"Kamu harus menikah dengan Seno!"
Alea tetap diam dengan wajah datarnya, ia tidak merespon ucapan pria paruh baya di depannya.
"Kenapa kamu hanya diam Alea Adeeva?"
hardiknya keras.
Alea mendongak. "Lalu aku harus apa selain diam, apa aku punya hak untuk menolak?"
***
Terlahir akibat kesalahan, membuat Alea Adeeva tersisihkan di tengah-tengah keluarga ayah kandungnya, keberadaannya seperti makhluk tak kasat mata dan hanya tampak ketika ia dibutuhkan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Favreaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30
Brak!!
"Se--." Ucapan Zea menggantung di udara, netranya membulat dengan tubuh mematung, senyum lembut di bibirnya memudar menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri posisi Seno dan Alea yang sangat ambigu.
Alea tersentak, hendak turun dari pangkuan tapi Seno malah melingkarkan kedua lengannya ke pinggang Alea yang ramping, menahan gadis itu agar tidak bergerak. Mencuri kesempatan menghirup wangi menenangkan yang menguar dari tubuh Alea.
"Jangan bergerak!"
Alea kikuk, tubuhnya membatu dengan dada berdegup kencang.
"Seno kalian--."
"Ada apa?" Seno bertanya dengan tidak ramah, kenapa gadis itu sudah tiba di sini pikirnya.
"Aku ... Aku ingin memberikan kado pernikahan!"
"Letakkan di bawah lalu keluarlah!"
"Tapi --."
"Apa telingamu bermasalah?" sergah Seno ketus tidak memberikan kesempatan Zea menolak.
Zea mengepalkan genggaman tangannya pada kotak persegi empat berwarna biru yang ia bawa. Emosi dalam dirinya bergejolak, penolakan Seno padanya di hadapan Alea membuat harga dirinya terluka. Dengan enggan Zea meletakkan kado tersebut di lantai lalu mundur perlahan seraya menutup pintu.
Seno melonggarkan tangannya tapi Alea masih bergeming dan bertahan di posisi yang ambigu tadi.
"Turun atau aku akan meminta hakku saat ini juga, kakiku memang lumpuh tapi pusakaku berfungsi dengan baik!"
Deg!
Alea tersentak, ia bisa merasakan sesuatu yang keras berada di bawah antara kedua pahanya. Pipi Alea memerah merona karena malu, turun tergesa-gesa dari pangkuan Seno.
"Pakai sendiri celanamu!" ujarnya lalu melipir meninggalkan Seno, menaiki ranjang dan menyalakan televisi, berharap suara televisi bisa mengusir rasa malu dan canggung yang ia rasakan.
Seno mengulum senyum. Wanita yang lebih sering memberikan tatapan tajam dan datar, ternyata bisa salah tingkah dan bersikap malu-malu yang membuatnya tampak menggemaskan.
Sedangkan Zea tidak bisa lagi menyembunyikan kekesalannya begitu pintu tertutup. Ia mengumpat sembari berjalan meninggalkan kamar yang ditempati Seno dan Alea. "Brengsek!"
"Ada apa dengan ekspresi wajahmu?"
Kakek Ian menyambutnya dengan pertanyaan.
Keduanya berada di sebuah kamar hotel, dua puluh menit yang lalu mereka datang tepat saat Eyang Elaine bersama Bi Harum asisten rumah tangga keluarga Ravindra membawa Seno dan Alea ke sebuah kamar. Zea diam-diam mengikuti sedangkan Kakek Ian memisahkan diri menunggu di salah satu kamar hotel yang sudah pesan. Ketika Eyang dan Bi Harum pergi, saat itulah Zea membuka pintu yang kebetulan tidak di kunci.
"Aku tidak menyangka hubungan mereka sejauh itu, Kek!"
"Apa maksudmu?"
Zea menjelaskan dengan menggebu-gebu. "Aku melihat mereka bermesraan, bahkan posisi mereka-- ... Aakkhh!!"
Zea berteriak kesal, tak sanggup mengingat kembali apa yang dilihatnya.
"Tenanglah, kendalikan emosimu jangan sampai karena kamu tidak bisa menahan diri rencanamu menjadi berantakan!" Kakek Ian duduk dengan tenang, menatap gedung-gedung pencakar langit lewat jendela kaca yang tidak tertutup gorden.
Zea mendesah kesal. "Lalu sekarang bagaimana, Kakek tidak ingin menemui Eyang Elaine?"
"Tidak perlu!"
Zea lagi-lagi mendesah kasar, tidak mengerti apa rencana Kakek Ian. Ia juga tidak ingin bertanya, mempercayakan semuanya pada sang kakek.
"Resepsi nanti malam, kamu harus tampil semewah dan semenarik mungkin. Jadilah pusat perhatian melebihi pengantin itu sendiri!"
Zea mengembangkan senyumnya.
"Tenang saja, sesuai harapan kakek. Aku akan melakukannya!"
