Kerajaan Avaris yang dipimpin oleh Raja Darius telah menjadi kekuatan besar di benua Estherya. Namun, ancaman datang dari Kekaisaran Zorath yang dipimpin oleh Kaisar Ignatius, seorang jenderal yang haus kekuasaan. Di tengah konflik ini, seorang prajurit muda bernama Kael, yang berasal dari desa terpencil, mendapati dirinya terjebak di antara intrik politik dan peperangan besar. Dengan bakat taktisnya yang luar biasa, Kael perlahan naik pangkat, tetapi ia harus menghadapi dilema moral: apakah kemenangan layak dicapai dengan cara apa pun?
Novel ini akan memuat konflik epik, strategi perang yang mendetail, dan dinamika karakter yang mendalam. Setiap bab akan menghadirkan pertempuran sengit, perencanaan taktis, serta perkembangan karakter yang realistis dan emosional.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zylan Rahrezi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan di Balik Kemenangan
Bab 8: Bayangan di Balik Kemenangan
Langit malam di atas Desa Arandell dipenuhi cahaya bintang yang berkilauan, seolah-olah semesta turut merayakan kemenangan mereka. Namun, suasana di dalam desa tidak sepenuhnya tenang. Meskipun benteng Morvath telah runtuh dan Obsidian Core hancur, setiap orang tahu bahwa ancaman dari Morvath belum benar-benar berakhir.
Kael duduk di atas sebuah batu besar di dekat sungai kecil yang mengalir di pinggir desa. Ia memandangi pantulan wajahnya di air yang tenang, merenungi pertempuran yang baru saja mereka lalui. Pedang Aether tergeletak di sampingnya, cahayanya yang redup mencerminkan kelelahan sang pemilik.
Liora mendekatinya, membawa secangkir teh herbal yang hangat. “Kau tidak ikut perayaan?” tanyanya, duduk di samping Kael.
Kael menggeleng. “Aku hanya butuh waktu untuk mencerna semuanya.”
Liora menyerahkan cangkir itu kepadanya. “Aku mengerti. Tapi kau harus tahu, semua orang melihatmu sebagai pahlawan.”
“Pahlawan, ya?” Kael tersenyum tipis. “Rasanya aneh mendengar itu. Aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan.”
Liora menatapnya dengan lembut. “Dan itu yang membuatmu luar biasa, Kael. Kau tidak mencari kejayaan. Kau hanya ingin melindungi.”
Kael menghela napas panjang. “Aku hanya khawatir. Morvath masih hidup. Dan aku yakin dia tidak akan tinggal diam setelah ini.”
Pertemuan Rahasia
Di tempat lain, di sebuah ruangan gelap yang hanya diterangi oleh lilin-lilin kecil, Elara memimpin pertemuan dengan beberapa pemimpin desa dan Pak Thalion. Eldrin, yang entah bagaimana selalu muncul di saat yang tepat, duduk di sudut ruangan dengan tatapan penuh misteri.
“Kita memang menang dalam pertempuran ini,” kata Elara, suaranya tegas. “Tapi perang belum berakhir. Morvath kehilangan Obsidian Core, tetapi dia masih memiliki pengikut setia dan sumber daya lain yang tidak kita ketahui.”
Pak Thalion mengangguk. “Kita harus mempersiapkan desa dan penduduk lainnya. Jika Morvath menyerang lagi, kita harus siap.”
Eldrin yang diam sejak awal akhirnya angkat bicara. “Ada satu hal yang perlu kalian ketahui. Morvath tidak hanya mencari kekuasaan. Dia mencari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang bisa menghancurkan dunia ini.”
Semua orang di ruangan itu terdiam. Elara menatap Eldrin dengan serius. “Apa yang dia cari?”
“Relik Sang Pencipta,” jawab Eldrin, suaranya bergetar halus. “Sebuah artefak kuno yang memiliki kekuatan untuk mengubah realitas. Jika dia menemukannya, tidak ada yang bisa menghentikannya.”
Pak Thalion mengerutkan kening. “Dan kau tahu di mana relik itu?”
Eldrin mengangguk pelan. “Aku tahu. Tapi jalannya penuh bahaya, dan hanya mereka yang benar-benar siap yang bisa mencapainya.”
Elara menyadari arah pembicaraan ini. “Kael dan timnya.”
Eldrin tersenyum tipis. “Mereka adalah harapan terbaik kita.”
Misi Baru
Keesokan paginya, Kael dan timnya dipanggil ke ruang pertemuan. Eldrin menjelaskan tentang Relik Sang Pencipta dan pentingnya menemukan artefak itu sebelum Morvath.
“Ini bukan hanya tentang menghentikan Morvath,” kata Eldrin. “Ini tentang menyelamatkan dunia.”
Kael merasa beban yang berat di pundaknya semakin bertambah. Namun, dia tidak menunjukkan keraguan. “Kapan kita berangkat?”
Eldrin tersenyum puas. “Segera. Tapi kalian perlu bersiap. Perjalanan ini akan lebih berbahaya daripada apa pun yang pernah kalian hadapi.”
Liora menatap Kael dengan penuh keyakinan. “Kami sudah melewati neraka dan kembali. Apa pun yang ada di depan, kami siap.”
Finn mengangkat tangan. “Asal ada makanan enak di tengah jalan, aku ikut.”
Pak Thalion tertawa kecil. “Kau akan butuh lebih dari makanan untuk bertahan hidup, bocah.”
Menuju Tanah Terlarang
Perjalanan mereka dimulai beberapa hari kemudian. Eldrin memberi mereka peta yang menunjukkan lokasi awal perjalanan menuju Relik Sang Pencipta. Rute itu akan membawa mereka melewati Hutan Bayangan, sebuah tempat yang terkenal karena ilusi dan makhluk-makhluk berbahaya yang menghuni dalam kegelapan.
Elara memilih untuk tetap tinggal di desa, memimpin pertahanan jika Morvath menyerang. Namun, sebelum mereka berangkat, dia memberikan Kael sebuah amulet khusus yang akan membantunya melawan sihir gelap.
“Gunakan ini dengan bijak,” kata Elara. “Ini hanya akan bekerja sekali, jadi pastikan kau tahu kapan saatnya.”
Kael mengangguk. “Terima kasih, Elara. Kami tidak akan mengecewakanmu.”
Mereka berjalan menuju hutan dengan tekad bulat. Setiap langkah membawa mereka semakin jauh dari kenyamanan dan semakin dekat pada bahaya yang tidak bisa mereka bayangkan.
Saat memasuki Hutan Bayangan, suara burung dan angin segera tergantikan oleh keheningan yang menakutkan.
“Baiklah,” kata Finn, mencoba mencairkan suasana. “Siapa yang mau taruhan siapa yang pertama kali ketakutan?”
Liora memukul lengannya. “Diam dan tetap fokus.”
Namun, di dalam hati, semua orang tahu bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang keberanian. Ini tentang menghadapi ketakutan terdalam mereka.