Seorang anak terlahir tanpa bakat sama sekali di dunia yang keras, di mana kekuatan dan kemampuan ilmu kanuragan menjadi tolak ukurnya.
Siapa sangka takdir berbicara lain, dia menemukan sebuah kitab kuno dan bertemu dengan gurunya ketika terjatuh ke dalam sebuah jurang yang dalam dan terkenal angker di saat dia meninggalkan desanya yang sedang terjadi perampokan dan membuat kedua orang tuanya terbunuh.
Sebelum Moksa, sang guru memberinya tugas untuk mengumpulkan 4 pusaka dan juga mencari Pedang Api yang merupakan pusaka terkuat di belahan bumi manapun. Dialah sang terpilih yang akan menjadi penerus Pendekar Dewa Api selanjutnya untuk memberikan kedamaian di bumi Mampukah Ranubaya membalaskan dendamnya dan juga memenuhi tugas yang diberikan gurunya? apakah ranu baya sanggup menghadapi nya semua. ikuti kisah ranu baya hanya ada di LEGENDA PENDEKAR DEWA API
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fikri Anja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 24
Dia kemudian mengalirkan tenaga dalam jumlah besar ke tangannya untuk segera mengakhiri pertarungan.
'Pukulan Tanpo Wujud!" teriaknya.
Marni yang mengira Ranu melakukan Jurus yang sama langsung membalikkan badannya untuk menahan serangan dari belakang. Namun dia dibuat kecele untuk kedua kalinya karena Ranu tidak mengubah arah serangannya seperti yang tadi.
"Bugh!"
"Aaaaakkhhh!"
Marni terlempar jauh ke depan dan membentur pohon besar yang berdiri dengan kokoh. Tubuhnya jatuh lunglai ke tanah dengan kepala pecah.
"Marniii...!!!"terdengar suara orang tua yang berteriak
Terdengar suara Woto berteriak begitu keras memanggil nama pasangannya.
Woto berlari mendekati jasad Marni yang sudah tidak bernyawa. Diangkatnya tubuh pasangannya tersebut dan dipandangnya untuk yang terakhir kali. Kesedihan dan kemarahan jelas tergambar di dalam matanya yang sudah berlinang air mata.
Lelaki separuh baya itu kemudian menurunkan tubuh Marni kembali dan lalu menolehkan kepalanya ke arah Ranu yang berdiri mematung, "Kau harus membayar atas kematian Marni!"
"Kenapa aku yang kau salahkan? Dia yang lebih dahulu menyerangku. Apa tidak boleh aku membela diri?" balas Ranu tanpa merasa bersalah sedikitpun.
"Alasan! Jika kau menyerahkan gadis kecil itu baik-baik, tentu tidak akan ada kejadian seperti ini. Nyawa harus dibalas dengan nyawa."
Bukannya menyahuti ucapan Woto, Ranu malah berjalan menjauh dengan santai tanpa beban.
"Berhenti kau! Jangan pernah mencoba untuk lari dariku!"
Ranu berhenti dan membalikkan badannya. Dia melihat Woto yang berlari menuju ke arahnya dengan tatapan tajam mengintimidasi. Di tangannya sebuah pedang bergagang kepala ular berwarna hijau. Bagi orang lain, tatapan tajam tersebut mungkin terlihat menakutkan, tapi tidak bagi Ranu. Dengan gaya tengilnya, dia malah menatap Woto dengan tajam seolah ingin memastikan sesuatu.
"Sepertinya kau perlu menemui tabib untuk mengobati matamu yang bermasalah. Sudah jelas aku berjalan, eeeeh malah kau bilang lari."berondong Ranu
"Kadal buntung...! Akan kubunuh kau!!!" teriak Woto sambil mengarahkan ujung bilah pedangnya ke arah Ranu.
Sedetik kemudian, Woto membuktikan ucapannya, dia bergerak melakukan serangan secara cepat menggunakan kombinasi jurus yang dimilikinya. Dengan gesit dan lincah, Ranu menghindari serangan tersebut lalu meloncat dan berlari menuju jasad Marni yang terbujur di bawah pohon. Woto langsung mengejar pemuda tersebut hendak memberikan serangan berikutnya.
