Anaya tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam waktu satu kali duapuluh empat jam. Dia yang hanya seorang anak yatim dan menjadi tulang punggung keluarganya, tiba-tiba di saat dirinya tengah tertidur lelap dikejutkan oleh panggilan telepon dari seorang yang tidak dikenal dan mengajaknya menikah.
Terkejut, bingung dan tidak percaya itu sudah jelas, bahkan ia menganggapnya sebagai lelucon. Namun setelah diberikan pengertian akhirnya dia pun menerima.
Dan Anaya seperti bermimpi setelah tahu siapa pria yang menikahinya. Apalagi mahar yang diberikan padanya cukup fantastis baginya. Dia menganggap dirinya bagai ketiban durian runtuh.
Bagaimana kehidupan Anaya dan suaminya setelah menikah? Apakah akan ada cinta di antara mereka, mengingat keduanya menikah secara mendadak.
Kepo.. ? Yuk ikuti kisah mereka...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moms TZ, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
02
°
°
°
Jdeeerrr
Bagai petir menyambar di siang hari yang terik. Meski lirih, namun perkataan Pak Rusli terdengar sangat jelas mengingat malam itu suasana sangat hening. Pak Deni dan Bunda Marini langsung menatap ke arah Pak Rusli dengan sorot mata tajam menyiratkan kemarahan dan kekecewaan, namun Pak Deni berhasil menguasai dirinya. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan Bu Marini.
Sedangkan Akmal menatap Risna dengan nanar. "Benar itu Ris? Kamu ingin membatalkan pernikahan kita? Apakah keputusanmu sudah bulat untuk membatalkan pernikahan kita?" tanya Akmal. Dalam hati ia berharap Risna merubah keputusannya.
"Iya, benar. Aku sudah yakin dan mantap. Sebaiknya memang pernikahan kita batalkan saja, daripada setelah kita menikah akhirnya harus bercerai," jawab Risna.
"Tapi kenapa begitu mendadak, Ris? Bukankah jarak dari aku melamarmu sampai kita akan menikah ada rentang waktu satu bulan? Lalu kenapa baru sekarang? Katakan padaku apa alasanmu!" Akmal terlihat emosional tangannya mengepal kuat, namu Pak Deni langsung memegang erat pergelangan tangan Akmal agar jangan sampai lepas kendali.
"Aku masih muda dan aku belum siap menikah, itu saja," sahut Risna.
Akmal tersenyum getir mendengar jawaban Risna. "Masih muda katanya? Bahkan Adzana saja menikah belum lulus kuliah!" gumam Akmal dalam hati.
"Baiklah, jika itu sudah menjadi keputusanmu, aku terima. Aku lega karena mendengarnya langsung dari kamu. Terimakasih untuk sembilan bulan waktu kita bersama. Dan mengenai apa yang sudah aku berikan padamu, aku ikhlas. Aku anggap itu sebagai sedekah bagi orang yang membutuhkan!" Perkataan Akmal begitu tenang namun penuh penekanan di akhir kalimat yang diucapkannya.
Pak Rusli dan Bu Rahma merasakan ucapan mantan calon menantunya itu bagaikan ujung pisau tajam yang mengoyak jantungnya. Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain berusaha menahan rasa malu akibat ulah anak gadisnya.
"Kalian tidak bisa mempermainkan kami seperti ini. Bukan masalah nominal yang sudah kami keluarkan, tapi ini menyangkut tanggung jawab dan harga diri." Bu Marini berkata dengan berapi-api bahkan sampai berdiri dari duduknya.
Tidak ada yang ada berani menyahut, semua sibuk dengan pemikiran masing-masing.
"Bagaimana Anda berdua mendidik anak gadis Anda menjadi seorang yang plin-plan dan tidak punya pendirian. Seharusnya kalau memang belum siap menikah, kan bisa bicara jujur sebelum semuanya terlanjur! Saya benar-benar kecewa dengan keluarga ini. Ayo... Pak, kita pulang! Assalamualaikum." Bu Marini menarik tangan Akmal dan membawanya keluar dari dalam rumah diikuti oleh Pak Deni. Wajahnya juga menampakkan kekecewaan yang mendalam.
Setelah tamunya pergi, Bu Rahma menjerit keras, meraung meluapkan rasa sesak di dada yang sejak tadi ditahannya. Suara tangisnya menggema memenuhi seluruh ruangan rumahnya.
