[Sampul digambar sendiri] Pengarang, penulis, penggambar : Hana Indy
Jika ada yang menganggap dunia itu penuh dengan surga maka, hanyalah mereka yang menikmatinya.
Jika ada yang menganggap dunia penuh dengan kebencian maka, mereka yang melakukannya.
Seseorang telah mengatakan kepada lelaki dengan keunikan, seorang yang memiliki mata rubah indah, Tian Cleodra Amarilis bahwa 'dunia kita berbeda, walau begitu kita sama'.
Kali ini surai perak seekor kuda tunggangnya akan terus memakan rumput dan berhagia terhadap orang terkasih, Coin Carello. Kisah yang akan membawa kesedihan bercampur suka dalam sebuah cerita singkat. Seseorang yang harus menemukan sebuah arti kebahagiaan sendiri. Bagaimana perjuangan seorang anak yang telah seseorang tinggalkan memaafkan semua perilaku ibundanya. Menuntut bahwa engkay hanyalah keluarga yang dia punya. Pada akhirnya harus berpisah dengan sang ibunda.
-Agar kita tidak saling menyakiti, Coin-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hana Indy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 Fakta Mayat
..."Keji, buruk, bagus, halus, lembut, mayat tidak akan pernah menipu badanmu. Kupas tuntas, setelahnya bernafas lega tanpa tapi. Besok jangan lupa berdoa untuk manusia yang berakhir dengan keadaan sama sepertimu."- Surai...
Tenang dengan langkah pelan. Selalu dia nikmati setiap malam. Dikala sinar mentari tertutupi oleh waktu, bulan akan menjadi saksi atas setiap perbuatan keji manusia. Disaat itulah kenangan paling indah dalam seorang lelaki duduk di kursi roda.
“Malam selalu indah,” lirihnya. Memasuki panti asuhan tidak terasa asing dimatanya. Lelaki itu membawa dua pengawal, berbadan kekar tanpa senyum.
Permen. Begitulah lelaki itu dan Tuan Poppin itu menyebutnya. Mencintai keindahan, kesempurnaan adalah tujuan mulia dari Tuan Bond. Berterus bersama menciptakan makhluk hidup indah adalah kesenangan bagi Tuan Poppin.
Yang entah bagaimana ceritanya dokter Idris pun selalu terdiam melihat itu.
Kebisingan membuat mata perak mendelik. Masih dengan cara dia tertidur sedikit mengintip dua lelaki besar yang membawa anak gadis berusia remaja. Sebelumnya menyuntikkan sedikit cairan berwarna bening. Anak gadis itu terdiam, terlelap sangat tenang.
Setelah pintu tertutup, Coin beranjak. Coin menyadari sesuatu yang salah dengan makan malam di panti. Seakan ada bau besi dalam makanannya. Coin hanya menduga jika itu terjadi karena gesekan antara wajan dengan pengaduk. Tetapi, mengapa masih menempel? Oleh karenanya, Coin memilih untuk tidak memakan makanan itu.
Coin mengintip melewati lubang jendela. Dua pengawal itu bersama dengan Tuan Bond menuju keluar lalu menaiki kereta kuda mereka. Coin penasaran, dilangkahkan kakinya mendekat pada jendela ruang tamu. Menatap kepergian kereta kuda.
Ringkikan kuda terdengar. Coin mengambil sepatunya dan menuju belakang Panti. Melewati dapur lalu menuju kandang kuda. Bersurai perak itu meringkik dengan nada yang halus. Seakan meminta bantuan.
“Ada apa Surai?” Coin mengelus kuda itu sampai tenang. Seakan ingin ikut dengan gadis yang dibawa kabur.
Melihat kuda itu tenang dalam duduknya. Coin kembali ke dalam kamarnya. Mencari sedikitnya kertas atau pena yang bisa menuliskan sesuatu. Beruntung jika panti memiliki hal semacam itu.
