Sekelompok anak muda beranggotakan Rey Anne dan Nabila merupakan pecinta sepak bola dan sudah tergabung ke kelompok suporter sejak lama sejak mereka bertiga masih satu sekolah SMK yang sama
Mereka bertiga sama-sama tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi karena terbentur biaya kala itu Akhirnya Anne melamar kerja ke sebuah outlet yang menjual sparepart atau aksesories handphone Sedangkan Rey dan Nabila mereka berdua melamar ke perusahaan jasa percetakan
Waktu terus berlanjut ketika team kesayangan mereka mengadakan pertandingan away dengan lawannya di Surabaya Mereka pun akhirnya berangkat juga ke Surabaya hanya demi mendukung team kesayangannya bertanding
Mereka berangkat dengan menumpang kereta kelas ekonomi karena tarifnya yang cukup terjangkau Cukuplah bagi mereka yang mempunyai dana pas-pasan
Ketika sudah sampai tujuan yaitu stadion Gelora Bung Tomo hal yang terduga terjadi temannya Mas Dwi yang merupakan anggota kelompok suporter hijau itu naksir Anne temannya Rey.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanyrosa93, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makan Siang Bareng
Anne dan Yuda saling melempar bantal kecil yang ada di ruang tamu sambil tertawa pelan, berusaha agar tidak terlalu berisik. Yuda merasa lebih rileks setelah perkenalan tadi, meski tetap ada rasa canggung di hadapan ayah Anne yang masih menatap mereka dengan penuh tanda tanya.
“Anne, jangan main-main di situ. Ajak Yuda makan siang dulu,” suara ibunya terdengar dari arah dapur.
Anne langsung bangkit dan menoleh ke arah Yuda dengan senyum tipis. “Mas, ayo makan dulu.”
Yuda mengangguk dan segera berdiri. “Wah, kebetulan. Mas sudah lapar dari tadi.”
Mereka berdua berjalan menuju ruang makan. Di meja sudah tersaji hidangan sederhana, tapi aromanya menggugah selera. Ada nasi hangat, sayur asem, ayam goreng, tempe, tahu, dan sambal yang tampak menggoda.
“Maaf ya, Yuda, cuma masakan sederhana,” kata ibu Anne dengan senyum ramah.
“Wah, justru ini favorit saya, Bu. Masakan rumah seperti ini selalu lebih enak,” jawab Yuda jujur.
Mereka pun duduk bersama. Anne duduk di samping ibunya, sementara Yuda berhadapan langsung dengan ayah Anne. Suasana makan siang awalnya terasa hening, hanya terdengar suara sendok dan piring beradu. Yuda berusaha untuk tetap tenang, meskipun ia bisa merasakan tatapan ayah Anne yang masih mengamatinya.
“Kamu kerja di mana, Yuda?” tanya ayah Anne tiba-tiba, memecah keheningan.
Yuda menelan makanannya pelan sebelum menjawab, “Saya kerja di Surabaya, Pak, di perusahaan SPBU . Saya bagian administrasi kantor.”
Ayah Anne mengangguk, tampak berpikir. “Sudah lama?”
“Baru sekitar tiga tahun, Pak,” jawab Yuda sopan.
Ayah Anne masih belum berbicara lagi, tetapi dari raut wajahnya, Yuda bisa menebak bahwa beliau sedang menilai dirinya.
“Mas, ini sambalnya coba deh,” Anne berusaha mencairkan suasana dengan mengambil sedikit sambal dan meletakkannya di piring Yuda.
Yuda tersenyum. “Wah, kelihatannya pedas banget.”
“Iya, hati-hati ya,” ujar Anne sambil terkekeh.
Yuda mencoba sedikit sambalnya dan langsung merasa lidahnya terbakar. Matanya membelalak, dan Anne tertawa pelan melihat ekspresinya.
“Pedas, ya?” ibu Anne ikut tertawa kecil.
“Banget, Bu. Tapi enak,” kata Yuda sambil berusaha tetap santai.
Setelah makan siang selesai, Yuda membantu Anne membereskan meja. Ibunya tampak senang melihat Yuda yang tidak canggung membantu pekerjaan rumah.
Setelah semuanya selesai, mereka kembali ke ruang tamu. Ayah Anne duduk di kursinya, sementara ibu Anne ikut menemani.
“Jadi, Yuda,” kata ayah Anne akhirnya, “kamu ini mau serius sama Anne?”
Pertanyaan itu membuat Anne terkejut dan langsung menatap Yuda. Begitu pula dengan ibunya yang tampak terkejut, meskipun tak bisa menyembunyikan senyum kecil.
Yuda menarik napas pelan. Ia sudah menduga pertanyaan ini akan muncul cepat atau lambat.
“Jujur, Pak,” Yuda menatap mata ayah Anne dengan yakin. “Saya memang punya niat serius dengan Anne. Saya belum tahu kapan waktunya, tapi saya ingin mengenal Anne lebih jauh dan membangun hubungan yang baik, termasuk dengan keluarga Anne.”
