Asmara di dua dimensi, ternyata benar adanya.
Bukti nyata yang di alami Widuri. Perempuan berusia 19 tahun itu mengalami rentetan keanehan setiap hari. Widuri kerap kali mendengar bisikan-bisikan masa depan yang tepat sesuai peristiwa yang terjadi di depan mata.
Mimpi berulang kali yang bertemu dengan pria tampan, membawanya ke tempat yang asing namun menenangkan. Widuri asyik dengan kesendiriannya, bahkan ia selalu menanti malam hari untuk segera tidur, agar bertemu dengan sosok pria yang ia anggap kekasihnya itu.
Puncaknya, 6 bulan berturut-turut, kejadian aneh makin menggila. Sang Nenek merasakan jika Widuri sedang tidak baik-baik saja. Wanita berusia lanjut itu membawa cucunya ke dukun, dan ternyata Widuri sudah ...
Ikuti kisah Widuri bersama sosok pria nya ...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ALNA SELVIATA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 Kematian Yayang
Jenazah Yayang sudah dimandikan. Para tante dan Ibu Yayang keluar dari ruang pemandian jenazah dengan wajah tertekuk, sedih, dan ada sesuatu yang terjadi. Tante Welas gemetaran. Dia masih ketakutan setelah melihat keadaan putrinya.
"Ada apa? kok tante Welas gitu mukanya?" bisik Irma pada Ibunya.
"Lah, dia bersedih toh, anak semata wayangnya meninggal dunia," ketus Laila. Ibu kandung Irma.
"Tap kok aneh ya, Bu."
"Hush! Kamu itu! Enggak usah di anggap aneh!"
Saat itu ada Widuri dan Zaria duduk di sudut ruang tamu. Karena ingin melihat saudaranya untuk terakhir kali, Zaria pun mengajaknya Widuri masuk ke dalam kamar Yayang. Didalam kamar prosesi pembungkusan kain kafan dilakukan oleh pihak yan berwenang.
Zaria dan Widuri terkesiap ketika melihat bentuk jenazah Yayang yang menguning. Seluruh tubuh Yayang berwarna kuning telur.
"Kok warnanya kayak gitu sih, Widuri?" Zaria terkejut sampai mencengkram lengan Widuri.
"Jangan tegur keras-keras, mungkin karena efek kecelakaan."
Widuri mengajak Zaria keluar kamar, sebab para tantenya meminta pintu kamar ditutup rapat. Mereka takut jika keadaan jenazah Yayang malah dijadikan bahan gunjingan buruk oleh warga di kampungnya.
"Widuri, kenapa jenazah Yayang kok aneh ya? masa kecelakaan kayak gitu," ujar Zaria yang masih shock.
Widuri tak menyahut. Tatapannya kosong, memikirkan kondisi jenazah sepupunya.
"Mungkinkah, Yayang itu masih tidak terima dengan pemaksaan orang tuanya?" tanya Zaria lagi.
"Mungkin saja."
Widuri teringat dengan cerita nenek Satia tentang perjodohan yang dipaksakan kepada Yayang. Tante Welas menjodohkan putrinya dengan pria yang lebih tua karena harta si pria berlimpah. Mendiang Yayang sempat menolak, bahkan sempat kabur dari rumah, tetapi segala cara Welas lakukan, sampai hendak bunuh diri jika Yayang tak sampai kembali ke rumah.
Sebagai anak, Yayang memutuskan kembali lalu menerima pinangan pria itu secara terpaksa. Namun, naas pernikahan belum diadakan tetapi Yayang pergi melayukan janur kuningnya yang belum sempat bermekaran di hari pestanya.
"Nenek!" Seru Zaria setelah melihat Nenek Satia keluar dari kamar.
"Kalian mau juga mengantar ke pemakaman?" tanya Nenek Satia.
"Iya, aku mau ikut." Jawan Zaria.
Widuri menggelengkan kepala. "Saya tidak bisa. Kepala saya pusing sejak tadi. Kamu saja ya, temani nenek," kata Widuri.
Wajah Widuri memang pucat sejak tadi. Kepalanya pusing, pundaknya berat. Energinya terkuras oleh pikiran rumit dibenaknya.
"Ya sudah, kamu pulang ke rumah istirahat dulu. Semalaman kamu tidka tidur." Imbuh Nenek Satia.
Widuri mengiyakan. Dia pamit kepada beberapa sanak-saudaranya yang ada di rumah duka, setelah itu pulang ke rumah neneknya.
Nenek Satia beriringan dengan Zaria mengantar jenazah Yayang ke peristirahatan terakhir. Zaria masih penasaran dengan keadaan jenazah Yayang yang ia rasa tidak wajar.
"Kenapa ya, Nek? kenapa Yayang begitu?" tanya Zaria dengan suara pelan.
Sambil mengimbangi langkah Zaria, Nenek Satia akan menjawab, ia tidak ingin cucu-cucunya menganggap keadaan jenazah Yayang suatu azab.
"Itu sebuah pertanda jika Yayang sedang bahagia, dia kan tidak mau menikah dengan pria itu. Tapi, kamu tahu tante mu, suka memaksa kehendaknya," jelas Nenek Satia.
"Pertanda apa, Nek?" tanya Zaria yang belum paham.
Nenek Satia menghentikan langkahnya. Dia melirik ke kanan-kiri, setelah itu menghela nafas berat.