Coin menuliskan apa yang dia lihat pada malam ini. Akan terus mencatat sampai tuntas perasaan lega. Menyelipkan pada salah satu laci yang berada di bawah kolong tempat tidurnya. Setelahnya kembali tertidur.
Coin sangat menyukai Surai perak terus meringkik karena kegirangan. Melompat pelan kesana kemari dengan kaki jingglang.
“Coin,” panggil suara lelah dia dengar. Lelaki bernama Idris datang dengan baju kasualnya.
“Aku ingin mempertanyakan sesuatu kepadamu. Bisakah kamu ikut denganku?”
Coin mengangguk, dipanggilnya Surai lalu memasukkannya kembali ke dalam kandang. Membiarkan dia tertidur. Surai memang sangat lemah pertahanan dirinya, tetapi, ada sesuatu yang membuat Coin terkagum, kuda itu tidak pernah sakit.
Membawa mendaki sedikit gundukan tanah dibelakang panti. Ada sedikitnya perkebunan jagung yang dia lihat. Coin terpesona. Jagung sudah matang, siap dipanen. Ada tebu juga beberapa meter cabai.
“Aku tidak pernah menyangka jika semua ini kebun Panti Asuhan.”
“Iya, lahannya hanya disewakan. Kita tidak akan bisa mengurus semuanya sendirian.” Idris hanya berbasa-basi.
Coin menyusul lelaki itu duduk di bawah pohon. “Jadi, apa yang akan kamu tanyakan?”
“Ini mengenai kamu yang pernah menjadi anak angkat Tuan Bon. Bisakah kamu menceritakan kepadaku siapa dia?”
Coin mengangguk. “Ah, dia. Aku kira dia tidak akan hubungannya denganmu.”
“Bukan, aku memang tidak tertarik. Tetapi, aku mendengar berita ini. Dua hari yang lalu, Tuan Bon ditemukan dikebun belakang rumahnya.”
“Penusukan itu ya,” lirih Coin.
Idris mendelik. “Penusukan?”
“Memang seperti apa penusukannya? Aku tidak mendengar beritanya.” Sembari menggeleng.
“Nyonya Bon yang menusuk Tuan Bon sampai dia meninggal.”
Seperti menemukan jarum ditumpukan jerami. Begitu lega wajah Idris terus memandang lekat. “Tunggu, biar aku rekam pembicaraan kita.”
“Apakah kamu melihat rangkaian pembunuhan itu?”
Coin teheran. “Apakah kamu bekerja menangani kasus yang berhubungan dengan Tuan Bon?”
“Iya, salah satu pekerjanya meninggal.”
“Apakah ini kasus mutilasi yang dibicarakan oleh anak panti?” Coin penasaran dengan itu.
“Hm,” angguk Idris.
...***...
Sebuah keputusan malam itu tanpa nama. Ada sebuah ruangan paling bersinar daripada ruangan lainnya hanya dengan remang. Rumah sederhana, berlokasi tengah sawah. Katakanlah, jika hanya sempit.
Seorang lelaki dengan jas ditangan. Meletakkan payungnya barang sebentar. Hujan sedikit membasahi dirinya tidak menjadi masalah. Melangkahkan kaki menuju ruangan gudang tidak terpakai. Namun, hanya itu yang menyala.
Seperti lentera tengah malam.
Seorang dokter, ilmuan tanpa nama. Namun orang bilang jika dia hanyalah ilmuan biasa yang gagal tanpa tapi. Tuan Poppin seperti yang sudah dikenal orang. Siapa orang yang mengenalnya tidak lain hanyalah Tuan Bond.
Lelaki bermata cyan, Idris juga anak yang telah tewas mengenang namanya di surga.
Ah, mengenai itu. Ilmuan ini sedang menciptakan sesuatu yang disebut dengan ‘kesempurnaan.’
Melihat barang cacat walau setitik saja sudah membuat dirinya hampir menangis. Bagaimana seseorang dengan tega membuat barang cacat padahal Tuhan adalah yang sempurna? Oleh karenanya, jika manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan sempurna seharusnya mereka tidak pernah terlahir cacat.
