Cintia tumbuh di lingkungan yang penuh luka—bukan cinta yang ia kenal, melainkan pukulan, hinaan, dan pengkhianatan. Sejak kecil, hidupnya adalah derita tanpa akhir, membuatnya membangun dinding kebencian yang tebal. Saat dewasa, satu hal yang menjadi tujuannya: balas dendam.
Dengan cermat, ia merancang kehancuran bagi mereka yang pernah menyakitinya. Namun, semakin dalam ia melangkah, semakin ia terseret dalam kobaran api yang ia nyalakan sendiri. Apakah balas dendam akan menjadi kemenangan yang ia dambakan, atau justru menjadi neraka yang menelannya hidup-hidup?
Ketika masa lalu kembali menghantui dan batas antara korban serta pelaku mulai kabur, Cintia dihadapkan pada pilihan: terus membakar atau memadamkan api sebelum semuanya terlambat.
Ikuti terus kisah Cintia...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maurahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4 HUBUNGAN YANG MULAI TERJALIN.
“Tapi kenapa kamu cuma diam? Aku cuma tanya, itu salah, ya?” Suara pria itu memecah keheningan di toko kecil tempat Cintia bekerja. Suaranya tegas, tapi tak terlalu keras. Ada nada penasaran yang bercampur dengan sedikit kesal.
Cintia berhenti menyusun kaleng-kaleng susu di rak. Dia menoleh perlahan, menatap pria itu dengan tatapan datar. Araf, pelanggan yang akhir-akhir ini sering datang ke toko, berdiri di depan meja kasir, menatapnya dengan alis terangkat.
“Aku nggak ngerti maksud kamu,” jawab Cintia akhirnya, suaranya dingin, tapi pandangannya tetap fokus pada gerak-gerik Araf.
“Yang aku maksud, kenapa kamu selalu kelihatan... apa ya? Kaya nggak peduli apa-apa. Kaya dunia ini nggak ada yang menarik buat kamu,” ujar Araf, sambil menyilangkan tangan di depan dadanya. “Aku udah sering lihat kamu di sini. Kamu selalu dengar cerita pelanggan, tapi nggak pernah cerita balik. Kaya kamu nggak mau ikut terlibat.”
Cintia menghela napas. Pria ini terlalu penasaran, pikirnya. Tapi, dia tak bisa membiarkan rasa frustrasi itu terlihat. Sebaliknya, dia memilih untuk menjawab, “Aku cuma kerja di sini. Dengar cerita pelanggan itu bagian dari kerjaanku. Lagian, aku nggak lihat ada gunanya aku cerita balik ke mereka. Itu bukan urusan mereka.”
Araf tersenyum kecil, seolah menikmati jawaban itu. “Kamu tahu, aku pikir kamu lebih dari sekadar penjaga toko. Kamu pintar menyimak. Tapi kamu juga pintar menghindar.”
Cintia tak menjawab. Dia kembali menyusun kaleng-kaleng susu di rak, pura-pura sibuk. Tapi dalam kepalanya, dia mulai bertanya-tanya siapa sebenarnya pria ini. Araf bukan sekadar pelanggan biasa. Dia terlalu sering datang, terlalu sering mengajaknya bicara. Dan sekarang, dia mulai bertanya hal-hal yang terlalu pribadi.
“Apa kamu nggak penasaran sama hidup orang lain?” tanya Araf lagi, kali ini nadanya lebih santai. “Kamu dengar cerita mereka, tapi apa kamu pernah benar-benar ingin tahu lebih dalam?”
Cintia menoleh lagi, kali ini dengan tatapan tajam. “Kamu suka banget, ya, nanya-nanya?”
Araf tertawa kecil, seolah tak terpengaruh oleh ketusnya nada suara Cintia. “Mungkin. Tapi aku cuma penasaran sama kamu. Kamu beda.”
“Beda gimana?”