"Entah apa yang Yayang perbuat saat dia pergi dari rumahnya. Dia pergi selama satu bulan, dan Yayang tidak bilang dia dari mana, hanya Yayang yang tahu, yang jelas itu bukan azab. Jika ada yang tanya, jelaskan jika itu hanya pengaruh dari obat rumah sakit," kata Nenek Satia yang menjelaskan sedikit dibarengi bahasa daerah setempat.
Tiba-tiba bulu tengkuk Zaria meremang. Hawa disekitar pemakaman menjadi sesak. Seperti dipenuhi orang-orang yang berdesakan. Padahal, saat itu hanya beberapa keluarga yang mengantar Yayang.
"Kenapa sesak sekali ya?" Zaria memilih duduk di atas batu.
***
Widuri usai mandi berjalan menutup pintu depan. Dia merasa sejak tadi ada yang memantaunya. Namun, perasaan itu ia enyahkan. Rasa pusing itu sudah berkurang.
"Aku ingin tidur lebih lama, aku ingin bertemu suamiku," gumam Widuri.
Sengaja ia tidur lebih awal agar dapat bertemu Kailash lebih lama. Widuri ingin menceritakan segala kejanggalan yang ia alami. Ia yakin, Kailash tempat terbaik untuk menceritakan hal-hal diluar logika.
"Aku ingin bertemu kamu sayang," ucap Widuri lalu menepuk bantal tidurnya sebanyak tiga kali.
Beberapa menit kemudian, Widuri terlelap dalam tidurnya. Jiwanya masuk ke dalam pusaran waktu yang tak terlihat sebelumnya.
"Aku dimana ini?" gumamnya.
Sampai pada akhirnya, Widuri melihat jalan setapak yang di apik pohon belukar. Pohon-pohon itu menjulang tinggi dan sangat besar. Widuri tetap berjalan. Sesekali menyebut nama Kailash.
Widuri terus menelusuri jalan setapak itu. Di depan sana, dia melihat sebuah rumah-rumah kayu panggung. Model rumah jaman dulu. Widuri meyakini jika tempat itu adalah sebuah kampung. Tapi bukan tempat Kailash. Tempat Kailash sedikit lebih modern. Dan rumah-rumah di tempat Kailash semua berbentuk unik.
"Ini bukan tempat Kailash," gumam Widuri.
Langkahnya terhenti ketika dihadang seorang pria berusia lanjut. Kakek-kakek itu memakai baju batik corak coklat, dia menatap tajam kearah Widuri.
"Maaf, saya tersesat, ini dimana?" tanya Widuri. Memberanikan diri bertanya sebab ia melihat mimik wajah Si Kakek sedang marah.
"Keluar! Tempat mu bukan disini," Si Kakek berkat dengan suara lantang. Dia menunjuk ke lorong gelap yang Widuri lalui tadi.
Widuri melirik ke lorong gelap itu. Dia mundur beberapa langkah hingga terjerembab di parit kecil.
"Auhhh .." Widuri meringis. Badannya basah kuyup. Namun, Si Kakek itu hanya mematung menatapnya.
Para warga kampung terpancing datang ke tempat Widuri terjatuh. Wajah-wajah rupawan tapi tanpa mimik ekspresi memandangi Widuri. Mereka terkejut tapi tidak menunjukkan keterkejutannya.
"Maaf, saya salah tempat, saya ingin keluar," ucap Widuri.
Tubuhnya gemetaran. Ia sungguh ketakutan dihadapkan dengan situasi yang sedikit horor. Berharapan dengan mahluk yang berwujud manusia tapi rautnya datar bak mayat hidup.
"Pergilah! Sebelum pintu itu tertutup," kata Si Kakek lagi.
Widuri bangkit dari duduknya. Dengan pakaian basah kuyup, ia berjalan tergopoh-gopoh menuju ke lorong gelap itu. Namun, entah mengapa langkahnya terasa lamban. Semakin ia percepat, jarak lorong gelap itu tak terpangkas, tetap saja masih jauh.
"Kaki ku sakit, duh." Keluhnya. Kaki kirinya tadi tergores dahan pohon yang patah.
Widuri sesaat menoleh ke belakang. Orang yang mengerumuninya sudah bubar. Dati jauh Widuri dapat melihat jika mereka malah berkerumun di satu rumah, tampak sedang berpesta. Semua terdengar berseru. Kecuali Si Kakek yang tetap memandangi pergerakan Widuri.
"Aku takut, Kailash!" Teriak Widuri spontan. Berharap Kailash datang menolongnya.
Angin berhembus kencang. Dibalik lorong gelap, nampak sebuah cahaya putih, saking silaunya, Widuri harus menutup mata.
"Kita pergi dari sini, disini bukan tempat kita," bisik suara terdengar di telinganya. Kedua pundaknya juga terasa disentuh.
Widuri membuka matanya. Ternyata Kailash benar-benar datang. Widuri menangis terharu. Kailash memeluk erat Widuri agar istrinya merasa tenang.
"Tenanglah, aku akan membawamu pergi dari sini." Ucap Kailash.
Setelah Kailash pamit dari Si Kakek itu. Dia menggendong Widuri berjalan keluar dari lorong gelap. Sepanjang perjalanan, Widuri hanya menutup mata di dalam gendongan suaminya. Selang kemudian, hembusan angin dingin menyergap tubuh Widuri.
"Buka matamu, Sayang," ucap Kailash.
Thor apa di dunia nyata ada cerita seperti ini?