Kehamilan merupakan sebuah impian besar bagi semua wanita yang sudah berumah tangga. Begitu pun dengan Arumi. Wanita cantik yang berprofesi sebagai dokter bedah di salah satu rumah sakit terkenal di Jakarta. Ia memiliki impian agar bisa hamil. Namun, apa daya selama 5 tahun pernikahan, Tuhan belum juga memberikan amanah padanya.
Hanya karena belum hamil, Mahesa dan kedua mertua Arumi mendukung sang anak untuk berselingkuh.
Di saat kisruh rumah tangga semakin memanas, Arumi harus menerima perlakuan kasar dari rekan sejawatnya, bernama Rayyan. Akibat sering bertemu, tumbuh cinta di antara mereka.
Akankah Arumi mempertahankan rumah tangganya bersama Mahesa atau malah memilih Rayyan untuk dijadikan pelabuhan terakhir?
Kisah ini menguras emosi tetapi juga mengandung kebucinan yang hakiki. Ikuti terus kisahnya di dalam cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon senja_90, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Poli Kandungan
Usai menghadiri meeting dengan direktur rumah sakit dan beberapa dokter senior, Arumi bergegas keluar ruangan. Wanita itu melirik arloji di pergelangan tangan, waktu sudah menunjukan pukul dua siang.
"Seharusnya Mama sudah selesai check up," gumam Arumi. Ia berdiri di samping pintu masuk ruang pertemuan.
Untuk memastikan keberadaan Nyimas, Arumi meraih ponsel dari dalam tas. Kemudian menghubungi nomor mamanya. "Assalamu a'laikum. Mama sudah selesai check up?" tanya wanita itu kala sambungan telepon terhubung.
Di seberang sana Nyimas menjawab, "Wa'alaikum salam, Sayang. Iya, Mama baru saja keluar dari lift. Ini sedang menunggu kamu di lobi rumah sakit."
"Ya sudah, Mama tunggu di situ. Arumi akan menyusul ke bawah. Kebetulan, rapat dengan Pak Direktur sudah selesai. Nanti sebelum pulang, kita makan dulu di kantin rumah sakit."
"Baik. Mama tunggu di sini. Assalamu a'laikum."
Sambungan telepon terputus. Tanpa membuang waktu, Arumi bergegeas menjemput Nyimas di lobi.
Ketika ia sudah berada di dalam pintu lift, tiba-tiba saja bayangan Naila sedang memperlakukan Kayla melintas di benak wanita itu. "Oh ya, sebaiknya aku menemui Mama Naila dulu. Aku ingin memastikan untuk apa Mama dan Kayla mengantri di poli kandungan." Kemudian ia menekan tombol angka tiga, letak poli kandungan berada.
Jantung wanita itu semakin tak beraturan. Wajahnya semakin pucat dan keringat dingin mulai bercucuran. Derap langkah yang bersumber dari flat shoes milik Arumi saling bersahutan dengan detak jantung wanita itu.
Berdiri di antara kerumunan orang banyak, Arumi mengedarkan pandangan ke segala arah, mencari keberadaan Naila dan Kayla. "Ke mana perginya mereka? Mungkinkah Mama dan Kayla sudah pulang?" gumamnya.
Tatapan mata Arumi tertuju pada meja perawat yang ada di tengah poli. Ia berjalan menghampiri seorang perawat yang bekerja di balik meja. "Permisi, Suster."
Seorang perawat berseragam merah jambu yang bekerja di balik meja mendongakan kepala. Dengan senyum ramah, ia berkata. "Eh, Dokter Arumi. Ada apa, Dok?"
"Suster Nindi, saya mau tanya apakah tadi ada pasien atas nama Nona Nayla? Usia sekitar dua puluh lima tahun," bisik Arumi. Wanita itu menengok ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada paparazi yang menguping percakapan mereka sebab orang yang sedang Arumi bicarakan adalah seorang model terkenal di tanah air. Jika ada orang lain mendengar kabar bahwa Kayla mengantri di poli kandungan maka esok atau lusa akan ada pemberitaan di layar televisi dan ia tidak mau bila sahabatnya itu menjadi bahan gosip se-Indonesia.
Nindi sudah tahu orang yang dimaksud oleh Arumi. Ia segera membuka layar monitor, mencari pasien atas nama Kayla.
Detik berikutnya, di layar monitor terpampang nama pasien seperti yang disebutkan oleh Arumi. Nindi mendekatkan tubuhnya ke depan, hingga kini tidak ada celah di antara mereka. "Ada, Dok. Model itu datang ke sini untuk memeriksakan kandungan," ucapnya lirih.
"Kalau dilihat dari catatan medis, sepertinya model cantik itu sedang berbadan dua," timpalnya.
Bagai disambar petir. Tubuh Arumi bergetar, lututnya terasa lemas. Untung saja dia menggenggam erat ujung meja kerja. Andai saja ia berdiri tanpa bersandar mungkin saat ini wanita itu sudah terkulai lemas di lantai dan menjadi pusat perhatian semua orang.
Pikiran wanita itu kosong. Otaknya tidak bisa bekerja dengan baik. Berbagai pertanyaan muncul dalam benaknya. 'Mungkinkah Kayla hamil anak ....'