Dalam sekali lompatan, Ranu meraih pedang hijau yang tergeletak disamping jasad marni dan kemudian melakukan tangkisan untuk menahan pedang Woto yang mengincar lehernya.
"Bedebah! Kembalikan pedang itu ...!"
"Enak saja kau bicara begitu...! Apakah adil namanya kau bertarung membawa pedang sedangkan aku dengan tangan kosong? Pendekar macam apa kau ini?" sahut Ranu dengan cuek.
"Cepat kembalikan!"ucap woto
"Ambil saja sendiri kalau bisa!"balas ranu dengan tengil nya
Tak mau berlama-lama lagi menghadapi kebengalan pemuda di depannya, Woto kembali menyerang Ranu dengan frontal namun serangannya begitu rapi. Berbeda dengan Marni yang sedikit ceroboh.
Meski kalah secara pengalaman, namun dengan kecepatannya, Ranu bisa menahan serangan Woto dan sesekali melakukan serangan balik cepat mengincar cela pertahanan Woto yang terbuka.
Ujung pedang Marni yang digunakan Ranu mengincar perut lalu bergerak ke atas mengarah leher dengan cepat, namun Woto bisa mengantisipasi serangan tersebut dengan melakukan tangkisan.
Tidak cukup sampai di situ, tendangan kaki kanannya langsung menerjang perut lawan. Namun dia langsung menarik serangannya dan melompat mundur, karena pedang Woto sudah bergerak mengayun mengincar pahanya.
"Ternyata kau lumayan juga, Kadal buntung!"
"Terima kasih. Dan itu berarti kau yang tidak lumayan, Biawak tua!"ejek Ranu
"Bangsat ...! Mati kau ...!" teriak Woto lalu bergerak melakukan serangan.
Ranu teringat ucapan Surojoyo kala itu agar menggunakan kelemahan lawan sebagai kekuatannya. Dia akan berusaha memanfaatkan nasihat tersebut kali ini karena melihat emosi Woto yang begitu tinggi.
"Serang terus, Biawak tua! masa lawan bocah ingusan aja kerepotan?" ejek Ranu sambil menghindari tebasan pedang Woto yang mengarah ke perutnya.
Woto tidak peduli ucapan Ranu. Dia sudah siap mengeluarkan jurus berikutnya untuk membungkam mulut pemuda tersebut.
Tubuh lelaki setengah baya itu bergetar hebat untuk beberapa saat sebelum dari tubuhnya keluar asap berwarna hijau yang berbau busuk,"Jurusku ini akan membuatmu menjadi bangkai dalam sekejap, Bocah gendeng!"
Tubuh Woto kembali bergetar lalu menyerang Ranu dengan ganasnya. Seiring asap hijau yang terus keluar dari tubuhnya, kecepatan lelaki setengah baya tersebut juga semakin bertambah. Ranu hanya bisa bergerak menghindar berusaha menjauhi lawannya karena tidak tahan dengan bau dari asap hijau yang keluar dari tubuh Woto
"Busuk sekali baunya," gumam Ranu dalam hati. Semakin banyak dia menghisap asap tersebut kepalanya mulai terasa berat, pusing dan gerakannya sedikit sempoyongan.
"Hahaha...terus hisap racun ular ini, Bocah tengik." Woto tertawa lantang.
"Sialan, ternyata asap itu beracun!" umpatnya dalam hati.
Teringat dengan kejadian saat tangan kanannya yang bisa menyembuhkan luka beracun akibat sayatan pedang Marni, sambil terus bergerak menghindari serangan Woto, Ranu menempelkan pergelangan tangan kanannya ke hidungnya. Sesaat kemudian, pergelangan tangan kanannya tersebut mengeluarkan cahaya merah yang langsung terhisap melalui hidungnya dan memasuki paru-parunya.
Ranu bisa merasakan ada gejolak di dalam tubuhnya seperti sebuah pertarungan, hingga akhirnya dia memuntahkan cairan berwarna hijau tua yang berbau sangat busuk.
