Buku Merah Maroon seolah menebar kutukan kebencian bagi siapapun yang membacanya. Kali ini buku itu menginspirasi kasus kejahatan yang terjadi di sebuah kegiatan perkemahan yang dilakukan oleh komunitas pecinta alam.
Kisah lanjutan dari Rumah Tepi Sungai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bung Kus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Bu Anggun
Gery dan Nana mengayun langkah sambil terus bercengkerama. Mereka mengikuti aliran air sungai, menikmati udara sejuk dan aroma lumut yang menyegarkan. Gemericik air pun terdengar menenangkan. Sesekali Nana tertawa ringan saat berbicara dengan Gery.
"Ngobrol denganmu, rasanya seperti berbicara dengan Bapakku," seloroh Nana sambil terkekeh.
"Hah?" Gery mengernyit.
"Jokes mu Bapak-bapak banget soalnya. Garing, kriuk-kriuk," ejek Nana.
"Begitu ya? Apa itu mengganggumu?" tanya Gery salah tingkah.
"Ah tidak, bukan begitu. Kamu memang unik," ucap Nana mengalihkan pandangan. Dia merasa malu jika harus beradu pandang dengan Gery.
"Oh ya, soal sapu tangan yang dipegang Pak Dolah, bagaimana menurutmu?" tanya Gery mengalihkan topik pembicaraan. Ekspresinya berubah muram. Pun demikian dengan Nana.
"Kurasa memang miliknya," jawab Nana singkat. Matanya mengawang jauh.
"Bagaimanapun kejadian itu adalah kecelakaan," sergah Gery. Suaranya bergetar menunjukkan keraguan dan kegundahan.
"Meski begitu bagaimana mungkin kita mendiamkan Aldo hingga sekarang? Kadang-kadang aku bertanya pada diri sendiri, kenapa aku patuh padanya?" Nana menghela napas panjang.
"Kalau soal itu, alasannya karena kebaikan Aldo padaku. Sebuah hutang budi." Ekspresi Gery terlihat sendu.
"Aku bukan berasal dari keluarga yang berada," ucap Gery menghentikan langkah. Matanya beradu pandang dengan Nana. Keduanya kini terpaku di bawah pohon mahoni yang rindang.
"Satu-satunya keahlian yang kumiliki adalah basket. Postur tubuh dan tinggi badanku adalah anugerah. Aku merasa harus memanfaatkannya sebaik mungkin. Akan tetapi untuk bersekolah di tempat yang olahraga basketnya unggul, aku terkendala biaya. Saat masuk di sekolah yang sekarang, kupikir kemampuan basketku akan tamat. Namun ternyata Aldo meminta Ayahnya untuk mendatangkan guru olahraga baru. Basket di sekolah kita akhirnya dua tahun belakangan menjadi disegani. Mungkin bagi sebagian orang itu hal remeh, tetapi bagiku Aldo adalah teman yang paling baik," jelas Gery bersungguh-sungguh.
"Aku dan Yuzi mengenal Aldo sedari SD," sambung Nana setelah Gery selesai bercerita.
"Sebenarnya aku merasa dia anak yang baik. Perubahan dalam sikapnya terlihat saat Ayahnya menikah lagi, setelah kelulusan SMP. Entah apa yang dipikirkannya. Yang pasti bagiku dia ingin mengumpulkan siswa yang kuat untuk membentengi dirinya. Sedangkan anak-anak yang lemah menjadi sasaran kemarahannya. Aku yang mengikutinya terus-menerus mulai merasa diriku berubah menjadi sosok jahat, perundung," lanjut Nana. Gery mengangguk setuju.
"Saat Aldo marah, kesal, membenci seseorang saat itu pula aku juga ikut merasakan hal yang sama. Aku sering memandang Anggoro seperti sampah tak berguna. Aku tahu Aldo membenci bocah itu karena kepintarannya. Bagaimanapun Anggoro menarik perhatian Ayah Aldo. Kebencian Aldo menjalar juga ke hatiku," ujar Gery mengepalkan tangan.
"Tapi kejadian malam itu keterlaluan Gery," sergah Nana. Untuk sesaat Gery memandang gadis itu dengan sorot mata penuh amarah.
"Semua sudah berlalu Nana. Lupakan dan terus bergerak maju. Soal sapu tangan Pak Dolah, tidak ada hubungannya dengan kita," tukas Gery meyakinkan.
Perdebatan terhenti saat terdengar langkah kaki yang diseret mendekat. Seketika tubuh besar Gery mematung. Tenggorokannya tercekat. Selama beberapa detik, Gery menduga hantu penunggu hutan yang mendekatinya.
"Maaf, Anda siapa?" Suara Nana bertanya terdengar jelas dan kuat. Membuat ketegangan Gery menghilang.
"Maaf membuat kalian terkejut. Saya Mak Ijah. Saya bekerja di rumah Bu Anggun," ucap Nenek tua bernama Mak Ijah.