Ilmuan ini membuka sebuah kunci dibelakang almari yang sudah dia hafal sudut kuncinya. Hanya membutuhkan setidaknya 5 detik untuk membuka sebuah pintu rahasia. Menuju tidak terbatas dan melampauinya.
Matanya langsung disuguhnya dengan pemandangan tidak enak dipandang. Dengan berantakan melampaui semua pecahan kaca, alat yang berantakan juga beberapa kertas berserakan. Manusia juga bergelimpangan.
Adakah yang berhasil dipenelitan kali ini? Dengan senyuman merekah melihat seekor burung hinggap di meja. Ada yang tumbuh dari kedua tangan beserta selaput lendir menetes.
“Phoen,” (dibaca Fun) lirih Tuan Poppin bangga.
Dengan cepat burung itu menyerang Tuan Poppin. Hampir saja Mengani kepala sedikit botak miliknya jika dia tidak menghindar. Tuan Poppin berlari. Berhenti pada ujung lorong.
Raungan itu adalah milik lelaki berusia sekitar 21 tahunan. Dengan mulut menetes, bulu burung yang tumbuh disekitar tangannya melebar hebat. Kuat dan kokoh. Kaki masih manusia hanya saja cakar lebih besar. Mengeram menakuti Tuan Poppin yang merupakan pencipta dari penelitian hebat ini.
Lelaki itu memiliki cacat di tubuhnya. Orang yang dikenal dengan Goda, kini telah berubah nama menjadi Phoen.
“Phoen, ini aku Tuan Poppin. Tidakkah kamu mengenaliku.” Tangan merentang hendak menerima pelukan.
Sang Phoen seperti tidak memiliki akal. Hanya terus mengeram dan terus mencakar. Mungkin hanya kesakitan pada lengannya yang masih berdarah.
Ada sepasang mata yang terus melirik dari balik lubang kecil di sudut lorong. Lelaki dengan mata rubah itu bersantai melihat pemandangan yang sudah lama tidak dia saksikan.
Tuan Poppin jika hari ini menjadi hari terakhirnya maka, dia akan berterima kasih. Tetapi, bagaimana dengan anak lainnya?
“Bagaimana jika dia menyembunyikan. Anak setengah siluman di lain ruangan?” Lirihnya sendiri pada keheningan malam.
Dengan cepat dia menarik gagang pintu. Dalam suasana terpojok orang yang dipanggil Phoen terus mencakar hingga mengenai lengan Tuan Poppin.
Dan sialnya pintunya terkunci.
“Menyelamatkan Tuan Poppin mungkin akan lebih asyik.” Niatnya dalam hati.
Tuan Poppin mengetahui ada yang ingin mendobrak dari dalam. Ah, Tuan Poppin ingat itu adalah ruangan Tian. Si lelaki bermata rubah cantik.
Dengan cepat Tuan Poppin bangkit. Mengacak tasnya sembari terus menghindari cakaran Phoen. Membuka kunci dengan segera lalu membebaskan lelaki itu. Phoen memiliki sesuatu senjata unik dengan ekornya. Seperti ular yang memiliki duri tajam.
Tuan Poppin mengeluarkan Tian lalu bersembunyi dibalik pintu. Melihat Phoen tidak lagi menyerang dengan perlahan mendekati Tian. Phoen menunduk kepada lelaki bermata rubah seperti seekor anjing.
Keterkejutan jelas terukir dalam air muka Tuan Poppin. “Bagaimana bisa kamu melakukannya?”
“Hm, bagaimana ya?” Seakan bertanya pada jalan kesesatan. Tian berjalan ke arah Phoen. Melipat sayapnya lalu menjilati tangannya. “Tangannya sakit. Kamu bisa merawatnya sekarang.”
Tuan Poppin mendekat kepada Phoen. Masih dia erangi lelaki yang menurut Phoen menyebalkan. Selama tidak memiliki bau ketenangan.
