Di negeri Eldoria yang terpecah antara cahaya Solaria dan kegelapan Umbrahlis, Pangeran Kael Nocturne, pewaris takhta kegelapan, hidup dalam isolasi dan kewaspadaan terhadap dunia luar. Namun, hidupnya berubah ketika ia menyelamatkan Arlina Solstice, gadis ceria dari Solaria yang tersesat di wilayahnya saat mencari kakaknya yang hilang.
Saat keduanya dipaksa bekerja sama untuk mengungkap rencana licik Lady Seraphine, penyihir yang mengancam kedamaian kedua negeri, Kael dan Arlina menemukan hubungan yang tumbuh di antara mereka, melampaui perbedaan dan ketakutan. Tetapi, cinta mereka diuji oleh ancaman kekuatan gelap.
Demi melindungi Arlina dan membangun perdamaian, Kael harus menghadapi sisi kelam dirinya sendiri, sementara Arlina berjuang untuk menjadi cahaya yang menyinari kehidupan sang pangeran kegelapan. Di tengah konflik, apakah cinta mereka cukup kuat untuk menyatukan dua dunia yang berlawanan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PASTI SUKSES, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gempa Magis dan Pengakuan
Hari itu, langit Umbrahlis tampak kelabu, seolah memprediksi kejadian yang akan datang. Arlina sedang berada di perpustakaan istana, memeriksa koleksi buku kuno yang menarik perhatiannya sejak pertama kali tiba di tempat ini. Ia menyukai keheningan perpustakaan, rasa damai yang diberikan di tengah suasana istana yang sering kali penuh dengan ketegangan.
“Buku ini membahas tentang sejarah Abyssal Rift,” gumamnya sambil membuka halaman tebal. Matanya menyusuri teks kuno yang penuh simbol magis. “Sepertinya ini menjelaskan kekuatan misterius di sekitar Umbrahlis.”
Langkah berat terdengar mendekat. Arlina mengangkat pandangannya, menemukan Kael berdiri di ambang pintu. Ia mengenakan jubah gelap, wajahnya terlihat serius, tetapi ada sedikit kehangatan di matanya saat menatap Arlina.
“Kau selalu tertarik dengan sejarah, ya?” tanyanya, melangkah masuk.
Arlina tersenyum kecil. “Mungkin. Aku hanya ingin tahu lebih banyak tentang tempat ini. Sejujurnya, ini seperti dunia yang berbeda dari yang pernah kukenal.”
Kael mengangguk, mendekat ke rak buku, tangannya menyentuh punggung buku-buku berdebu. “Umbrahlis memang penuh rahasia. Bahkan aku masih belajar memahami semuanya.”
Sebelum Arlina sempat menjawab, gemuruh keras mengguncang ruangan. Rak-rak buku bergoyang, beberapa buku jatuh ke lantai.
“Kael! Apa yang terjadi?” seru Arlina, berusaha tetap berdiri di tengah gempa yang semakin kuat.
“Ini gempa magis!” jawab Kael dengan nada tegas. Ia bergerak cepat, menarik Arlina ke sisinya. “Kita harus keluar dari sini sebelum semuanya runtuh!”
Mereka berlari melalui koridor panjang istana, tetapi sebelum mereka bisa mencapai aula utama, lantai di bawah mereka retak. Dalam sekejap, mereka terjatuh ke ruang bawah tanah yang gelap gulita.
Arlina meringis kesakitan saat mendarat di lantai batu keras. Kael dengan sigap bangkit, menghampirinya. “Kau baik-baik saja?” tanyanya sambil membantu Arlina duduk.
“Ya... aku rasa begitu,” jawabnya, meskipun kakinya terasa nyeri. “Apa ini?”
Kael menyalakan bola cahaya magis di tangannya, menerangi ruangan di sekitar mereka. Dinding batu berlumut menjulang tinggi, dan udara lembap memenuhi ruang itu.
“Kita berada di ruang bawah tanah istana,” jelas Kael. “Ini seharusnya tempat yang terlupakan. Tidak ada yang pernah datang ke sini.”
Arlina memandang sekeliling dengan rasa takut. “Apa kita terjebak?”
Kael mengangguk pelan. “Untuk sementara, ya. Aku perlu waktu untuk mencari jalan keluar.”
Saat Kael memeriksa dinding untuk mencari jalan, Arlina duduk bersandar pada salah satu pilar. “Kael, kenapa ini disebut gempa magis?” tanyanya, mencoba mengalihkan rasa takutnya.
Kael berhenti sejenak, menatapnya. “Gempa ini terjadi ketika ada ketidakseimbangan energi magis di sekitar Abyssal Rift. Itu bisa disebabkan oleh berbagai hal, termasuk sihir yang terlalu kuat atau konflik di dalam alam ini.”
“Apakah itu berbahaya?”
“Bisa saja,” jawabnya jujur. “Tapi aku akan memastikan kau selamat.”
Arlina terdiam. Dalam situasi ini, ia merasa lebih terhubung dengan Kael. Sosok dingin dan penuh misteri itu ternyata memiliki sisi melindungi yang membuatnya merasa aman.
“Kael,” panggilnya pelan.
Kael menoleh. “Ya?”
“Aku ingin bertanya sesuatu,” katanya, suaranya ragu. “Kenapa kau selalu terlihat begitu... jauh? Seolah kau menahan diri dari semua orang.”
