Pada tahun 2050, bumi dilanda kekeringan dan suhu ekstrem. Keitaro, pemuda 21 tahun, bertahan hidup di Tokyo dengan benteng pertahanan anti-radiasi. Namun, tunangannya, Mitsuri, mengkhianatinya dengan bantuan Nanami, kekasih barunya, serta anak buahnya yang bersenjata. Keitaro dibunuh setelah menyaksikan teman-temannya dieksekusi. Sebelum mati, ia bersumpah membalas dendam.
Genre
Fiksi Ilmiah, Thriller, Drama
Tema
1. Pengkhianatan dan dendam.
2. Kekuatan cinta dan kehilangan.
3. Bertahan hidup di tengah kiamat.
4. Kegagalan moral dan keegoisan.
Tokoh karakter
1. Keitaro: Pemuda 21 tahun yang bertahan
hidup di Tokyo.
2. Mitsuri: Tunangan Keitaro yang mengkhianatinya.
3. Nanami: Kekasih Mitsuri yang licik dan kejam.
4. teman temannya keitaro yang akan
muncul seiring berjalannya cerita
Gaya Penulisan
1. Cerita futuristik dengan latar belakang kiamat.
2. Konflik emosional intens.
3. Pengembangan karakter kompleks.
4. Aksi dan kejutan yang menegangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rifky Aditia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19: PERTEMUAN DIKESEDIHAN
Keitaro dan Kenta memasuki gudang dengan langkah hati-hati, memastikan tidak ada suara yang memancing perhatian. Gudang itu gelap dan pengap, dengan tumpukan kardus tua dan mesin-mesin berkarat yang berserakan di lantai. Cahaya redup dari jendela tinggi di dinding memberikan sedikit penerangan.
Di sudut ruangan, mereka melihat seorang gadis berambut pendek terbaring di lantai, tubuhnya tampak gemetar. Pakaian gadis itu kotor, dan luka di lengannya. Wajahnya menampakkan rasa lelah dan kesakitan.
“Reina…” bisik Keitaro sambil mempercepat langkahnya menuju gadis itu.
Reina, yang mendengar suara langkah kaki mendekat, langsung bereaksi. Dengan gerakan cepat, ia mencoba bangkit meskipun tubuhnya lemah. Ketika Keitaro mendekatinya, Reina terlihat semakin waspada, matanya menatap tajam.
"Hei, kamu tidak apa-apa?" tanya Keitaro dengan nada lembut sambil mengeluarkan botol air dari tasnya. Ia mengulurkan botol itu ke arah Reina.
Reina memandang botol itu dengan tatapan curiga. "Siapa kalian?" suaranya serak, tapi nadanya penuh kewaspadaan.
“Kami bukan musuh,” jawab Keitaro sambil mendekat perlahan. Namun, sebelum Reina sempat bereaksi, ia mencoba berdiri dengan tergesa-gesa. Sayangnya, rasa sakit di kakinya membuatnya kehilangan keseimbangan, dan ia terjatuh lagi ke lantai dengan rintihan kesakitan.
Keitaro langsung berjongkok di sebelahnya, panik. “Hei, Reina, tenang. Kami di sini untuk membantu. Aku Keitaro, dan ini Kenta. Kami... rekanmu.”
Reina mendongak dengan wajah bingung. Matanya memperhatikan mereka berdua, berusaha mencerna kata-kata Keitaro. “Rekan? Aku tidak kenal kalian…” ucapnya sambil menggigit bibir, menahan rasa sakit.
Kenta, yang berdiri sedikit lebih jauh, mencoba ikut menenangkan suasana. "Kami tahu ini sulit dipercaya, tapi Keitaro benar. Kami di sini untuk menemuimu karena kamu bagian dari tim kami… atau setidaknya, akan menjadi bagian dari tim kami seperti dulu."
Reina menatap mereka dengan curiga, tetapi rasa sakit di tubuhnya membuatnya tak mampu melawan. “Kenapa aku harus percaya pada kalian?” tanyanya dengan suara lemah.
Keitaro menghela napas panjang, lalu membuka tasnya. Dari dalam, ia mengeluarkan beberapa perban dan botol obat. “Kamu tidak harus percaya sekarang. Tapi izinkan aku merawat lukamu dulu.
Reina memandang perban di tangan Keitaro, ragu-ragu. Namun, akhirnya ia mengangguk pelan, terlalu lemah untuk menolak. Keitaro mulai membersihkan luka di lengannya dengan hati-hati.
“Bagaimana kau bisa tahu namaku?” tanya Reina, suaranya nyaris berbisik.
Keitaro tersenyum kecil. “Itu cerita panjang, tapi percayalah, aku tidak akan membahayakanmu. Kita pernah bekerja bersama sebelumnya, tapi sayangnya semua itu tidak bisa kamu ingat.”