"Puas kamu, Risna! Sudah puas kamu sekarang mempermalukan orangtuamu, hahhhh...!!" Bu Rahma kembali meraung. Sementara Pak Rusli hanya bisa diam dan berusaha menenangkan istrinya.
°
.
Sesampai di rumah suasana mendung masih menyelimuti keluarga Pak Denny. Begitu dingin dan sunyi selaras dengan penghuninya yang memilih bungkam, namun pikiran mereka terisi oleh berbagai praduga. Tak ada kehangatan bahkan Bu Marini masih merasakan dadanya berdenyut nyeri mengingat pernikahan putranya yang dibatalkan sepihak.
Akmal, putranya yang malang. Rasa tak terima itu begitu mencengkeram erat sanubarinya hingga terlalu sulit untuk meleburnya. Ditambah ego yang tinggi kian membelenggu batinnya. Netranya mulai berembun dengan pandangannya yang sedikit berkabut membuatnya terpejam untuk sesaat. Lalu tanpa sepatah kata ibunda Akmal itu membawa langkah kakinya memasuki kamar.
Pun demikian halnya dengan Akmal, dia memasuki rumah dengan langkah terhuyung, lalu mendudukkan dirinya dengan sembarangan di sofa. Meraup mukanya dan membiarkan telapak tangan itu menutupi wajahnya, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Meski berusaha untuk kuat dan baik-baik saja, tak dapat dipungkiri hatinya tetap terasa perih. Ia tidak tahu harus bagaimana dan berbuat apa untuk melanjutkan hari-harinya esok.
Setelah sekian lama hatinya mulai terbuka untuk seorang wanita, tapi kini harus merasakan kepahitan dan mirisnya lagi dia ditolak di hari menjelang pernikahan. Sebagai lelaki sejati, Akmal merasa dilemparkan jauh ke dasar jurang yang dalam. Terhempas dan tercampakkan bagai sampah yang tak berguna. Namun rasa cintanya pada Risna mengalahkan logika. Meski tak terima, tapi dia masih berharap gadis pujaannya berubah pikiran. Begitulah kira-kira yang terpikirkan olehnya.
Pak Deni sebagai kepala keluarga berusaha tetap kuat dan tenang meski harga dirinya tercabik-cabik. Siapa orangtua yang rela putra kebanggaannya dicampakkan begitu saja.
"Assalamualaikum." Suara seseorang mengucap salam dari luar rumah.
"Waalaikumsalam." Pak Deni menjawab seraya bangkit dari duduknya dan membukakan pintu.
"Waahh, kebetulan kalian datang."
"Ayah, apa kabar?"
"Alhamdulillah, seperti yang kamu lihat. Ayo masuk masuk." Pak Deni membawa tamunya masuk setelah sebelumnya bersalaman dengan kedua orang yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri.
"Bunda, lihat siapa yang datang!" seru Pak Deni pada istrinya.
Di dalam kamar Bunda Marini langsung keluar begitu dipanggil. Dan wajahnya langsung sumringah saat tahu siapa yang datang, melupakan sejenak luka hatinya.
Tamu yang tak lain adalah Arbi dan Adzana beserta kedua anaknya itu disambut dengan gembira oleh tuan rumah. Bunda Marini langsung memeluk erat Adzana yang sudah dianggapnya anak sendiri.
Sedangkan Arbi langsung menghampiri sahabatnya yang duduk diam seolah tidak terusik dengan kedatangannya.
"Hai, Bro...! Kamu kenapa? Mau nikah kok malah galau!" Arbi menepuk pundak Akmal lalu merangkulnya, namun Akmal tetap bergeming seolah asyik dengan dunianya sendiri.
"Kak Akmal kenapa, Bund?" Gantian Adzana yang bertanya.
"Dia tidak jadi menikah, pihak perempuan membatalkan pernikahan dengan alasan ia masih muda dan belum siap untuk menikah," jawab Bunda Marini penuh kekecewaan.
"Astaghfirullah al'adzim...! Kak Akmal tidak jadi menikah?" Pekik Adzana kaget dengan mata membulat sempurna.
"Sayang, tolong jaga bicaranya, ya! Akmal sedang tidak baik-baik saja sekarang," ucap Arbi memperingatkan istrinya.
"Maaf,,," Adzana langsung mengeluarkan jurus andalannya yakni poppy eyes seraya menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada ke arah suaminya. Jika sudah begitu, bagaimana si Arbi tidak terZana-Zana coba. Ia lalu mendekat dan mengacak rambut istrinya dengan gemas.