“Phoen, dia dokter di sini. Dia akan menyembuhkan tanganmu.”
Phoen melirik lelaki yang dia senangi dari aroma tubuhnya. Sangat menenangkan. Lalu berjalan mempersilakan Tuan Poppin untuk berjalan menuju lorong tempat dimana markas obat disediakan. Phoen sempat menengok kepada Tian.
Merasa jika Phoen masih membencinya, Tuan Poppin mengisyaratkan Tian untuk mengikutinya. Agar makhluk sempurna itu tunduk kepadanya.
Tian mengikuti dari belakang. Di sini dia akan menerima sebuah kenyataan. Jika ada hal yang menarik di tempat ini apakah dia akan bisa mengurusnya nanti?
Ada beberapa hal sampai dia bisa keluar dengan benar tanpa haus informasi.
Tian berjalan melewati berbagai dokter lain, perawat juga bergelimpangan. Di sanalah dia melihat ada nama dada yang tertera. Seakan tahu, semuanya dalam kendali Tuan Poppin.
Berbelok lalu menuruni tangga lagi, setelah dua tangga turun. Dari situ Tian mengerti jika inilah yang disebut dengan laboratorium bawah tanah. Yang jika dia benar, sesuai informasi Coin maka laboratorium ini terletak di bawah pekebunan yang luasnya tiada terkira itu.
Matanya melotot tidak percaya. Ada ratusan manusia hasil percobaan yang gagal.
Tian sedikit bergetar atas kejinya lelaki bernama Tuan Poppin itu. Sebentar menutup mulutnya karena rasa mual menjalar secara tidak terkendali.
Menatap sekeliling.
Ada dia yang bersayap selayaknya Phoen, namun, gagal karena tangan yang terputus. Ada pula yang kakinya putus karena gagal menciptakan manusia kuda. Ada juga yang gagal menciptakan gadis indah boneka kudu-kupu dari mereka yang tidak memiliki tangan. Melihat tangan sedikit gelap dengan wajah pucat, Tian yakin jika itu berasal dari dua tubuh yang berbeda.
Di ruangan terpajang itu ada sebuah ruangan menyala berwarna putih bersih. Di sanalah, segala jenis obat-obatan tertera rapi.
“Duduklah.” Pinta Tuan Poppin. Masih ditautkannya alis Phoen. Enggan menuruti kata itu.
Lelaki itu berani menciptakan makhluk, tapi takut akan ciptaannya sendiri. Menggelikan.
Tian mengangguk, lalu menurutilah Phoen, dan duduk di ranjang. Sebentar meracik obat lalu menyuntikkannya kepada Phoen. Perlahan rasa nyeri yang dirasakan Phoen menghilang. Membuat lelaki dengan sayap burung itu menaruh sedikit kepercayaan kepada lelaki berjas putih.
Sebagai ucapan terima kasih, Phoen mengusap kepalanya pada tangan Tuan Poppin.
“Tingkahnya seperti anjing,” komentar Tian.
“Ya, ini sudah melampaui harapan kami.”
Tuan Poppin membereskan berbagai obat-obatan.
Mencuri kesempatan untuk Tian mengeluarkan segala kekuatan berwarna hijau dan menelusup masuk ke dalam manusia hasil ciptakan Tuan Poppin. Cahaya kehijauan itu meredup sekedip mata.
“Saatnya tiba, kalian akan terbebas dari sini.”
Lihatlah berapa mengerikannya sebuah pertarungan dikobarkan.
...***...
Mallory Lorenzo. Berpikirlah jika lelaki besar, kekar, penuh otot, siap bertarung, siap berjantung mati. Sumpah pernah lelaki ini ucapkan sewaktu pelatihan militer tiba. Kini menjadi kepala investigasi. Perihal manusia terpecah belah atau utuh, membusuk, atau wangi sekalipun sudah pernah dia dapatkan.