Kenta mendekat, membawa botol air kedua. “Minumlah. Kau butuh tenaga,” katanya.
Reina menerima botol itu dengan tangan gemetar. Sementara Keitaro terus membalut lukanya, Reina tetap menatap mereka berdua dengan tatapan penuh pertanyaan. Di balik kebingungannya, ada sedikit rasa lega yang mulai muncul.
Setelah selesai membalut lukanya, Keitaro menatap Reina dengan serius. “Kami perlu bicara. Tapi pertama-tama, kau harus istirahat. Kami tidak akan membiarkanmu terluka lebih parah.”
Reina mengangguk pelan, meski pikirannya masih dipenuhi berbagai pertanyaan. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia merasa ada orang yang benar-benar peduli padanya. Meski ia belum sepenuhnya percaya, ia tahu bahwa untuk saat ini, ia tidak punya pilihan selain mempercayai mereka.
Di sudut gudang itu, hubungan yang akan menjadi salah satu pilar tim mereka mulai terjalin kembali. Namun, Keitaro tahu, jalan menuju kepercayaan penuh Reina masih panjang.
Keitaro menatap Reina yang masih terlihat lemah setelah ia selesai membalut lukanya. Wajah Reina menyiratkan kelelahan yang mendalam, tetapi juga kehati-hatian. Dengan nada lembut, Keitaro bertanya, “Reina, kenapa kamu bisa terluka seperti ini? Apa yang terjadi?”
Reina menghela napas panjang sebelum menjawab. “Aku sedang melarikan diri… aku terjatuh saat mencoba memanjat pagar. Itu saja,” katanya dengan suara pelan.
Keitaro menatapnya dalam-dalam, melihat ada kepedihan yang tersembunyi di balik jawaban sederhana itu. Namun, ia memilih untuk tidak memaksa lebih jauh. Sebaliknya, ia memutuskan untuk membuka pembicaraan yang lebih besar.
“Reina, aku tahu ini terdengar aneh, tapi kau adalah salah satu rekanku di kehidupan sebelumnya,” kata Keitaro dengan tenang.
Reina menatapnya tajam, alisnya mengernyit penuh kebingungan. “Apa maksudmu? Rekan di kehidupan sebelumnya?”
Keitaro tersenyum kecil. “Namamu Reina Akira, umurmu 18 tahun. Kau seorang hacker yang jenius. kamu sebelumnya selalu duduk di depan komputer, memecahkan teka-teki digital. Dan cita-citamu… cita-citamu adalah mengungkapkan kejahatan pemerintah. Kau ingin keadilan untuk desamu.”
Wajah Reina berubah drastis. napasnya menjadi lebih cepat, dan tubuhnya mulai gemetar. “Bagaimana… bagaimana kau tahu semua itu?” tanyanya dengan nada tinggi. “Kau mencuri dataku, ya? Kau memata-mataiku!”
Keitaro mencoba menenangkannya. “Reina, dengarkan aku. Aku tidak mencuri apa pun. Aku tahu semua itu karena kita pernah bekerja sama sebelumnya. Aku mengenalmu.”
Namun, Reina tidak mempercayainya. Dengan panik, ia mencoba bangkit dan melarikan diri meskipun tubuhnya masih lemah. Tapi sebelum ia bisa melangkah jauh, Keitaro dengan cepat memeluknya dari belakang, menahannya dengan lembut.
“Reina, tolong dengarkan aku,” bisik Keitaro di dekat telinganya. “Aku tahu apa yang telah kau lalui. Aku tahu betapa sulitnya hidupmu. Kau mencoba membongkar ketidakadilan pemerintah yang merusak desamu, tapi apa yang kau dapatkan? Kau dianggap penghianat oleh desamu dan mereka lebih memercayai pemerintahan dan kamu menjadi buronan. Aku tahu betapa pedihnya itu.”
Tubuh Reina yang tadinya kaku mulai melemas. Kata-kata Keitaro menusuk hatinya, mengingatkannya pada luka yang selama ini ia pendam. Perlahan, ia berhenti berjuang untuk kabur, dan tubuhnya jatuh dalam pelukan Keitaro.
“Aku hanya ingin membela orang-orang di desaku…” bisik Reina dengan suara bergetar. “Tapi mereka malah menganggapku pengkhianat…”
Keitaro mengeratkan pelukannya, memberikan rasa hangat dan aman. “Aku tahu, Reina. Aku tahu kau hanya ingin melakukan yang benar. Aku tidak akan membiarkanmu sendirian lagi. Aku ada di sini untukmu.”
Air mata mulai mengalir di pipi Reina. Semua emosi yang selama ini ia tahan, rasa sakit, ketakutan, dan kesepian, akhirnya meledak. Ia menangis dalam pelukan Keitaro, membiarkan dirinya untuk pertama kalinya merasa rapuh di depan orang lain.
