Kisah ini menggambarkan perjalanan cinta Alan Hamdalah, seorang pria sederhana dari Cilacap, dengan Salma, gadis yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya sejak masa SMA. Hubungan mereka yang penuh kenangan manis harus diuji oleh jarak, waktu, dan perbedaan latar belakang keluarga.
Setelah bertahun-tahun berjuang demi masa depan, Alan kembali ke Cilacap dengan harapan melamar Salma di hari wisudanya. Namun, takdir berkata lain. Alan mendapati Salma menerima lamaran pria lain, pilihan keluarganya, di momen yang seharusnya menjadi hari bahagia mereka. Cerita ini menyelami perasaan kehilangan, pengorbanan, dan penerimaan. Meski hatinya hancur, Alan belajar merelakan cinta yang telah lama diperjuangkan. Dengan hati yang penuh luka, ia mendoakan kebahagiaan Salma, meskipun ia sendiri harus menghadapi kenyataan pahit. Sebuah narasi tentang cinta yang tak selalu berakhir bahagia, namun sarat makna kehidupan.
Setelah pertemuannya dengan Salma berakhir tragis, Alan mencoba untuk melanju
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibnu Hanifan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjenguk Salma
Aku dan Monika mulai kembali mengikuti perkuliahan setelah bulan madu yang terasa terlalu singkat di Dieng. Meskipun kami pulang dengan hati penuh kebahagiaan, tugas dan materi kuliah yang tertinggal menjadi masalah baru yang mau tidak mau harus kami hadapi. Syukurlah, Dinda dengan sabar membantu kami mengejar ketertinggalan. Dengan senyum hangatnya, ia menjelaskan setiap materi dengan detail, memastikan kami benar-benar memahami semuanya.
Hari itu, aku dan Monika memutuskan untuk istirahat sejenak di kantin kampus setelah seharian berkutat dengan tugas-tugas. Monika memesan minuman dingin sementara aku menikmati makanan ringan yang disediakan kantin. Kami berbincang ringan, bercanda, dan sesekali tertawa lepas, menikmati momen kebersamaan kami yang sederhana.
Namun, suasana berubah ketika Afif tiba-tiba muncul di hadapan kami. "Alan, ada hal penting yang ingin saya bicarakan dengan kamu," ucapnya dengan nada serius.
Aku menoleh kaget. "Apa ada tugas saya yang salah atau harus direvisi, Pak?" tanyaku sambil berusaha tetap santai.
Afif menggeleng pelan. "Bukan, ini bukan soal tugas," jawabnya sambil melirik Monika. "Ini tentang... Salma."
Aku terdiam, perasaanku campur aduk. Aku bisa merasakan Monika menatapku dengan tatapan penuh tanya. "Sepertinya aku harus pergi dulu," kata Monika sambil mulai bangkit dari kursinya.
Namun, aku segera menahan tangannya. "Nggak, Sayang. Kamu tetap di sini. Kamu istriku, dan aku nggak mau menutupi apa pun darimu."
Monika memandangku sejenak, ragu-ragu, sebelum akhirnya kembali duduk di sampingku.
Afif menghela napas panjang sebelum memulai ceritanya. "Salma sedang sakit, Alan. Kondisinya semakin memburuk sejak pernikahan kalian. Dia nggak mau makan, nggak mau bicara, dan terus memanggil nama kamu. Sampai sekarang dia dirawat di rumah sakit karena kondisinya kritis. Dokter bilang kalau dia terus seperti ini, nyawanya bisa terancam."
Aku mendengar penjelasan itu dengan perasaan bersalah yang tak bisa kujelaskan. "Saya prihatin, Pak. Tapi saya rasa ini bukan tanggung jawab saya. Saya sudah memilih jalan saya sendiri. Salma juga punya kehidupannya."
Afif menunduk, tampak putus asa. "Saya tahu, Alan. Tapi saya memohon, tolong jenguk dia. Mungkin kalau dia melihat kamu, kondisinya bisa membaik. Saya bahkan bersedia bersujud di kaki kamu kalau itu bisa membuat Salma kembali sehat."
Aku menggeleng keras. "Pak, ini bukan solusi. Saya nggak bisa."
Afif tetap memohon dengan nada memelas. Monika, yang sejak tadi diam, tiba-tiba menggenggam tanganku. "Mas, turuti saja permintaan Pak Afif. Aku tahu ini sulit buat kamu, tapi aku yakin beliau melakukan ini karena begitu mencintai Salma. Kalau kehadiranmu bisa menyembuhkannya, aku pikir nggak ada salahnya kita coba."
Aku terdiam, menatap Monika yang terlihat tulus. Setelah beberapa saat, aku akhirnya mengangguk. "Baiklah, tapi kamu ikut dengan aku," ucapku pada Monika.
Kami tiba di rumah sakit sekitar pukul lima sore. Afif memandu kami ke ruang rawat di lantai dua. Di sana, aku melihat Salma terbaring lemah dengan infus yang terpasang di tangan kanannya. Tubuhnya terlihat lebih kurus dibandingkan terakhir kali aku melihatnya. Wajahnya pucat, seolah semua warna kehidupan telah hilang darinya.
"Salma," panggilku pelan.
Matanya terbuka perlahan. Saat ia melihatku, air matanya langsung mengalir. "Mas Alan," bisiknya dengan suara lirih.
Afif memandangku, lalu berkata, "Alan, tolong bantu aku menyuapi dia. Dia belum makan apa pun sejak pagi."
Aku menolak. "Pak, saya rasa ini bukan tempat saya."
Namun, sebelum aku bisa melanjutkan, Monika menyentuh bahuku. "Mas, lakukan saja. Ini mungkin satu-satunya cara Salma mau makan."
Dengan perasaan ragu, aku mengambil mangkuk bubur yang disiapkan di meja samping. Perlahan, aku mulai menyuapi Salma. Awalnya, ia hanya menatapku dengan mata penuh harap, tapi akhirnya ia membuka mulut dan mulai makan. Afif tampak lega melihat Salma yang akhirnya mau menerima makanan.
Selesai menyuapi, aku melihat Monika berdiri dan keluar dari ruangan. Aku ingin mengejarnya, tapi Afif menahanku. "Biar aku yang bicara dengan Monika. Fokus saja dengan Salma dulu."
Aku hanya bisa mengangguk.
Setelah selesai, aku keluar dari ruangan dan menemukan Monika duduk di kursi tunggu dengan wajah tenang. Aku duduk di sampingnya. "Sayang, aku minta maaf. Aku tahu ini berat buat kamu."
Monika tersenyum kecil. "Mas, aku menikah dengan kamu bukan hanya untuk kebahagiaan. Aku juga ingin jadi pendamping yang mendukung keputusan sulitmu. Aku tahu kamu nggak mau menyakiti siapa pun. Jadi aku ada di sini untukmu."
Aku menggenggam tangan Monika erat. "Kamu luar biasa, Sayang. Aku nggak tahu apa yang bisa aku lakukan tanpa kamu."
Monika hanya tersenyum, dan dalam keheningan itu, aku tahu aku telah membuat keputusan yang benar untuk tetap jujur dan terbuka padanya.