Kael duduk di sebelahnya, bola cahaya magis di tangannya tetap menyala. “Karena aku harus begitu,” jawabnya dengan nada serius. “Sebagai Pangeran Kegelapan, aku tidak bisa menunjukkan kelemahan. Dunia ini penuh dengan orang yang ingin menghancurkanku, menghancurkan Umbrahlis.”
“Tapi aku bukan musuhmu, Kael,” balas Arlina dengan lembut. “Kau tahu itu, kan?”
Kael menatapnya, mata hitamnya bersinar dalam cahaya redup. “Aku tahu, Arlina. Tapi itu tidak membuat semuanya lebih mudah.”
Hening sejenak menyelimuti mereka. Arlina merasa dadanya sesak melihat luka emosional yang jelas terlihat di balik topeng dingin Kael.
“Kael,” katanya akhirnya, “kau tidak harus selalu memikul semuanya sendirian. Aku tahu aku mungkin tidak bisa melakukan banyak hal, tapi aku di sini. Aku ingin membantumu.”
Kael mendekat, suaranya pelan namun penuh intensitas. “Arlina, kau tidak mengerti. Keberadaanmu di sini sudah membuatku lemah. Kau membuatku peduli... terlalu peduli.”
Arlina menatapnya, napasnya tertahan. “Kenapa itu buruk?”
“Karena jika aku peduli, aku rentan,” jawab Kael, tatapannya penuh dengan emosi yang sulit diungkapkan.
Dalam keheningan yang tegang, Kael tiba-tiba bergerak lebih dekat. Wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Arlina. “Aku tidak bisa mengabaikan ini lagi,” bisiknya.
Sebelum Arlina sempat menjawab, bibir Kael menyentuh bibirnya. Ciuman itu lembut, tetapi penuh dengan perasaan yang telah lama ia pendam. Arlina terkejut, tetapi perlahan ia membalas, membiarkan dirinya larut dalam momen itu.
Ketika mereka akhirnya berpisah, Kael menatapnya dengan intensitas yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya. “Arlina, aku tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan ini..”
Arlina tersenyum tipis, meskipun hatinya berdebar kencang. “Aku percaya padamu, Kael.”
Suara gemuruh kembali terdengar, mengguncang ruang bawah tanah. Kael berdiri dengan cepat, memeriksa dinding. “Kita harus keluar dari sini sekarang,” katanya, kembali fokus pada tugasnya.
Meskipun masih bingung dengan apa yang baru saja terjadi, Arlina mengikuti Kael tanpa ragu. Mereka akhirnya menemukan jalan keluar, tetapi momen yang mereka bagikan di kegelapan itu tetap tertanam dalam hati masing-masing.
Ketika mereka akhirnya keluar dari ruang bawah tanah, napas Kael terdengar berat, tetapi matanya tetap waspada. Mereka muncul di salah satu lorong samping istana, yang hampir kosong karena sebagian besar penghuni sedang berlindung dari gempa.
Kael menoleh ke Arlina. “Kau baik-baik saja?” tanyanya lagi, kali ini suaranya lebih lembut.
Arlina mengangguk, meskipun kakinya masih terasa sedikit nyeri. “Aku baik. Terima kasih sudah melindungiku.”
Kael hanya mengangguk, tetapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. Ia berjalan mendahuluinya, tetapi langkahnya melambat agar Arlina bisa mengikutinya tanpa kesulitan.
Saat mereka mendekati aula utama, gempa akhirnya berhenti. Beberapa prajurit yang berjaga segera menghampiri Kael, membungkuk dengan hormat.
“Tuan, apakah Anda baik-baik saja?” tanya salah satu prajurit.
“Aku baik,” jawab Kael singkat. “Pastikan semua penghuni istana aman dan periksa bagian selatan istana. Ruang bawah tanah mengalami kerusakan.”
Prajurit itu segera pergi, meninggalkan Kael dan Arlina sendirian di lorong. Arlina memperhatikan Kael yang tampak tenang di luar, meskipun ia tahu pikiran pria itu sedang sibuk.
“Kael,” panggilnya pelan, membuat Kael berhenti.
Kael menoleh, wajahnya kembali serius. “Ya?”
“Apa tadi... yang kita alami di bawah tanah...” Arlina ragu sejenak, mencari kata yang tepat. “Apa itu berarti sesuatu bagimu?”
Kael menatapnya lama, seolah menimbang jawabannya. Akhirnya, ia menarik napas dalam-dalam. “Itu berarti segalanya,” jawabnya jujur. “Tapi aku tidak bisa membiarkan perasaanku menghalangi tugasku. Kau harus tahu, Arlina, posisimu di sini jauh lebih rumit daripada yang terlihat.”
“Kenapa selalu harus serumit itu?” tanya Arlina, nadanya lelah. “Aku hanya ingin mencari kakakku dan kembali ke kehidupanku. Tapi setiap kali aku mencoba menjauh darimu, kau justru menarikku lebih dalam.”
Kael mendekat, jarak mereka hanya beberapa inci. “Karena aku tidak bisa membiarkanmu pergi, Arlina,” katanya pelan. “Kau adalah ancaman, dan kau juga satu-satunya alasan aku ingin melindungi semuanya.”
Arlina terdiam, bingung antara perasaan marah, bingung, dan sesuatu yang lebih hangat yang mulai tumbuh di hatinya. Kael melangkah pergi sebelum ia bisa menjawab, meninggalkan Arlina di lorong dengan pikirannya yang penuh dengan emosi campur aduk.