Kenta, yang melihat kejadian itu dari kejauhan, memilih untuk tidak mengganggu. Ia hanya duduk diam, memberikan ruang kepada Keitaro dan Reina. Ia tahu momen ini sangat penting untuk membangun kepercayaan Reina kepada mereka.
Di sudut gudang yang sunyi itu, Reina akhirnya merasa ada seseorang yang memahami dirinya. Meskipun hatinya masih dipenuhi pertanyaan, ia mulai merasakan bahwa mungkin, untuk pertama kalinya, ia tidak benar-benar sendirian.
Keitaro tahu berlama-lama di dalam gudang tidaklah aman. Ia menatap Reina yang masih terlihat lemah dan berkata dengan tegas, "Kita tidak bisa tinggal di sini lebih lama. Aku akan membawamu ke tempat yang lebih aman, ke benteng kami."
Reina menatap Keitaro dengan alis terangkat, kebingungan. "Benteng? Apa maksudmu benteng?"
Keitaro tersenyum kecil sambil mengaktifkan kemampuan auranya, aura Reina putih bersih menandakan Reina tidak punya niat jahat dan sudah mempercayainya sepenuhnya. lalu akhirnya menjawab pertanyaan Reina. "Sebuah tempat perlindungan. Kami membangunnya untuk bertahan dari kiamat panas yang akan datang."
"Kiamat panas?" Reina semakin bingung. Sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, Keitaro sudah menggendongnya perlahan. "Aku akan menjelaskannya di jalan. Untuk sekarang, percayalah padaku."
Sepanjang perjalanan menuju benteng, Keitaro menceritakan apa yang terjadi. tentang kiamat panas yang akan melanda bumi dalam 52 hari, tentang bagaimana mereka bersiap untuk menghadapinya, dan tentang sistem yang membantunya di kehidupan ini. Reina mendengarkan dengan ragu-ragu, tetapi melihat kesungguhan di mata Keitaro membuatnya memilih untuk diam dan mencoba memahami.
Setelah beberapa waktu, mereka tiba di depan benteng. Di sana, Ayane sudah menunggu dengan wajah penuh kekhawatiran. Beruang besar yang menjadi penjaga benteng tampak berjalan bolak-balik, mencoba menghibur Ayane yang gelisah.
Begitu melihat Keitaro dan Kenta kembali, Ayane segera berlari ke arah mereka. "Kalian baik-baik saja, kan?" tanyanya dengan nada cemas.
Keitaro tersenyum kecil dan menenangkan Ayane. "Kami baik-baik saja. Lihat, kami berhasil membawa seseorang yang akan menjadi rekan kita."
Namun, sebelum ayane ingin berkenalan. Reina menatap beruang besar yang berjalan mendekat. Matanya melebar karena ketakutan, tubuhnya refleks bergerak mundur di gendongan Keitaro. "B-bear… beruang! Itu beruang!" katanya dengan nada panik.
Keitaro menenangkan Reina dengan suara lembut. "Tenang, Reina. Dia tidak berbahaya. Dia adalah penjaga kami. Percayalah, dia lebih ramah daripada yang kau pikirkan."
Ayane, yang menyadari kepanikan Reina, tertawa kecil. "Aku juga ketakutan saat pertama kali datang ke sini. Tapi jangan khawatir, dia benar-benar ramah. Dia bahkan suka diajak bermain."
Reina menatap beruang itu dengan ragu, tetapi perlahan mulai tenang setelah melihat bagaimana Ayane dengan santai berbicara dan mengelus binatang besar itu.
Setelah Reina merasa cukup aman, mereka semua masuk ke dalam benteng. Ayane segera mengambil perlengkapan medis dan memeriksa luka-luka Reina. "Kau benar-benar beruntung mereka menemukanmu," katanya sambil membalut luka Reina. "Kalau tidak, lukamu ini bisa saja infeksi."
Reina hanya diam, memperhatikan Ayane yang dengan telaten mengobati dirinya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Reina merasa ada orang lain yang peduli padanya.
Saat malam tiba, Reina duduk di salah satu sudut benteng, memandangi sekelilingnya. Keitaro dan Kenta sedang berbicara di sudut lain, sementara Ayane sibuk mengatur persediaan makanan. Beruang besar itu duduk tidak jauh darinya, hanya memperhatikannya dengan tenang.
Reina menghela napas panjang. Dia merasa aneh. Selama bertahun-tahun, hidupnya hanya diisi dengan pelarian, kesepian, dan ketakutan. Tetapi di sini, di tempat ini, dia merasa untuk pertama kalinya dia bisa berhenti berlari dihantui dengan ketakutan. Mungkin, dia akhirnya menemukan tempat di mana dia tidak harus sendirian lagi.