“Kamu nggak seperti orang-orang di sini. Mereka biasanya suka cerita tentang hidup mereka, suka curhat. Tapi kamu selalu diam. Kaya ada sesuatu yang kamu sembunyikan.”
Cintia terdiam sejenak. Dia tahu Araf mencoba memancing sesuatu dari dirinya, tapi dia tak akan jatuh ke dalam perangkap itu. Dia terlalu pintar untuk itu. “Aku cuma nggak suka ngomong banyak,” jawabnya singkat. “Kalau nggak ada yang penting, aku nggak akan bilang apa-apa.”
Araf mengangguk pelan, seolah menerima jawaban itu. Tapi senyumnya menunjukkan bahwa dia belum puas. “Oke. Kalau begitu, aku bakal jadi pelanggan tetap di sini. Siapa tahu suatu saat kamu mau cerita sesuatu.”
Cintia mengangkat bahu, tak ingin terlibat lebih jauh. “Terserah kamu.”
***
Beberapa hari berikutnya, Araf benar-benar menepati ucapannya. Dia datang hampir setiap hari, membeli barang-barang kecil yang sebenarnya tak terlalu penting. Kadang hanya sebungkus permen, kadang sebotol air mineral. Tapi setiap kali dia datang, dia selalu menyempatkan diri untuk berbicara dengan Cintia.
Pada awalnya, Cintia merasa terganggu. Araf terlalu banyak bertanya, terlalu banyak bicara. Tapi lama-kelamaan, dia mulai melihat sesuatu yang berbeda dalam diri pria itu. Araf bukan hanya sekadar pria yang suka penasaran. Dia juga cerdas, dan cara bicaranya menunjukkan bahwa dia bisa menjadi orang yang berguna.
Sebuah ide mulai muncul di kepala Cintia. Jika dia bisa membuat Araf percaya padanya, mungkin dia bisa menggunakan pria itu untuk rencananya. Dia butuh seseorang yang bisa membantunya, seseorang yang bisa menjadi alat untuk membalas dendam kepada orang-orang yang telah menyakitinya.
“Aku nggak tahu kenapa kamu masih terus datang ke sini,” kata Cintia suatu hari, saat Araf berdiri di depan meja kasir, seperti biasa.
Araf tersenyum. “Mungkin karena aku suka ngobrol sama kamu.”
Cintia tertawa kecil, meski tanpa emosi. “Aku bahkan nggak banyak ngomong.”
“Itu justru yang bikin menarik,” jawab Araf. “Kamu misterius.”
“Misterius itu cuma kata lain dari nggak mau diganggu,” balas Cintia, mencoba memotong percakapan.
Tapi Araf tak menyerah. “Mungkin. Tapi aku yakin kamu punya cerita yang menarik. Suatu hari nanti, aku bakal dengar cerita itu.”
Cintia tak menjawab. Tapi dalam hatinya, dia mulai merencanakan langkah selanjutnya. Jika dia bisa membuat Araf percaya padanya, mungkin dia bisa menggiring pria itu untuk melakukan apa yang dia inginkan. Tapi dia harus berhati-hati. Araf bukan orang bodoh. Dia harus bermain dengan cerdas.
***
Malam itu, saat toko sudah tutup dan Cintia kembali ke kamarnya yang kecil di atas toko, dia duduk di tepi ranjang, memandangi langit-langit. Pikirannya kembali ke masa kecilnya di Tamansari, tempat dia tinggal bersama ayahnya.
Tamansari adalah tempat di mana mimpi-mimpinya hancur. Di sana, dia belajar bahwa dunia ini tidak adil, bahwa cinta dan kasih sayang hanyalah ilusi. Ayahnya, yang seharusnya menjadi pelindungnya, malah menjadi orang yang paling sering menyakitinya. Dan sekarang, meskipun dia sudah tidak tinggal bersama ayahnya lagi, bayangan masa lalu itu masih menghantuinya.