Berangsur, rasa pusing yang dirasakannya menghilang dan tubuhnya terlihat segar kembali, "Ganti aku yang akan menyerangmu, Ular tua! Rasakan sendiri racunmu!"
Woto tidak percaya jika jurus racun terkuatnya bisa dikendalikan dengan mudah oleh pemuda di depannya. Benaknya dipenuhi berbagai pertanyaan, siapa pemuda yang kini menjadi lawannya?
Ranu bergerak dengan ajian Saipi Angin dan dipadukan dengan gerakan jurus Pedang Segoro Geni memberikan serangan yang membuat Woto terdesak dengan cepat.
Secepat apapun Woto bergerak, Ranu bisa mengunggulinya.
Luka demi luka sayatan demi sayatan sudah mulai menghiasi tubuh Woto. Darah mengalir perlahan membasahi pakaian yang dipakainya.
"Bedebah ...! Kalau begini terus aku bisa kalah," rutuknya dalam hati.
Woto berpikir keras mencari strategi untuk bisa mengalahkan pemuda yang diluar dugaannya bisa membuatnya terdesak bahkan terluka.
Andaikata Marni masih hidup, tentunya dia mengeluarkan formasi Sergapan Ular Berbisa, yang menjadi andalan mereka selama mengarungi dunia persilatan.
Dia juga sempat merasa menyesal karena saat mencari gadis kecil di desa tersebut, mereka berdua harus mencari secara terpisah. Padahal selama ini mereka kemana-mana selalu bersama.
"Terpaksa formasi itu harus kupakai sendiri."
Woto tidak bisa berpikir lebih jauh karena setiap jurus yang dikeluarkannya selalu bisa dipatahkan. Dia akhirnya memutuskan menggunakan formasi andalannya tersebut sendirian, meski tahu hasilnya tidak akan bisa maksimal.
Gerakan pedang Woto kemudian bergerak meliuk liuk bagaikan gerakan ular yang hendak menerkam mangsanya.
Ranu tersenyum lalu bergerak memapak serangan Woto yang mengarah kepadanya.
Benturan demi benturan dua pedang yang sama pun acapkali terjadi dan menimbulkan percikan bunga api.
Woto sadar serangan ini adalah kesempatan terakhirnya, dia terus berusaha memaksimalkan serangannya dengan mengeluarkan tenaga dalamnya dengan penuh agar bisa mengalahkan lawannya.
Bagi Ranu yang baru dua kali ini mengalami pertarungan panjang, tentu juga sudah merasa lelah. Kekuatan fisiknya juga secara perlahan menurun drastis. Untungnya dia menutupinya dengan mengalirkan sedikit tenaga dalam Dewa Api agar bisa terus bergerak dengan lincah.
Sesaat dia berpikir menggunakan jurus Pukulan Tanpo Wujud tapi dengan menggunakan pedang yang dipegangnya.
"Aku harus mencobanya!"
Gerakan Ranu pun berubah drastis. Dari yang awalnya menyerang jarak dekat, dia lalu melompat jauh ke belakang dan kemudian dengan bertumpu menggunakan kaki kanannya sebagai tolakan, dia melesat memberikan serangan dengan jurus percobaannya.
"Pedang tanpo Wujud!" Ranu berteriak dengan keras sambil menyabetkan pedang yang dipegangnya.
Woto sampai dibuat bingung karena lawannya menyerang ruang kosong yang bahkan berjarak beberapa langkah darinya.
Ranu tersenyum kecut karena percobaannya tidak berhasil. Tidak ada dampak apapun dari eksperimen jurus yang dikeluarkannya.
"Untung Geni tidak ikut, bisa-bisa aku habis diketawai makhluk gila itu," pikirnya.
Tidak mau menyerah dengan percobaannya, Kali ini Ranu mengalirkan tenaga dalamnya ke dalam bilah pedang Marni yang dipakainya.
"Pedang tanpo Wujud!"
Woto yang mengira Ranu sudah gila, membiarkan saja serangan pemuda tersebut yang menebas ruang kosong.