengah-tengah manusia Toxic.
Bagaimana kehidupan mereka selanjutnya?
SO STAY STUNE!
NO BOOM LIKE, BACA TERATUR DAN SEMOGA SUKA 😍🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom AL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 8 TWINS A
Anindira sudah berada di tempat kerjanya, entah mengapa dirinya tidak bersemangat hari ini karena memikirkan tentang hutang orangtuanya yang berjumlah cukup besar.
'Cari dimana uang sebanyak itu? Lima belas juta sama seperti gajiku selama lima bulan.' batin Dira berdialog. Wanita itu bahkan tidak sadar dengan kehadiran Ilham yang memintanya untuk mengantarkan pesanan customer.
"Dira, tolong antarkan pesanan ini ke meja nomor sebelas." ujar Ilham hendak pergi, tetapi dirinya tidak jadi melangkah karena melihat Anindira yang hanya diam saja.
"Dir! Dira?" Ilham memanggil Dira, namun tetap tidak ada respon. "Anindira!" panggilnya untuk kesekian kali sambil menepuk pundak Anindira. Hal itu berhasil membuat wanita tersebut sadar.
"Eh! I—ilham, ada yang bisa aku bantu?" tanya Anindira ketika menyadari Ilham ada di dekatnya.
"Berarti dari tadi kau tidak mendengarkan ku?"
Anindira meringis, menampakkan deretan gigi putihnya. "Maaf, aku sedang tidak fokus." lanjutnya menunduk.
"Kau ada masalah? Jika kau butuh teman cerita, maka aku bisa membantumu. Tapi, sebaiknya jangan bawa masalah pribadi ke pekerjaan, karena akan mengganggumu."
"Terima kasih, Ilham. Jam istirahat nanti, temui aku di taman belakang. Ada yang ingin ku ceritakan padamu."
"Baiklah! Sekarang kau antarkan dulu pesanan meja nomor sebelas." ucap Ilham menunjuk menu makanan yang ada di depan Anindira.
Wanita itu pergi memenuhi pekerjaannya sebagai seorang waiters. Di sisi lain, Daffa mendengar percakapan Ilham dan Anindira tadi.
"Apa yang ingin Anin bicarakan? Terlihat dari obrolan mereka, sepertinya sangat serius."
Jam istirahat pun tiba, Anindira dan Ilham sudah berada di taman belakang restoran. Keduanya duduk di sebuah bangku, dan saling menatap lurus ke depan.
"Kau ada masalah apa? Mungkin aku bisa membantumu." ucap Ilham, dia sebenarnya memendam perasaan istimewa pada Dira, tetapi dirinya belum bisa untuk mengungkapkan.
"Keluargaku terlilit hutang dengan rentenir, Ham. Lusa aku harus membayarnya lunas karena bunganya juga semakin mencekik." Dira memijit pelipisnya yang berdenyut.
''Kalau boleh tahu, berapa hutangnya?"
"Tiga puluh juta. Tapi Mamaku sudah membayarnya lima belas juta, dan sisanya harus dibayar lusa karena aku sudah berjanji untuk melunasinya."
Ilham terdiam, dia menatap Anindira dengan lekat. "Aku ada sedikit tabungan, sebenarnya itu untuk modalku membuka usaha. Tapi jika kau mau, kau bisa memakainya dulu."
Anindira membalas tatapan Ilham. "Tidak, Ilham! Kau juga membutuhkannya, bagaimana bisa aku memakai tabunganmu?"
"Tapi kau lebih membutuhkannya daripada aku, Dira. Aku tidak punya masalah untuk hal itu." Ilham mencoba meyakinkan Anindira.
Wanita itu terdiam, mempertimbangkan tawaran dari Ilham. "Aku pikirkan dulu, nanti malam aku kabari." Putusnya.
"Ya sudah, kalau gitu kita harus segera masuk. Jam istirahat hampir selesai."
Mereka berdua berjalan berdampingan masuk ke dalam restoran. Sementara di balik pohon, Daffa tersenyum puas setelah menguping pembicaraan Anindira dan Ilham.
"Hm, ini waktu yang tepat untuk membalaskan penolakanmu, Anin." gumam Daffa penuh kelicikan.
Malam pun tiba, waktunya semua pegawai restoran kembali ke rumah mereka masing-masing. Daffa terus saja memantau Anindira, dia ingin menawarkan sesuatu pada wanita itu. Tak lama kemudian, Dira keluar dari restoran, dan Daffa dengan cepat mengikutinya.
"Anin, tunggu!" panggil Daffa menghentikan Anindira.
"Pak Daffa?"
"Ada yang ingin aku bicarakan padamu."
Anindira mengerutkan dahinya. "Masalah apa, Pak?" tanyanya heran.
"Jangan disini, sebaiknya kita cari tempat duduk supaya enak mengobrolnya."
Mereka pun akhirnya duduk di bangku panjang yang tak jauh dari parkiran.
"Anin, maaf, bukannya aku lancang menanyakan hal ini padamu. Tapi, tadi siang aku mendengar pembicaraan kalian. Maksudku, obrolanmu dan Ilham. Itu tidak disengaja, sungguh." ucap Daffa berbohong.
Anindira sedikit terkejut, pasalnya dia tidak ingin orang lain mengetahui masalahnya ini. Namun, karena Anindira sudah menganggap Ilham sebagai orang terdekat di dalam hidupnya, dia pun mau menceritakan semua masalah pada Ilham.
"Lalu?" tanya Anindira menatap Daffa yang tampak santai.
"Bukankah kau harus melunasi hutangmu sebanyak lima belas juta?" tanya Daffa membuat Anindira mengangguk tanda benar. "Aku bisa membantumu, tapi dengan satu syarat. Begini, jika kau menerima bantuan dari Ilham, pasti kau akan tetap bingung mencari tambahannya."
'Pak Daffa ada benarnya, tapi dia meminta syarat. Perasaanku jadi tidak enak.' batin Anindira.
"Katakan apa syaratnya, Pak? Apa kau mau memotong gajiku?"
"Tidak, Anin. Besok aku akan langsung melunasi hutang orangtuamu, tapi dengan syarat, kau harus mau menikah denganku."
Brugh!
Tas yang ada di pegangan Anin terjatuh begitu saja karena keterkejutan.
"M—menikah?" tanyanya terbata.
"Hm, bagaimana? Tidak perlu buru-buru, Anin. Aku beri kesempatan sampai besok siang, dan kau harus berikan jawabannya."
Anindira terdiam, otaknya tidak bisa berpikir jernih.
"Aku pergi dulu, kau harus memikirkannya baik-baik sebelum mengambil keputusan." Daffa tersenyum lalu pergi dari sana.
'Menikah? Bahkan aku belum memikirkan tentang itu.' ucap Anindira dalam hati.
******
BERSAMBUNG
mudah2 an mereka saling menerima 1 sama lainnya