Kakek Ian turut tersenyum, tidak sabar menunggu acara malam nanti. Ia ingin melihat bagaimana respon keluarga Ravindra dan bagaimana mereka menangani para tamu yang lebih tertarik pada cucunya dari pada pengantin wanita itu sendiri.
***
Pukul tujuh malam, Ballroom tempat resepsi pernikahan Seno dan Alea telah ramai oleh para tamu-tamu undangan. Banyak diantara mereka para relasi bisnis perusahaan Ravindra dan Wicaksana.
Arka dan Raya menyambut tamu dengan senyum lebar di wajah mereka. Tak hanya pesta, tapi acara seperti ini dijadikan ajang bagi mereka untuk memperluas jaringan bisnis.
"Pak Arka, saya tidak menyangka Anda memiliki putri angkat yang luar biasa, menjadi menantu dan bergabung dengan keluarga Ravindra adalah suatu keberuntungan. Saya penasaran seperti apa rupa putri Anda sehingga bisa membuat seorang Seno tertarik!"
"Benar. Pasti dia wanita yang cantik!" Pria di sebelah turut menimpali.
Arka membusungkan dadanya bangga merasa tersanjung mendengar pujian dari mereka. 'Aku jadi tidak menyesal atas lahirnya Alea ke dunia, dia tidak sepenuhnya menjadi aib bagiku,' batinnya.
Raya memaksakan senyumnya mengiyakan ucapan mereka, sedangkan Bianca memutar bola matanya malas dan muak. Kedua wanita itu menemani Arka menyapa beberapa kenalan dan tamu yang mereka undang.
"Ini?"
"Oh ini Bianca, ini putri kandung saya!"
Arka memperkenalkan Bianca.
Bianca mengangguk sopan dan menyalami mereka.
"Waah, saya cukup terkesan, putri kandung Anda ternyata juga sangat cantik. Tidak ada salahnya jika kita menjadi besan, Pak Arka!"
Arka terkekeh. "Saya tergantung Bianca, saya membebaskannya memilih pasangan hidup!"
"Anda menjadi Ayah yang bijak, Pak Arka!" Mereka lalu terkekeh bersama.
Basa-basi yang memuaskan, Arka bersama Raya dan Bianca berganti menyambut tamu lain dan mengajak mereka mengobrol beberapa patah kata hingga seterusnya sampai suara pembawa acara yang menyerukan kedatangan Seno dan Alea.
Ballroom menjadi hening, semua orang memusatkan perhatiannya pada pintu masuk samping.
Terlihat seorang pria mengenakan jas navy dengan dalaman berwarna abu muda setara dengan dasi yang di kenakan. Rambut yang di tata rapi membuat penampilan pria itu luar biasa tampan, tapi sayang dia duduk di kursi roda.
Di belakangnya seorang wanita cantik yang memakai gaun berwarna senada dengan pakaian sang pria, bertaburan payet dari atas hingga bawah gaun dan mengembang lebar di bagian bawah. Rambut hitam panjang sedikit bergelombang tergerai indah, beberapa helai anak rambut bagian depan diikat ke belakang, di atas kepalanya mengenakan mahkota berwarna putih yang cantik.
"Inilah raja dan ratu kita malam ini... Senopati Jayendra Ravindra dan Alea Adeeva putri dari Bapak Arkananta Wicaksana!" Suara pembawa acara memecah keheningan, di sambut riuh tepuk tangan yang membuat suasana semakin meriah.
Alea tidak menyangka pesta pernikahannya begitu indah. Ia berterima kasih pada keluarga Ravindra terutama Eyang Elaine yang sudah menyiapkan segalanya tanpa cela.
Mereka berdua duduk berdampingan menikmati serangkaian acara yang berlangsung.
Bianca, yang duduk di kursi sudut mengepalkan tangan menahan geram. Wajahnya muram, Alea benar-benar menjadi orang nomor satu malam ini. Dia sudah memakai gaun terbaik dan menyewa make up mahal tapi tetap saja, penampilannya tidak ada apa-apanya dengan penampilan Alea saat ini.
"Senyum ... Aku tidak ingin beredar rumor yang buruk dari pernikahan ini hanya karena kamu tidak tahu caranya tersenyum!" Seno berbicara dengan sangat pelan tapi masih bisa di dengar Alea dengan jelas.
Tak ingin berdebat yang membuat hatinya tak karuan, Alea melengkungkan bibirnya membentuk senyuman manis. Mereka juga tak segan melontarkan pujian.
Namun, di tengah-tengah acara yang berlangsung, tiba-tiba pintu ballroom terbuka. Seorang gadis yang memakai pakaian tak kalah mewah dengan pengantin memasuki ruangan. Semua pasang mata tertuju pada penampilan gadis itu yang tak biasa.
"Apa pengantin di sini ada dua? Kenapa dia memakai pakaian seperti pengantin perempuan?"