Gery mengalihkan pandangan. Rupanya di balik pohon mahoni tempat dia berdiri sekarang tampak pagar besi berlumut yang mengitari sebuah rumah di tepian sungai. Keasyikan mengobrol dengan Nana, tanpa tersadar Gery berjalan cukup jauh dari tempat perkemahan.
"Kalian pasti siswa SMA yang menyewa lapangan untuk berkemah," tebak Mak Ijah sambil tersenyum. Senyuman yang terlukis di antara kedua pipi yang keriput dan bergelambir entah kenapa terlihat menyeramkan bagi Gery.
"Ada yang kalian butuhkan? Silahkan berkunjung ke rumah Bu Anggun. Tidak usah sungkan," lanjut Mak Ijah.
Gery dan Nana bertukar pandang. Gery mengedikkan bahu.
"Mari," ucap Mak Ijah memutar badan kemudian melangkah ke arah pagar rumah. Gery dan Nana tidak ada pilihan lain. Mereka tidak bisa menolak. Pada akhirnya, Gery dan Nana mengekor nenek tua yang berjalan menggunakan tongkat kayu itu.
Gery memperhatikan Mak Ijah. Pandangannya tertuju pada tongkat kayu yang digunakan sebagai alat bantu untuk berjalan. Bagi Gery tongkat itu terlalu mewah. Kayu yang diukir berbentuk sisik ular dengan pernis yang mengkilap. Bagian ujung yang digunakan untuk menghentak di tanah sedikit runcing dan sepertinya berbahan logam.
Perhatian Gery teralihkan saat kakinya menginjak halaman depan rumah Bu Anggun. Beberapa pohon bonsai berjejer indah di atas rumput hijau yang terawat. Ada kolam berbentuk lingkaran sempurna di tengah halaman dengan dua ikan besar seukuran paha orang dewasa berenang di dalamnya. Gery penasaran dengan jenis ikan berwarna abu-abu tua tersebut. Ada moncong yang tampak bergerigi di bagian mulutnya.
"Jangan masukkan tanganmu ke dalam kolam. Bisa-bisa jarimu putus nanti," ucap Mak Ijah tiba-tiba. Gery langsung mundur beberapa langkah. Nana pun terkekeh.
"Apanya yang lucu?" Gery bersungut-sungut.
"Badanmu besar. Tapi penakut," ejek Nana.
"Ikan jenis Aligator spatulla. Dilarang untuk dipelihara oleh pemerintah. Tentu saja jenis hewan karnivora yang berbahaya," jelas Mak Ijah.
"Kenapa dipelihara padahal tahu jika dilarang? Bukankah berarti yang Anda lakukan melanggar hukum?" protes Gery.
Mak Ijah mengernyit sejenak, kemudian menyeringai.
"Orang yang tinggal di hutan menggunakan hukum rimba," balas Mak Ijah. Gery menelan ludah. Dia ketakutan. Namun detik berikutnya Mak Ijah terkekeh.
"Hanya bercanda kok. Ikan Aligator didapat Bu Anggun dalam keadaan tidak terawat, nyaris mati. Banyak orang di dunia ini yang tidak bertanggungjawab. Menyelundupkan hewan berbahaya dengan dalih untuk koleksi. Akan tetapi saat mereka berada di titik jenuh, mereka hendak membuangnya. Bahkan tidak segan membunuhnya. Bu Anggun mengambil dan merawat hewan yang bernasib sial itu. Hewan yang berbahaya tetapi memiliki hak yang sama untuk hidup di tempat yang nyaman," jelas Mak Ijah. Setelah berbicara demikian, Mak Ijah kembali melangkah masuk ke dalam rumah.
Gery dan Nana terus mengekor. Mereka berdua takjub saat memasuki ruang tamu rumah di tengah hutan milik Bu Anggun. Cat dinding berwarna emas dengan lampu gantung yang mengkilap terang. Di tengah ruangan terdapat sofa besar berbahan beludru dengan warna merah maroon. Tidak jauh dari sofa, terdapat rak buku berbahan kayu yang dipernis serupa dengan tongkat Mak Ijah. Buku yang dipajang disana memiliki warna sampul yang seragam. Warna merah maroon.
"Silahkan duduk," perintah Mak Ijah.
"Kami tidak bisa berlama-lama disini. Nanti teman-teman mencari kami," balas Nana menolak.
"Sebentar saja. Bu Anggun pasti ingin bertemu dengan orang-orang yang menyewa lahannya. Apakah kalian tidak mengerti, orang yang tinggal sendirian di hutan tentu sering merasa kesepian. Saat ada tamu yang berkunjung, pastinya akan sangat menyenangkan," sergah Mak Ijah melangkah menuju ke tangga besar di ujung ruangan.
Wah, ada kuku? Kuku siapa yah 🤔🤔🤔
Mak Ijah kali ya yang grubak-grubuk mutusin kabel..