Ayah Anne masih menatapnya tajam. “Kamu siap bertanggung jawab?”
Yuda mengangguk mantap. “InsyaAllah, Pak. Saya sadar ini bukan hal yang main-main.”
Anne menundukkan wajahnya, pipinya sedikit merona. Ia tidak menyangka Yuda akan menjawab dengan setegas itu.
Ayah Anne akhirnya menghela napas, lalu tersenyum tipis. “Baik. Tapi ingat, saya dan istri saya hanya ingin yang terbaik untuk anak kami.”
“InsyaAllah, Pak,” jawab Yuda dengan hormat.
Suasana akhirnya mencair. Ibunya Anne tersenyum lega, sementara Anne masih merasa campuran antara malu dan bahagia.
Hari itu berlalu dengan Yuda yang semakin akrab dengan keluarga Anne. Hingga sore menjelang, Yuda pun berpamitan untuk kembali ke penginapan.
“Terima kasih banyak, Bu, Pak, sudah menerima saya dengan baik,” kata Yuda sambil menyalami mereka.
“Iya, hati-hati ya,” ujar ibu Anne dengan senyum hangat.
Anne mengantar Yuda sampai ke depan rumah.
“Mas, makasih ya sudah mau ke sini,” katanya pelan.
Yuda tersenyum. “Mas yang harusnya makasih. Rasanya senang bisa mengenal keluarga Anne.”
Anne tersenyum malu. “Mas, kapan ke sini lagi?”
Yuda tertawa kecil. “Secepatnya. Mas juga pengen sering ketemu Anne.”
Mereka saling tersenyum sebelum akhirnya Yuda melangkah pergi, meninggalkan Anne yang masih berdiri di depan rumah dengan perasaan berbunga-bunga.
Anne menatap punggung Yuda yang semakin menjauh, matanya berbinar penuh harapan. Ada kehangatan yang masih tertinggal di dadanya, sebuah perasaan yang sulit dijelaskan, namun begitu nyata. Ia menghela napas pelan, lalu mengusap kedua lengannya, berusaha menenangkan dirinya sendiri.
Beberapa menit kemudian, ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi muncul: taksi online yang dipesankan untuk Yuda telah tiba di lokasi tujuan. Anne tersenyum tipis, merasa lega bahwa Yuda akan segera sampai di terminal dengan selamat.
Namun, di balik rasa lega itu, ada sedikit perasaan kosong. Rumah yang tadi terasa hangat dengan kehadiran Yuda kini mendadak sepi. Ia berjalan masuk kembali, menuju ruang tamu tempat kedua orang tuanya masih duduk berbincang.
“Yuda anaknya baik, ya,” komentar ibu Anne sambil tersenyum. “Kelihatan sopan dan menghormati orang tua.”
Anne mengangguk, hatinya menghangat. “Iya, Bu. Mas Yuda memang orangnya baik.”
Ayahnya menatapnya sekilas. “Dia juga kelihatan serius sama kamu. Kamu yakin dengan dia?”
Anne sedikit tersipu mendengar pertanyaan itu. Ia tidak langsung menjawab, hanya menunduk dan tersenyum. “Mas Yuda orang yang baik, Ayah. Kami masih saling mengenal lebih jauh.”
Ayah Anne mengangguk pelan. “Yang penting, kalau memang serius, jalani dengan baik. Jangan buru-buru, tapi juga jangan main-main.”
Anne mengerti maksud ayahnya. Ia mengangguk, lalu berpamitan untuk masuk ke kamarnya. Sesampainya di dalam kamar, ia merebahkan diri di atas kasur, menatap langit-langit kamar dengan senyum yang masih tersisa di wajahnya.
Tak butuh waktu lama sebelum ponselnya kembali bergetar. Ada pesan dari Yuda.
Yuda: “Mas udah sampai di terminal. Sebentar lagi naik bus.”
Anne segera membalas.
Anne: “Syukurlah, Mas. Hati-hati di jalan ya.”
Yuda: “Iya, Anne. Mas senang banget bisa ketemu kamu dan keluargamu. Rasanya makin yakin kalau Anne orang yang tepat buat Mas.”
Jantung Anne berdegup lebih kencang membaca pesan itu. Ia menggigit bibirnya, menahan senyum yang semakin lebar. Ia membalas dengan hati-hati.
Anne: “Makasih, Mas. Aku juga senang bisa ketemu Mas.”
Tak lama, Yuda mengirim balasan lagi.
Yuda: “Kalau gitu, Mas gak akan lama-lama jauh dari Anne. Secepatnya Mas ke sana lagi.”
Anne menatap layar ponselnya lama, senyumnya semakin lebar. Ada harapan yang tumbuh dalam hatinya.
Ia tahu, ini bukan hanya perasaan sesaat. Ada sesuatu yang lebih dalam antara dirinya dan Yuda. Sesuatu yang perlahan tumbuh menjadi lebih kuat.
Malam itu, Anne tidur dengan hati yang lebih ringan dan bahagia, menantikan hari-hari berikutnya yang mungkin akan semakin indah.
***