Dia meninggal tapi menghantui istri ku.
Ku genggam tangan Dias yang terasa dingin dan Bergetar. Wajahnya pucat pasi dengan keringat membasahi anak rambut di wajahnya. Mulutnya terbuka menahan sakit yang luar biasa, sekalinya menarik nafas darah mengucur dari luka mengangga di bagian ulu hati.
"Bertahanlah Dias." ucapku.
Dia menggeleng, menarik nafas yang tersengal-sengal, lalu berkata dengan susah payah. "Eva."
Tubuhnya yang menegang kini melemas seiring dengan hembusan nafas terakhir.
Aku tercekat memandangi wajah sahabat ku dengan rasa yang berkecamuk hebat.
Mengapa Dias menyebut nama istriku diakhir nafasnya?
Apa hubungannya kematian Dias dengan istriku, Eva?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekhawatiran ku
Ku lempar pandanganku ke berbagai arah, di meja makan dan di ruang tengah dia tak ada. Ku langkahkan kaki lebih dekat menuju dapur, mana tahu istriku lapar, wajar sekali karena dia masih menyusui, lapar dan haus tengah malam sudah biasa, bahkan aku menyiapkan roti dan beberapa cemilan di kamar.
"Sayang." panggilku, sengaja dengan suara pelan. Lampu pun tak ku nyalakan.
Hening, tak ada suara apapun bahkan lampu kamar mandi pun sudah padam, lalu kemana istriku?
Slap!
Sekelebat bayangan melintasi jendela yang tertutup tirai tipis. cahaya lampu dari teras depan memperjelas sesuatu yang lewat, karena di dalam lebih gelap.
Aku diam di tengah-tengah ruangan berukuran tiga kali tiga ini, mencoba membaca situasi dan memasang telinga lebih tajam. "Masak iya, Eva keluar tengah malam begini?" gumam ku dalam hati, yakin sekali jika bayangan tadi adalah bayangan manusia.
Hatiku mulai tak tenang, jantungku mulai berdegup tak beraturan, namun ragu untuk keluar karena Seina sendirian. Ku rapatkan tubuhku di dinding penghalang antara dapur dan ruang tengah. Aku harus tahu situasi apa yang sedang aku hadapi.
Kretek
Aku menoleh, pintu dapur terdengar di otak-atik membuat aku semakin waspada. Ku ingat parang tergeletak di bawah lemari kayu penyimpan beras, ku raba, lalu ku ambil, segera aku berdiri di belakang pintu dapur.
Beberapa detik tak ada suara, lalu aku berjongkok, mengintip melalui lubang kunci memastikan di luar sana istriku atau bukan.
Dan sungguh Aku terkejut, kepala ku sampai terhantuk pada handle pintu. Demi tuhan aku melihat mata seseorang yang sama sedang mengintip diriku. "Allahu Akbar." Aku mengusap dadaku.
Belum habis terkejut ku, kini pintu kamar mandi bergerak pelan. Dan ku lihat istriku berusaha bangun dari posisi tersandar duduk di lantai.
"Astaghfirullah, Dek!" panggilku, aku tak memperhatikan ternyata istriku sudah tergeletak di depan pintu.
Segera ku raih saklar lampu yang ada di dekat pintu kamar mandi, dan alangkah terkejutnya aku melihat Eva memegangi kepalanya sambil meraba-raba.
"Mas." lirihnya, memanggilku.
"Ada apa, apa yang terjadi?" tanyaku, ku lepaskan parang panjang untuk membelah kelapa itu, segera aku membantu istriku.
"Ada orang Mas, ada orang." katanya, dia meringis.
Ku singkap rambutnya yang terurai menutupi sebelah wajahnya, dan ku lihat sisi pelipisnya bergaris lecet, sedikit bengkak dan merah bercampur biru.
"Kenapa jadi seperti ini." gumamku, ku angkat tubuh istriku, ku rasa dia jatuh terkejut membentur dinding pintu.
"Aku takut Mas, aku melihat orang mengintip di jendela, menempelkan wajahnya." Kata Eva.
"Ya. Tenanglah." kataku, ku baringkan tubuh istriku diatas ranjang, ku lepas dasternya lalu ku ganti dengan yang kering.
"Minumlah sayang." aku mengusap kepalanya, dia meringis dengan wajah pucat.
Sudah pukul dua belas, sepertinya tidak ada Dias malam ini, tapi malah orang lain mengintip tampak ingin masuk rumah. Apakah orang itu yang dianggap Dias oleh istriku?
Entahlah.
*
*
*
Pagi itu, aku sedikit lega karena adik ku Andin menepati janjinya untuk datang. Adik perempuan ku itu sudah menikah dua tahun, hampir sama denganku tapi belum memiliki anak.
"Assalamualaikum."
Aku segera membuka pintu.
"Wa'alaikum salam, Syukurlah, kamu datang Ndin." kata ku.
Ku periksa sekeliling rumah, mencari jejak yang mungkin tertinggal, tapi nihil. Andin pun ikut mencari tapi tak menemukan apa-apa.
