Ares dan Rara bersahabat baik dari kecil. Tidak mau kehilangan Ares membuat Rara mempertahankan hubungan mereka hanya sebatas sahabat dan memilih Arno menjadi pacarnya. Masalah muncul saat Papa Rara yang diktator menjodohkan Ares dan Rara jatuh sakit. Sikap buruk Arno muncul membuat Rara tidak mempertimbangkan dua kali untuk memutus hubungan seumur jagung mereka. Ares pun hampir menerima perempuan lain karena tidak tahan dengan sikap menyebalkan Rara. Namun demi melindungi Rara ,memenuhi keinginan papa dan membalas Arno. Akhirnya Rara dan Ares menikah. Hari - hari pernikahan mereka dimulai dan Rara menyadari kalau menjadi istri Ares tidak akan membuatnya kehilangan lelaki itu. Lantas bagaimana kelanjutan hubungan mereka yang sebelumnya sahabat menjadi suami istri serta bagaimana jika yang sakit hati menuntut balas?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Calistatj, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 8
“Gimana bisa kayak gini, Ra?” Tanya Papa ketika melihat keadaanku yang menyedihkan. Luka di kening, mata sembap dan hidung merah.
“Rara kecelakaan, Pa”
“Kok bisa? Dari mana kamu bisa kecelakaan?”
“Tempat Arno”
”Yakin kecelakaan bukan dipukul sama lelaki itu?” Papaku memicingkan mata. Dia masih berprasangka buruk setelah mendapati keadaan menyedihkanku.
“Maaf, Om. Ares memang nemuin Rara di tempat kecelakaan. Mobilnya memang nabrak pembatas jalan dan kening Rara luka” Ares menjelaskan.
“Makasih ya, Ares. Rara selalu menyusahkan kamu dan kamu selalu bantu dia. Om tenang kalau ada Ares di hidup Rara”
Ares tersenyum ke arah Papa. “Rara juga selalu ada buat Ares. Jadi, Ares akan selalu jagain Rara. Om, Ares ambil obat dulu ya buat obatin kening Rara”
“Silakan, Res”
Ares mengambil kotak obat di rumahku. Dia tau lebih banyak soal barang - barang di rumah ini dari pada aku. Lelaki itu kembali dengan kotak obatnya. Ares mengeluarkan plester, sedikit alkohol, dan betadin.
“Ini akan sakit… tahan ya, Ra” Ares menuangkan sedikit alkohol ke kapas dan mulai membersihkan lukaku. Aku menggigit bibir bawah. Rasanya sakit sekali. Refleks aku meremas tangan Ares, tapi lelaki itu menahannya.
“Selesai” Kata Ares setelah menutup lukaku dengan plester dan betadin.
“Makasih, Res”
“Ares pamit, Om”
“Makasih Ares”
Setelah ditinggal berdua dengan papa. Aku merasa tanduk papa mulai keluar. Dia menatapku dengan tajam. “Kamu liat… dari segi manapun Ares jauh lebih baik dari lelaki itu. Lelaki sial itu menyakiti kamu sementara Ares mengobati luka kamu. Sadar, Rara… mau sampai kapan kamu bertindak bodoh?”
“Rara baru aja luka loh, Pa. Masa Papa langsung marah sama Rara”
“Papa cuma mau kamu sadar, Rara. Mana yang baik buat kamu dan tidak… kalau kamu nggak tau setidaknya papa tau”
“Rara ke kamar dulu” kataku kesal. Untuk kesekian kalinya papa memang benar tentang segalanya. Aku jadi mulai mempertanyakan kemampuanku menilai sesuatu.
***
Pelajaran olahraga menjadi pelajaran paling santai di sekolah. Di saat para murid lelaki bermain futsal. Murid permepuan seringkali hanya duduk santai di pinggir lapangan setelah selesai melakukan senam. Aku duduk bersila sambil minum jus jeruk yang aku beli dari kantin menunggu jam olah raga habis. Ares sedang menendang bola dan dengan mudah bersarang di gawang lawan. Murid perempuan bisik - bisik mengenai Ares.
“Gila sih… Ares emang ganteng banget ya”
“Dia kalau main bola emang jadi seratus kali lipat lebih ganteng”
“Gimana ya caranya biar bisa jadi pacar Ares?”
Aku melirik mereka sekilas. Aku kenal Ares terlalu baik. Menaklukan lelaki itu tidak mudah. Ares memiliki trust issue dan perempuan yang menyukainya adalah bukan tipenya. Ares pernah bilang kalau dia tidak akan menyukai perempuan yang belum dia kenal lama. Tanpa sadar sebuah bola meluncur ke arahku dengan kencang dan mengenai kepalaku.
”Aghh” Desisku sambil memegang kepalaku yang sakit. Bola itu menghajarku dengan keras.
“Rara” Ares segera berlari ke arahku. “Sakit nggak?”
”Menurut kamu kena bola sekencang itu nggak sakit?”
“Ayo ke uks. Tapi, bentar dulu”
Ares segera berlari lagi ke lapangan dan menarik kerah baju seseorang disana. “Hati - hati lo kalau nendang bola. Kalau Rara sampai pingsan gimana?”