Cintia mengepalkan tangannya. Dia tidak akan membiarkan masa lalunya mengendalikan hidupnya lagi. Dia akan membalas dendam, tidak hanya kepada ayahnya, tapi juga kepada semua orang yang pernah membuat hidupnya menderita.
Tapi untuk itu, dia butuh bantuan. Dan mungkin, Araf adalah orang yang tepat untuk membantu rencananya.
***
Hari-hari berikutnya, Cintia mulai berubah. Dia mulai lebih ramah kepada Araf, meski hanya sedikit. Dia mulai menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan lebih banyak kata, memberikan sedikit informasi tentang dirinya, tapi tidak terlalu banyak. Dia harus membuat Araf percaya bahwa dia adalah orang yang bisa dipercaya, tapi dia juga harus menjaga jarak, agar pria itu tidak terlalu curiga.
“Kamu pernah tinggal di Tamansari?” tanya Araf suatu hari, saat mereka sedang berbicara di toko.
Cintia terkejut mendengar pertanyaan itu, tapi dia segera menutupi keterkejutannya dengan senyuman kecil. “Iya. Kok kamu tahu?”
“Aku dengar dari salah satu pelanggan di sini,” jawab Araf. “Katanya kamu dulu tinggal di sana sama ayah kamu.”
Cintia hanya mengangguk. Dia tidak ingin membahas terlalu banyak tentang masa lalunya. Tapi dia juga tahu bahwa dia harus memberikan sedikit informasi, agar Araf tidak semakin penasaran.
“Aku nggak tinggal di sana lagi,” katanya singkat. “Udah lama.”
“Kenapa?” tanya Araf, nadanya penuh rasa ingin tahu.
“Ada alasan,” jawab Cintia, mencoba menghindar. “Tapi aku nggak mau ngomongin itu.”
Araf mengangguk pelan, seolah mengerti. “Oke. Aku nggak akan maksa. Tapi kalau suatu saat kamu mau cerita, aku di sini.”
Cintia tersenyum kecil, meski tanpa emosi. Dalam hatinya, dia tahu bahwa Araf mulai percaya padanya. Dan itu adalah langkah pertama menuju rencananya.
***
Suatu malam, Araf datang ke toko lebih larut dari biasanya. Wajahnya terlihat lelah, tapi dia tetap menyempatkan diri untuk berbicara dengan Cintia.
“Kamu kelihatan capek,” kata Cintia, kali ini dengan nada yang sedikit lebih ramah dari biasanya.
Araf tersenyum lemah. “Iya. Kerjaan lagi banyak.”
“Kamu kerja di mana?” tanya Cintia, mencoba menunjukkan rasa tertarik.
“Aku kerja di bengkel,” jawab Araf. “Tapi aku juga suka bantu-bantu temenku yang punya usaha kecil-kecilan. Jadi kadang waktu istirahatku nggak banyak.”
Cintia mengangguk, mencoba menunjukkan bahwa dia mendengarkan. “Kamu nggak capek, bolak-balik ke sini tiap hari?”
Araf tertawa kecil. “Capek sih. Tapi aku suka ngobrol sama kamu. Jadi, ya, nggak apa-apa.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Perkenalan Virtual^^
...----------------...
Cintia Laudya
25 tahun
...----------------...
Araf Luminous
28 tahun
...----------------...
Luna Marsyela.
25 tahun
...----------------...
Raditya Koh
28 tahun
Happy reading..
Tidak ada penulis tanpa pembaca, mohon dukung terus karya Author yah kakak, Like, komen, subscribe dan kalau bisa kasih gift juga yah.. Akan ada give away dari author^^
Terimakasih..
tetel semangat ya Cintia
jadi Mak yg merasa takut tauuu
ambil hikmah dari kejadian dlu. it yg membuat km bertahan smpe skg
sebenarnya Cintia mimpi mu adakah gambaran yg terjadi kelak,rasa luka yg membawa dendam dan rasa dendam yg akan membawa celaka
apa sakit thor
mampir juga ya di cerita aku