"Mas, aku merasa tak nyaman di rumahmu." kata Andin. Aku terdiam memikirkan kata-kata adik ku itu.
"Tak nyaman bagaimana Ndin? Barangkali kau terbawa perasaan." kata ku, berkacak pinggang menatap sekitar belakang rumah yang masih di kelilingi semak belukar, perkebunan warga yang tidak diurus.
"Aku tidak tahu Mas, yang pastinya harus waspada. Jangan biarkan Mbak Eva sendiri, terlebih lagi di malam hari." kata Andin, bergidik sendiri.
Akhirnya aku pergi bekerja, tidak terlalu khawatir karena ada Andin, paling tidak hari ini istriku baik-baik saja.
"Kenapa telat Sen?" ucap Hanif ketika aku sudah tiba di pabrik. Segera menekan tombol absen lalu meletakkan tas ku di atas meja.
"Biasalah Nif." jawabku, mengambil buku dan segera bergabung dengan Hanif.
"Apa masih terjadi lagi Sen? Kamu sudah ke rumah Zalli kan?" tanya Hanif.
"Sudah Nif, adikku ada di rumah sekarang. Tapi Zalli sedang pergi, dia menginap di pesantren karena ada Kiyai sedang berkunjung." kataku, sesuai dengan yang di sampaikan Andin.
"Apakah sudah ada kabar tentang pelakunya Sen?" tanya Hanif lagi, temanku itu juga penasaran.
"Belum Nif. Tapi aku takut istriku yang di tuduh, bahkan Gerry juga mencurigai istriku." jawabku.
"Wah, rumit juga ya Sen." kata Hanif.
Hari ini jadwalnya aku menemani para sales mengantar barang, sekalian menyapa para agen yang menjadi langganan. Aku juga harus tahu bagaimana cara kerja mereka, sesuai arahan dari pimpinan.
"Sudah ke isi semua kan Nif?" tanya ku, menunjuk mobil pengangkut roti sudah di tutup.
"Udah Sen, kamu berangkat aja." katanya.
Jadilah aku pergi bersama dua orang sales saja bersamaku.
Mobil mulai pelan ketika memasuki ruko-ruko kecil di pinggiran jalan. Kami berhenti dan dua sales turun lebih dulu menanyai barang yang Minggu lalu apakah sudah habis atau belum.
"Alhamdulillah, habis Mas." kata Anto, kamipun turun membuka mobil dan menurunkan roti.
Begitu selanjutnya hingga pengantaran kami yang terakhir berada di kampung paling ujung, roti yang kami bawa pun hanya tinggal beberapa saja. Akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat dan makan siang sejenak di kedai sederhana.
"Alhamdulillah, habis." kata Anto, sales ku.
"Alhamdulillah, besok juga gajian kan?' kataku, kami duduk menyandar sambil menghabiskan kopi.
"Iya Mas, kalau begini terus kan, kita tidak perlu pulang malam. Takut." kata sales satunya lagi, bernama Toni.
"Benar Ton, sejak kejadian malam itu, aku jadi ngeri keluar malam. Mana pelakunya belum ketemu." kata Anto.
Aku diam menyimak, aku tahu mereka sedang membicarakan Dias. Rumah Toni dan Anto berada tak jauh dari rumah Dias, karena rata-rata pekerja di pabrik roti ini adalah orang satu kecamatan ini.
"Aku curiga pelakunya orang yang sudah kenal dekat, kalau orang jauh mana mungkin dia tahu kalau Dias sedang sendirian di rumah." Kata Anto.
"Kalau aku curiganya adalah orang yang punya dendam pribadi." kata Toni pula.
"Tapi Ton! Kemarin aku sempat dengar istrinya berdebat sama adiknya yang polisi itu. Aku dengar mereka menemukan barang bukti di kamar korban, berupa kuncir yang ada rambutnya."
Sontak saja aku menoleh. Mengingat yang di Curigai Gerry adalah istriku.
"Barang bukti?" tanyaku.
"Iya Mas. Tapi jangan bilang-bilang orang lain. Aku takut soalnya." kata Anto.
Sudahlah, tak mungkin juga kunciran istriku ada di sana, mana mungkin Eva ada di sana.
Sore hari kemudian aku memutuskan segera pulang, aku hanya bisa tenang kalau di dekat istriku, aku khawatir berlebihan akhir-akhir ini. Entahlah, perasaan ku semakin tidak enak.
Belum juga motorku terparkir, aku melihat ada banyak sendal dan sepatu ada di depan pintu. Jantungku berdegup semakin khawatir.
"Assalamualaikum." ucapku.
"Mas!" Andin segera menarik tanganku. Dan alangkah terkejutnya aku melihat ada Gerry di dalam. Tak hanya Gerry tapi dua rekannya, dan satu lagi, Lusia.
"Ada apa ini?" tanyaku, ku lihat istriku berdiri mematung dengan mulut terbuka dan berlinang air mata.
Lusia.. lusiapa siih, sampe seenaknya aja mau bunuh orang kek bunuh nyamuk 🦟/Slight/
Lusia.. lusialan emang 🤭🏃♀️🏃♀️🏃♀️
hais jd tegang nieh a1 bacanya