“Sorry, Res gue nggak sengaja”
Dengan kasar Ares melepas kerah baju temannya dan kembali menemuiku.”Ayo”
“Kemana?”
“UKS”
“Ngapain ke UKS? Aku nggak apa - apa”
“Istirahat, Ra… pasti pusing kan kena bola”
Aku sedang mengguyur badanku di bawah shower ketika pikiranku membayangkan kejadian beberapa tahun lalu. Kejadian yang sama dimana Ares yang berlari untuk menolongku dan memastikan apa aku baik - baik saja. Lelaki itu menjadi pahlawan dalam hidupku. Aku mengambil handuk dan mengganti baju tidur.
Aku menangis lagi ketika mengingat pengkhianatan yang baru saja aku terima. Arno adalah pacar pertama yang membuatku merasakan rasanya patah hati. Ternyata sesakit ini rasanya. Aku mengelap air mataku dan turun dari kamar untuk menuju kamar Ares.
Semenjak kejadian terakhir aku memutuskan untuk mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk ke kamar Ares. Pintu dibuka pada ketukan ketiga menampakan wajah tampan Ares dalam balutan kaos putih dan celana training warna abu.
“Tumben ketuk pintu dulu” Katanya heran mendapati pola perilaku yang berubah.
“Ketuk pintu dulu sebelum melihat yang tampak depan”
“Ngapain lo kesini? Ares mengalihkan pembicaraan.
“Gue mau minta temenin minum whisky”
“Hah? Nggak salah?”
“Untuk saat ini alkohol adalah pelarian terbaik” Ucapku menirukan perkataan Ares di setiap kali ada masalah.
Ares menggaruk kepalanya yang tidak gatal.”Mau minum diman, Ra? Pakai baju tidur begitu?”
“Di rumah. Kamu kan punya bar sendiri”
“Kalau di marahin gue nggak mau disalahkan”
“Iya, Res. Ayo jangan banyak bicara”
Aku berbalik badan dan turun ke lantai bawah rumah Ares. Di bawah aku tidak mendapati kehadiran Om Lukman. Sepertinya beliau sudah tidur di jam 11 malam begini, makanya Ares bebas keluar masuk rumah. Aku mengambil duduk di kursi tinggi mini bar rumah Ares. Di lemari kaca kecilnya tersedia berbagai minuman keras. Ares mengambil salah satu botol whisky dan gelas sloki dari sana. Dia menuang sedikit minuman itu ke sloki dan mendorongnya ke arahku, lalu menuang untuk dirinya.
“Cheers” Kataku sambil mengangkat gelas.
“Cheers” Balas Ares sambil langsung menenggak minumanya.
Dari dulu aku tidak terlalu suka alkohol. Aku menganggap kalau minuman keras tidak akan menyelesaikan masalah yang ada. Tapi, kali ini aku hanya ingin kalau rasa sakit yang aku rasa teratasi sedikit saja, jadi aku terus menerus meminumnya.
“Ra, udah” Aku mendengar suara Ares samar - samar dan gelas yang aku pegang erat - erat diambil. Kepalaku terasa berputar. Aku meletakan kepalaku di atas meja dan memejamkan mata.
“Ra, ayo gue anter pulang”
Aku mengangkat kepalaku dan memandang wajah Ares dari dekat. “Res… nggak mau”
“Nggak mau apa?”
“Nggak mau pulang…aku masih mau minum…Res” Aku mencengkram kaos Ares dan menariknya mendekat. Aku mulai menangis. Perasaan ini antara ada dan tiada. Antara aku sadar atau tidak. Tapi, tidak bisa aku kendalikan sama sekali. Aku menatap Ares lagi dengan mata berkaca - kaca. “Ayo nikah. Ayo kita nikah”
“Ra, ini lo udah mabuk. Ayo pulang sebelum lo bikin ribut”
***
Aku terbangun dan memandang sekitar aku berada di dalam kamarku. Jam menunjukan pukul 5 pagi. Pengarku belum hilang. Aku memaksa berjalan menuju kamar mandi untuk membasuh wajahku. Aku memandangi cermin yang menampakan wajahku. Aku berusaha mengingat kejadian terakhir yang terjadi sebelum aku mabuk.
“Ra, ini lo udah mabuk. Ayo pulang sebelum lo bikin ribut”
Ares membopohku ke rumah diam - diam. Ares membekap mulutku untuk menghindari potensi keributan yang terjadi karena aku berada di bawah kesadaran. Ares membaringkan aku di atas kasur dan menarik selimut untuku. Aku menarik kaos Ares dan menariknya ke arahku. Aku mencium lembut bibir tipis Ares dengan mata terpejam “Ayo nikah, Res. Cuma kamu yang aku percaya”
“Iya”
Ingatanku kembali dan aku membekap kedua mulutku. Kepalaku yang pusing seketika mulai tidak terasa digantikan dengan wajah merah padam. Sial apa yang aku lakukan. Aku benar - benar ingin berteriak. Keadaan sadar saja aku sudah sering menyusahkan Ares ternyata mabuk membuatku lebih menyusahkannya. Aku menggigit bibir bawahku. Bagaimana aku menghadapi Ares esok hari?
“Oke, pura - pura nggak inget!”