"Haaa....!" Tiba-tiba Adzan berseru seraya menjentikkan jarinya dengan mata berbinar, membuat semua mata tertuju padanya.
"Bagaimana jika Kak Akmal menikah saja dengan Anaya!" celetuk Adzana.
"Apaaa...? Anaya teman kamu yang somplak bin nyeleneh itu?" tanya Akmal disertai gelak tawa.
"Sayang, kamu serius?" tanya Arbi tak percaya.
"Heemmm... dua rius malah," jawab Adzana dengan raut wajah tegas.
"Siapa Anaya itu, sayang?" tanya Bunda Marini.
"Dia sahabat sejati aku, Bun," jawab Adzana.
"Dan Kak Akmal, jangan meremehkan Naya! Meskipun rada somplak tapi dia itu teman yang setia. Dia juga pekerja keras dan menjadi tulang punggung keluarganya, menanggung semua kebutuhan ibu juga kedua adiknya yang masih sekolah." Adzana berhenti sejenak, dia memejamkan mata lalu menghembuskan napas kasar.
"Naya itu anak yatim dan kalau Kak Akmal menikahi dia, bukankah itu akan menjadi ladang amal buat Kakak?" Adzana menatap Akmal tajam.
"Kalau begitu bunda setuju banget. Bagaimana denganmu, Mal? Kamu setuju, kan?" tanya Bunda Marini.
"Setidaknya kita bisa terhindar dari rasa malu dan uang kita tidak terbuang sia-sia. Cinta bisa hadir seiring berjalannya waktu, apalagi dia juga gadis yang baik," tutur Bunda Marini.
"Entahlah, aku tidak tahu, Bun. Aku masih belum bisa berpikir jernih, pikiranku masih kacau." Akmal lantas bergegas menjauh, berlalu menuju kamarnya di lantai atas!
Tak lama kemudian yang lain pun menyusul masuk ke kamar masing-masing karena malam telah larut, saatnya untuk beristirahat.
°
Tengah malam keluarga Pak Deni dikejutkan oleh suara ketukan pintu berulang kali, yang mau tak mau pria paruh baya itu membuka mata dan beranjak dari tempat tidur bergegas keluar untuk membukakan pintu. Namun rupanya Akmal telah lebih dulu membukakan pintu. Dan pemuda itu terkejut melihat siapa tamunya yang datang.
"Bapak, Ibu...! Ada apa ya, tengah malam datang ke rumah kami?" tanya Akmal.
"Mari silakan masuk, kita bicara di dalam. Silakan duduk, Pak, Bu...!" Pak Deni mempersilakan tamunya untuk duduk. Kebetulan Bunda Marini juga terbangun, lalu duduk bersama dengan para tamu.
"Maaf, Pak Deni dan keluarga, kami datang tengah malam begini mengganggu waktu istirahat Anda sekalian. Sebenarnya kedatangan kami kemari ingin menyambung kembali tali silaturahim di antara keluarga Pak Rusli dan Pak Deni."
"Maaf, Pak Lurah. Sebaiknya bicara pada pokoknya saja, tidak usah terbelit-belit," ucap Bunda Marini.
"Baiklah kalau begitu. Silakan Mbak Risna bicara sendiri pada Mas Akmal," pinta Pak Lurah.
"Mas Akmal, maafkan aku." Risna meremat jemari tangannya untuk mengurangi rasa gugup. "Aku berubah pikiran, Mas. Aku menarik ucapanku kembali, aku tidak jadi membatalkan pernikahan. Mas Akmal masih mau kan menikah denganku? Terus terang aku masih mencintai Mas Akmal. Aku--"
"Tidak...!!! Aku tidak mau menikah dengan wanita plinplan dan suka kabur. Dan benar katamu, aku tidak mau setelah menikah kita bercerai, sebab aku tidak mau menjadi duda di usia muda!" tegas Akmal.
"Kenapa, Mas?" tanya Risna dengan mata berkaca-kaca.
"Karena aku sudah menemukan penggantimu!"
Deggg
°
°
°
°
°
Kasihan gak ya sama Risna???🤔🤔🤔
Saat ada masalahnya pun nggak berlarut-larut dan terselesaikan dengan baik.
Bahagia-bahagia Anaya dan Akmal, meski ada orang-orang yang berusaha memisahkan kalian.
Semangat untuk Ibu juga. Semangat nulisnya dan sukses selalu💪💪🥰❤️❤️❤️