Memeriksa kembali data masuk mengenai investigasi Idris dengan Coin membuat satu pertanyaan besar dibenaknya. Darimanakah sebenarnya pembunuh berada?
Nyonya Bon menusuk suaminya atas tuduhan dia menjual Barang Surga seperti yang dikatakan oleh Coin.
“Tuan Mallory.”
Suara tidak asing menyapa indra pendengarannya. “Aku menjadwalkan untuk bertemu dengan Coin. Apakah bisa?” seperti biasa Mallory tidak pernah menangani lelaki itu jika hanya sekedar berbasa-basi.
“Aku tidak yakin ayah akan setuju?”
“Aku hanya tinggal datang ke sana,” putusnya.
Tipikal lelaki yang tegas dan tidak suka bertele-tele.
“Nyonya Bon tidak diketahui keberadaannya. Coin tidak menyebutkan suatu tempat.”
“Oleh karenanya, aku akan ke sana.”
Idris mendecih. “Jangan membuat aku kesal.
“Aku tidak.”
Tuan Mallory menuruni tangga. Menuju depan teras kantor kepolisian lalu menatap lelaki bermata cyan yang merengut. “Naik!” Perintahnya.
Idris mendengus sebal. Lelaki itu menolak memiliki wakil karena kesibukannya masih bisa dia jalani sendiri. Alasan yang bodoh menurut Idris. Tetapi, lelaki itu memang unik.
Cukup menggemparkan ketika lelaki besar itu memasuki ruang depan panti asuhan. Perawat Paula dan Zeta yang bersiap akan makan malam kini menoleh cepat. Tanpa kabar, tanpa surat, tanpa pemberitahuan.
“Apakah ada yang bisa kami bantu?” Perawat Zeta menghampiri lelaki itu cepat.
“Saya Mallory Lorenzo. Salah satu kepolisian yang menangani kasus mutilasi. Ada satu saksi yang terkait kasus ini. Oleh karenanya saya hendak menemui lelaki bernama Coin Carello.”
Mengedarkan pandangannya diantara meja makan. “Apakah ada di sini?”
“Tuan Mallory.” Idris cukup kesal dengan perilaku itu. “Bisakah jika kamu tidak melakukan sesuatu yang membuatku kesal.”
“Saya Coin.”
Suara keras berteriak dari sudut ruangan.
Jika ada kesempatan, larilah!
Sebuah surat yang dia dapat sejak siang tadi dari seseorang temannya yang dipenjara adalah hal yang ingin Coin lakukan.
“Ah ya, selamat sore Tuan Coin.” Berjalan cepat menuju tempat Coin berdiri.
“Perkenalkan saya Mallory Lorenzo. Bisakah saya meminta waktu Anda sebentar?”
Coin mengangguk. “Bisa,” jawabnya.
Idris hanya menggeleng lalu menyeret keduanya menuju rumah miliknya. Setidaknya berita menghebohkan jangan sampai mengundang banyak tanya.
“Duduklah kalian berdua!” perintah Idris kesal.
Mallory menyamankan diri dalam empuknya sofa. Memandang Coin dengan mata sebelahnya, berpakaian sederhana tetapi sangat pas. Tipikal anak yang bisa memakai baju apa saja.
“Bisakah kita memulai?”
“Tentu saja. Apa yang Anda risaukan?”
Mallory mengeluarkan beberapa foto yang sudah dia ambil dari jasad lelaki berceceran. Mengeluarkan bagian wajahnya dan menunjukkannya kepada Coin. “Apakah Anda kenal dengan lelaki ini?”
Coin menelisik dengan saksama. Sedikit ragu mengambil satu foto yang meraih pandangannya.
Coin mengembalikan kedua foto yang dia pegang. “Wajah lelaki ini sangat asing untukku. Tetapi, tanda ini.” Tunjuk Coin pada baju korban. “Adalah tanda milik Tuan Bon.”
“Begitu ya,” lirih Mallory. “Mengapa harus bunga mawar?”