Arumi mengenyahkan semua pikiran buruknya. Tidak mungkin Kayla tega berselingkuh dengan Mahesa. Ia tahu, selama ini hubungan antara sahabat dengan suaminya itu tidak akur. Setiap kali bertemu, Kayla selalu menghindar dan sikap gadis itu terkesan cuek dan satu hal yang pasti, Mahesa bukanlah tipe pria idaman sahabatnya.
"Dokter! Dokter!" seru Nindi.
Arumi tersentak. Ia kembali tersadar setelah beberapa detik jiwanya terbang melayang ke dimensi lain. Tergagap wanita itu meraih tangan Nindi. "Jangan sampai informasi ini bocor. Apalagi kalau paparazi menampilkan berita ini di televisi. Reputasi sahabatku bisa hancur."
Nindi menyunggingkan sebuah senyuman. "Dokter tenang saja. Rahasia ini akan aman. Lagipula, ini juga sudah menjadi kode etik bagi tenaga medis untuk menyembunyikan informasi pasien."
Gadis itu mengusap punggung tangan Arumi. "Saya berani buka mulut karena percaya kalau Dokter orang yang dapat dipercaya."
Arumi mengangguk. "Bagus. Kalau begitu, saya permisi dulu. Terima kasih, Suster Nindi," ucapnya sebelum pergi meningggalkan meja kerja perawat.
***
"Ma!" seru Arumi kala ia sudah tiba di lobi rumah sakit.
Seorang wanita paruh baya berpakaian serba tertutup dengan kerudung yang menutupi rambut duduk manis di kursi tunggu. Meski berusia hampir kepala lima akan tetapi aura kecantikan wanita itu tidak pernah pudar dimakan waktu. Ia tersenyum manis ke arah Arumi.
"Mama sudah lama ya menunggu di sini?" tanya Arumi dengan nada penuh penyesalan. Ia sangat menyesal akibat keegoisannya sampai harus membuat sang mama menunggu terlalu lama di lobi rumah sakit.
Ia sadar, seharusnya setelah rapat tadi segera menemui Nyimas bukannya malah pergi ke poli kandungan untuk mencari tahu infromasi tentang Kayla. Akan tetapi, jiwa keponya itu lebih mendominasi sehingga wanita itu memilih untuk berubah menjadi detektif dadakan daripada menjadi anak baik di depan sang mama.
Nyimas menangkup wajah putri kesayangannya. Meskipun Arumi bukanlah anak kandung Nyimas tetapi wanita itu sangat menyayangi anak angkatnya itu. Ia bahkan lebih mencintai Arumi daripada apa pun di dunia ini sebab menurutnya wanita yang berprofesi sebagai dokter bedah terbaik di Persada International Hospital adalah sebuah anugerah yang pernah Tuhan berikan padanya.
"Tidak masalah. Hanya menunggu lima, tidak akan membuat Mama mati tersiksa," kekeh Nyimas.
Arumi duduk di kursi di samping Nyimas. Wajah wanita mulai murung. Pelupuk matanya mulai berkaca-kaca. Bibir wanita itu gemetar. "Jangan bicara tentang kematian. Aku yakin, Mama akan sembuh. Semua dokter di rumah sakit ini memiliki skill yang bagus, mereka akan memberikan pengobatan terbaik untuk Mama. Kalau perlu, aku sendiri yang akan turun tangan mengoperasi Mama."
Detik itu juga, Arumi tak kuasa membendung air matanya. Cairan bening itu mulai turun membasahi pipi.
Nyimas mengusut cairan bening itu dengan jari telunjuk. "Sst! Jangan menangis. Mama tidak akan pernah pergi ke mana-mana. Mama akan selalu berada di dekatmu, selamanya."
"Ya sudah. Ayo kita pergi ke kantin! Perut Mama sudah lapar," timpal Nyimas berusaha mengalihkan perhatian Arumi. Melihat air mata sang anak mengalir, membuat nalurinya sebagai seorang ibu terusik untuk menghapus kesedihan dalam diri wanita itu. Ia ingin di sisa hidupnya memberikan kebahagiaan bagi putri tercinta.
Kemudian, dua wanita beda generasi itu melangkah menuju kantin rumah sakit. Mereka berjalan melewati coffee shop yang ada di dekat pintu lift, berjalan lurus hingga melewati ruang radiologi rumah sakit.
Sambil berjalan, Arumi mengamati rumah sakit tempatnya bekerja. Rumah sakit itu semakin dipadati pengunjung padahal dulu saat pertama kali bekerja di sana, tidak se-ramai ini. Namun, seiring berjalannya waktu, Persada International Hospital semakin dipadati pasien untuk berobat.
Mereka berbelok ke lorong sebelah kanan, kemudian terus melangkah hingga tiba di depan sebuah apotek. Arumi menghentikan langkahnya kala melihat sepasang wanita tengah duduk di kursi pengunjung, mengantri mengambil resep obat yang diberikan oleh dokter.
"Loh, bukankah itu ...."
Bersambung
.
.
.
Jangan lupa likenya ya Kak.
😢😭