“Sesederhana Tuan Bon menyayangi istrinya. Bunga mawar adalah bukti cinta yang kuat.”
“Jawaban yang cukup memuaskan.”
Coin melihat laporan singkat dimana jasad itu ditemukan pada sehari dia melihat pembunuhan Tuan Bon. “Pada tanggal itu.” Tunjuk Coin.
Tuan Mallory menoleh.
“Itu tanggal dimana Tuan Bon berpulang dari pesta bisnis dan tidak bersama dengan sopirnya. Mungkin, hari dimana lelaki itu terbunuh.”
Kening Mallory mengernyit. “Apakah kamu menduga jika pembunuhnya Tuan Bon?”
“Tidak mengerti, jika dilihat dari foto jasadnya pemotongannya secara paksa. Bukankah pembunuh bukan orang yang ahli dalam senjata tajam.”
Idris mendekati Coin. “Apa kamu mengetahui mengenai Forensik?”
“Tidak, aku hanya memiliki kemampuan istimewa. Aku bisa melihat dengan jelas serangan dikejauhan pun.”
Idris mengangguk. “Apakah Tian Bon mempunyai senjata seperti pistol?”
“Iya, dia membawanya selalu.”
Saling berpandangan mata Idris dan Mallory. “Bukankah ini ilegal?” Seakan bertanya kepada Tuan Mallory.
“He, apakah iya?” Coin begitu terkejut.
“Hanya kepolisian, militer, dan beberapa yang diijinkan. Mereka yang memiliki senjata semacam itu memiliki sertifikat,” jelas Idris.
Mallory beralih pandang kepada Coin. “Pertemuan bisnis macam apa yang kamu tahu?”
“Mengenai perdagangan kapal.”
Berburu Mallory mencatat di atas kertas. “Sekarang, apakah kamu tahu dimana lokasi Nyonya Bon?”
Coin meragu pada dirinya sendiri. “Aku tidak bisa menjelaskan.”
Sedikit rasa kekecewaan di wajah keduanya. “Jika tidak mungkin kamu bisa menebaknya saja. Walau informasi ini salah aku tidak akan menyalahkanmu.”
Coin mengingat-ingat mengenai nama rumah sakit yang pernah dia kunjungi. Jalannya pun tidak dia ketahui. Masih terus lama berpikir. “Ah, aku lupa nama rumah sakitnya.”
“Rumah sakit?”
“Iya, aku memiliki seorang kakak, dan dia melahirkan di rumah sakit itu. Mungkin saja sekarang masih di sana karena penyakit mental kakak yang sulit untuk sembuh.”
Idris menggaruk kepalanya yang sedikit gatal. “Banyak rumah sakit di sini.”
“Jika boleh tahu, ini kita apa?” Senyum kikuk mampir diwajah Coin.
“Apa kamu tidak tahu?” Idris sedikit terkejut. Menyatakan dengan benar bahwa lelaki itu buta arah.
“Ini Kota Aoi. Dekat dengan pegunungan Aoi.”
“Aku berada dekat dengan pusat kota.”
Mallory sedikit terkejut dengan fakta itu. “Tunggu, sepertinya ini berbeda.”
“Jarak diantara Kota Aoi dan Kota Arahis itu lumayan juga.”
“Jika menyeberangi sungai bukankah dekat?” Coin berujar pelan takut salah.
“Artinya lokasi Tian Bon berada di dekat sungai penyeberangan?” Idris memastikan.
Ambisi itu jelas nampak diwajahnya.
“Ya, benar.” Coin berujar mantap.
“Aku akan mengumpulkan semua data mengenai lokasi rumah sakit,” putus Idris. Dengan cepat beranjak lalu menuju ke lantai dua rumahnya.
Tuan Mallory menyipit. Sedari tadi hanya mengintip bagaimana isi otak Coin. Lelaki yang dinilai cukup pintar. Menyimpan banyak rahasia juga ambisi kuat.
“Lelaki ini jelas tidak terlahir dari orang sembarangan.”
...Bersambung......